Polri Diminta Konsisten Terapkan Desentralisasi
Berita

Polri Diminta Konsisten Terapkan Desentralisasi

Manajemen penanganan perkara secara berjenjang sebaiknya dibuat lebih detil.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ray Rangkuti (tengah). Foto: RES
Ray Rangkuti (tengah). Foto: RES
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian RI (Koreksi) mendesak Polri untuk konsisten terapkan desentralisasi. Ini penting untuk memperjelas mekanisme mana perkara yang diambil alih penanganannya oleh Bareskrim Mabes Polri dan mana yang diserahkan kepada kepolisian tingkat bawah. Ini juga menjadi bagian dari reformasi Polri.

Koordinator Bantuan Hukum YLBHI, Julius Ibrani, mengakui desakan itu disuarakan Koalisi setelah mendengar pernyataan Kabareskrim, Budi Waseso, bahwa Bareskrim Polri akan menyerahkan kasus yang menjerat dua pimpinan KPK non aktif yaitu Bambang Widjajanto (BW) dan Abraham Samad (AS) ke tingkat kepolisian lebih rendah. Demikian pula kasus penyidik KPK, Novel Baswedan (NB). Pernyataan Budi berseberangan dengan sikap awal Bareskrim yang sejak kasus-kasus itu mencuat terlihat bersemangat menangani kasus-kasus tersebut.

Julius mengatakan UU Polri dan Perpres No. 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Polri mengamanatkan kepada Polri tentang prinsip manajemen berjenjang dan berdasarkan wilayah hukum. Mengacu regulasi itu Julius menyebut kasus AS sejak awal sudah ditangani Polda Sulselbar dan perkara NB diproses Polda Bengkulu. Oleh karenanya, instansi kepolisian di tingkat yang lebih rendah harus diperkuat, seperti Polda, Polres, dan Polsek.

"Koalisi menyambut baik pernyataan Kabareskrim tersebut, sebagai isyarat kuat tentang mendesaknya kebutuhan reformasi kelembagaan kepolisian. Khususnya desentralisasi kepolisian dengan cara memperkuat Polsek dan Polres," kata Julius di kantor YLBHI di Jakarta, Senin (18/5).

Ketua Lingkar Masyarakat Madani Indonesia, Ray Rangkuti, mengatakan perkara yang bisa diselesaikan di tingkat daerah sebaiknya diselesaikan jajaran Polri di daerah. Ia melihat janggal sikap Bareskrim dalam penetapan BW, AS dan NB sebagai tersangka. "Kalau kasusnya mau dilempar ke kepolisian tingkat daerah, kenapa sejak awal Bareskrim Mabes Polri terlihat ngotot terhadap kasus yang menjerat pimpinan KPK," tandas Ray.

Anggota Koalisi dari ICW, Lalola Easter, mengatakan sudah sepatutnya Bareskrim Polri menangani persoalan yang sifatnya manajerial. Jika kasusnya tidak berat atau berskala nasional maka selayaknya diserahkan kepada kepolisian di tingkat yang lebih rendah. Kasus penyidikan perkara BW, AS, dan NB dinilai Lalola sebagai indikasi ketidakprofesionalan Bareskrim menangani perkara.

Ada beberapa hal yang membuat desentralisasi kepolisian perlu. Polres dan Polsek menjadi lebih dekat dengan masyarakat, sehingga polisi menjadi lebih profesional dan independen. Independensi Polsek dan Polres menyangkut dua hal: pembiayaan dan penegakan hukum. Dalam hal kemandirian penegakan hukum, intervensi Bareskrim terhadap penanganan perkara di daerah, imbuh Julius, sebaiknya dikurangi.

Secara kelembagaan, dikatakan Julius, kepolisian harus gemuk di bawah (Polsek/Polres). Menurutnya, Mabes Polri tidak memerlukan personil dalam jumlah banyak. Dengan begitu akan menangkis anggapan yang menyebut petinggi kepolisian lebih banyak melakukan peran politik daripada penegakan hukum. Itu juga selaras dengan pernyataan Kabareskrim, Budi Waseso, di media yang mengatakan Bareskrim membutuhkan gedung baru karena gedung yang ada sekarang melebihi kapasitas.

Selain itu Julius menekankan desentralisasi kepolisian harus dipertegas dan diatur lebih rinci dalam Perkap. Sehingga, ada pembatasan lingkup kerja dalam hal jenjang dan wilayah hukum. Dengan begitu polsek dan polres bisa menangani kasus secara jelas sesuai dengan wilayahnya dan tidak diintervensi Mabes Polri. Julius juga melihat terjadi potensi penyelewengan yang besar jika kasus yang mestinya ditangani Polres atau Polsek ditarik untuk ditangani Bareskrim Mabes Polri.
Tags:

Berita Terkait