Presiden Ancam Paksa RS Swasta
BPJS Kesehatan:

Presiden Ancam Paksa RS Swasta

RS swasta diimbau untuk menyukseskan program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Presiden meminta RS swasta tak memikirkan untung saja.

Oleh:
ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Sejak BPJS Kesehatan beroperasi 1 Januari 2014 sampai sekarang masih ada rumah sakit (RS) swasta yang belum bekerjasama dengan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) BPJS Kesehatan. Tercatat ada sekitar 1.200 RS swasta di seluruh Indonesia.

Diperkirakan 600 RS swasta belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Akibatnya, tidak sedikit peserta yang tidak dilayani RS swasta dengan alasan belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Menanggapi kondisi itu Presiden Joko Widodo menegaskan jika BPJS Kesehatan tidak mampu membenahinya maka dia akan turun tangan.

“Kalau BPJS (Kesehatan) tidak bisa maka saya akan memaksa. Kalau tidak dipaksa, RS jadinya mau untung sendiri, saya tidak mau begitu,” kata Jokowi dalam pembagian kartu Indonesia sehat (KIS) di PT Dok & Perkapalan Koja Bahari di Jakarta, Selasa (28/4) lalu.

Jokowi menjelaskan, kendala yang dihadapi BPJS Kesehatan untuk mengajak RS swasta bekerjasama dalam melaksanakan program jaminan kesehatan juga dialami Jokowi ketika memimpin Jakarta. Salah satu cara yang digunakan untuk mengajak RS swasta yang tidak mau bekerjasama yaitu mengancam tidak akan memberikan izin untuk RS swasta tersebut di Jakarta.

Oleh karenanya, Presiden Jokowi merasa perlu dilakukan upaya paksa untuk mendorong agar RS swasta mau bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Sehingga, pelayanan yang diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan bisa maksimal. “Faktanya ada 600 RS swasta yang belum mau kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Mereka akan saya paksa, beri daftarnya ke saya, nanti akan saya panggil satu per satu biar kapok,” ujarnya.

Jokowi menegaskan, tidak ada alasan bagi RS baik milik pemerintah ataupun swasta menolak masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Apalagi kondisi peserta yang bersangkutan gawat darurat. Ia menilai RS tidak akan rugi melayani peserta BPJS Kesehatan karena peserta telah menunaikan kewajibannya membayar iuran.

Untuk itu Jokowi menekankan agar RS, dokter, perawat dan tenaga medis untuk maksimal melayani peserta BPJS Kesehatan. Ia mengakui masih banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan program jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Tapi ia menekankan pemerintah akan terus melakukan perbaikan. “RS dan dokter harus memberi pelayanan yang baik terhadap peserta BPJS Kesehatan, saya tidak mau mereka dinomor dua kan,” tegasnya.

Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Kesehatan untuk menyiapkan penerapan sanksi bagi fasilitas kesehatan yang tidak melayani peserta BPJS Kesehatan dengan baik. Baginya, masalah dalam implementasi BPJS Kesehatan tidak perlu ditutup-tutupi karena faktanya memang seperti itu. Namun, Jokowi menegaskan pemerintah akan terus membenahi.

Senada, Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, mengatakan perlu peran pemerintah untuk mendorong agar RS menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan dan melakukan pelayanan dengan baik. Mengacu peraturan yang berlaku, peserta BPJS Kesehatan yang mengalami gawat darurat bisa langsung ke RS manapun, baik yang sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan atau belum. BPJS Kesehatan akan menanggung seluruh biaya yang diklaim pihak RS sesuai dengan paket harga yang tercantum dalam INA-CBGs.

Selain itu Fachmi mengingatkan, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan RS tidak boleh menolak pasien yang membutuhkan pelayanan gawat darurat. “Kalau RS menolak maka terancam sanksi pidana,” tukasnya.
Untuk diketahui, Pasal 32 ayat (2) mengatur bahwa  dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Jika larangan ini dilanggar, maka berdasarkan Pasal 190, Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp200 juta. Ancaman pidana lebih berat jika akibat penolakan itu, pasien mengalami kecacatan atau kematian, yakni pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Tags:

Berita Terkait