Mahkamah Partai Juga Kenal Istilah ‘Final dan Mengikat’
Mahkamah Partai:

Mahkamah Partai Juga Kenal Istilah ‘Final dan Mengikat’

Sudah pernah ada tafsir konstitusional terhadap putusan final dan mengikat.

Oleh:
ADY/RIA/ASH
Bacaan 2 Menit
Romahurmuziy. Foto: RES
Romahurmuziy. Foto: RES
Putusan Mahkamah Partai politik atau sebutan lain bersifat ‘final dan mengikat’ secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Ini bukan kata-kata seorang pengamat politik atau tata negara, melainkan norma yang dirumuskan dalam Pasal 32 ayat (5) UU No. 2 Tahun 2011tentang Partai Politik.

Pertanyaannya, apa yang dimaksud final dan mengikat dalam norma pasal tersebut? Sayang, pembentuk Undang-Undang tak memberi penjelasan. Secara umum, final dan mengikat berarti tak ada upaya hukum lagi dan putusan itu mengikat para pihak.

Faktanya menunjukkan meskipun Mahkamah Partai sudah memutuskan sengketa kepengurusan, seperti dirumuskan UU Partai Politik, tetap saja pihak yang kalah menempuh upaya hukum lain. Dalam konflik kepengurusan Golkar, kubu Munas Bali mengajukan gugatan baru ke PN Jakarta Barat dua hari setelah Mahkamah Partai menjatuhkan putusan. Konflik kepengurusan PPP juga terus berlanjut meskipun Mahkamah Partai sudah pernah menangani.

“Kalau dia (Mahkamah Partai—red) dapat menyelesaikan konflik internal partai berarti efektif, atau sebaliknya,” ujar Sekjen PPP kubu Romahurmuzy.

Undang-Undang memang memungkinkan peluang para pihak mengajukan keberatan atas putusan Mahkamah Partai. Pasal 33 UU Partai Politik menyebutkan ‘dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.

Masalahnya, Pasal 33 tak menyebut apakah ada pengecualian, yakni khusus untuk sengketa kepengurusan maka putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat. Sebaliknya, hanya sengketa lain yang bisa diajukan keberatan/gugatan ke pengadilan negeri setelah ada putusan Mahkamah Partai.

Rupanya, pembentuk Undang-Undang juga masih membuka peluang upaya lain setelah putusan pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri disebut sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir. Tetapi masih boleh diajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA).  

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitra Arsil, berpendapat putusan Mahkamah Partai seharusnya mengikat para pihak. “Mahkamah Partai di partai politik itu mengikat putusannya,” ujarnya kepada hukumonline.

Peneliti Perludem, Veri Junaidi mengatakan penggunaan mekanisme pengadilan untuk menyelesaikan konflik internal parpol didasarkan pada pertimbangan fairness. Mahkamah Partai acapkali tak bisa independen karena anggota majelisnya juga pengurus partai. “Undang-Undang yang ada membuka ruang untuk bisa digugat ke pengadilan. Apalagi Mahkamah Partai cenderung tidak netral karena terjebak dalam kubu-kubu yang berselisih, sehingga putusannya pun cenderung berpihak. Untuk itu dibutuhkan mekanisme yang lebih fair, yaitu lewat pengadilan,” ujarnya.

Cuma, kepatuhan orang terhadap daya ikat putusan Mahkamah Partai sangat menentukan. Sebagai lembaga yang baru dikenal, keberadaan Mahkamah Partai masih kurang disosialisasikan, dan komitmen mematuhi putusannya masih menjadi masalah tersendiri. Fitra Arsil percaya hanya jika diberi wewenang kuat yang membuat putusan Mahkamah Partai menjadi efektif. Misalnya memberikan sanksi kepada pengurus yang tak patuh terhadap putusan. “Dia harus dibekali kekuasaan yang mengikat. Itu yang membuat dia lebih efektif nantinya,” kata pria yang baru saja meraih gelar doktor ilmu hukum itu.

Tafsir MK
Tafsir terhadap putusan ‘final dan mengikat’ sebenarnya sudah pernah dibuat Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Berdasarkan Undang-Undang ini putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat final dan mengikat.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan sifat final dan mengikat putusan DKPP menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah sifat final dan mengikat itu sama dengan sifat final dan mengikatnya putusan pengadilan. Mahkamah Konstitusi beranggapan putusan DKPP tak bisa disamakan dengan putusan pengadilan pada umumnya. DKPP bukanlah lembaga peradilan khusus yang dibentuk di bawah Mahkamah Agung.

“Sifat final dan mengikat putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu,’ demikian antara lain pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Keputusan lembaga-lembaga ini, menurut Mahkamah, masih bisa digugat ke PTUN.
Tags:

Berita Terkait