Anggota Partisan, Mahkamah Partai Tak Efektif
Mahkamah Partai:

Anggota Partisan, Mahkamah Partai Tak Efektif

AD/ART partai politik seharusnya membuat rambu-rambu agar anggota majelis bisa menjaga independensi. Mereka harus kredibel dan kompeten.

Oleh:
ADY THEA/AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang Mahkamah Partai. Foto: RES
Suasana sidang Mahkamah Partai. Foto: RES
Mahkamah Partai Golkar beranggotakan orang-orang yang punya jejak rekam baik di bidang hukum. Prof. Muladi dan Andi Matalatta sama-sama pernah menjadi Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM). Prof. HAS Natabaya pernah menjadi Kepala BPHN dan hakim konstitusi, dan Djasri Marin pernah menjadi Komandan Pusat POM TNI. Satu orang lagi, Aulia Rahman, adalah doktor hukum tata negara.

Dalam putusan atas perpecahan kepengurusan Partai Golkar, dua orang anggota Mahkamah Partai berseberangan pendapat dengan dua anggota majelis lain. Alhasil, putusan Mahkamah Partai Golkar ditafsirkan berbeda-beda.

Profesor Riset LIPI, Siti Zuhro berpendapat jika anggota majelisnya partisan, maka Mahkamah Partai tidak akan efektif. Dalam proses pengambilan putusan, anggota majelis akan cenderung menguntungkan kubu kepengurusan pilihannya. “Karena ada partisan, akibatnya Mahkamah Partai tidak independen,” ujarnya saat dihubungi hukumonline.

Mahkamah Partai adalah forum yang diperkenalkan dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Forum ini, kata Sekjen PPP versi kepemimpinan Romahurmuzi, berfungsi menyelesaikan perselisihan di internal partai. “Ruang lingkup perselisihan ini bisa meliputi sengketa kepengurusan yang sah, pemecatan anggota/pengurus, perselisihan pergantian antarwaktu dan perselisihan lainnya,” jelasnya kepada hukumonline.

UU Partai Politik menyebutkan pengaturan lebih lanjut Mahkamah Partai diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai politik. Karena itu, menurut Siti Zuhro, mekanisme resolusi konflik di tiap partai bisa saja berbeda, tergantung bagaimana AD/ART mengaturnya. Termasuk bagaimana sifat putusan, proses pemanggilan para pihak, dan persyaratan pengambilan putusan.
“Kalau perannya (dibuat) penting dan dibunyikan kalau putusannya final dan mengikat, itu kan nggak main-main,” tegasnya.

Selain itu, penyelesaian konflik internal tak melulu bisa diselesaikan lewat Mahkamah Partai. Partai Demokrat, misalnya, pernah menyelesaikan konflik internalnya lewat para pendiri partai. Jika tetap harus diselesaikan lewat Mahkamah Partai, maka anggotanya tidak seharusnya partisan.

Anggota majelis
Peluang anggota majelis Mahkamah Partai menjadi partisan tetap terbuka jika anggota majelis sepenuhnya berasal dari pengurus partai. Begitu pengurus pecah, hal yang sama bisa terjadi pada Mahkamah Partai. Kasus Partai Golkar dan PPP bisa menjadi contoh. Hingga kini, kedua partai masih terpecah dan penyelesaiannya berlarut-larut.

Pengamat hukum tata negara, Refly Harun berpendapat Mahkamah Partai seharusnya diisi orang-orang yang kredibel dan independen, bisa orang luar partai yang ditunjuk. Kalau masih mengandalkan sepenuhnya orang parpol, Mahkamah akan berada dalam posisi sulit kalau anggotanya juga ikut pecah.

Ainur Rofik setuju dengan Refy mengenai syarat menjadi anggota Mahkamah Partai. Orangnya harus punya kompetensi. Tetapi ia kurang sependapat mengenai masuknya orang non-partai ke dalam Mahkamah Partai. “Tidak bisa orang-orang di luar parpol,” tegasnya.

Lepas dari itu, perpecahan pengurus dalam jumlah besar memang tak mudah diselesaikan. Lain halnya jika yang terjadi sengketa antar individu, misalnya pemecatan satu orang. Menurut Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem, Mahkamah Partai biasanya lebih efektif karena anggota Mahkamah Partai masih solid.
“Tapi Mahkamah Partai cenderung sulit ditaati kalau itu menyangkut kepengurusan ganda, apalagi kepengurusan di tingkat nasional,” katanya.
Tags:

Berita Terkait