Pekerja Kena PHK Bisa Cairkan Dana JHT
Revisi PP JHT:

Pekerja Kena PHK Bisa Cairkan Dana JHT

Revisi PP JHT masih terus dilakukan. Melibatkan para pemangku kepentingan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Menaker, Muh Hanif Dhakiri. Foto: RES
Menaker, Muh Hanif Dhakiri. Foto: RES
Para pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan dapat mencairkan dana Jaminan Hari Tua. Mereka tak perlu lagi menunggu usia tertentu atau masa penantian yang panjang.

Inilah salah satu arah perbaikan atau revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT). Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, menegaskan revisi masih terus dilakukan. Revisi itu dilakukan dengan melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk serikat pekerja dan asosiasi pengusaha.

Seperti harapan banyak pihak, Dhakiri ingin revisi PP Np. 46 segera selesai. “Tahapan revisi PP program JHT terus dilakukan dengan melibatkan berbagai instansi terkait. Kita dorong terus agar selesai sesegera mungkin,” kata Hanif di Jakarta, Selasa (11/8).

Hanif mengklaim posisi pemerintah dalam proses revisi sudah tepat. Pemerintah memandang revisi perlu dan dibutuhkan karena sistem jaminan sosial yang ideal belum sinkron dengan realita ketenagakerjaan di Indonesia saat ini. Misalnya, ketika di-PHK pekerja biasanya tidak langsung menerima pesangon, tapi membutuhkan waktu berbulan-bulan. Bahkan ada yang tidak penuh mendapat pesangon. Ia mengakui praktiknya, sistem pembayaran pesangon terhadap pekerja masih belum baik.

“Dalam PP ini sebenarnya pemerintah tidak mengambil langkah yang salah, tapi memang terdapat kesenjangan fakta di lapangan terutama berkaitan dengan kepastian status kerja dan sistem pesangon saat terjadi PHK,” kata Hanif.

Atas dasar itu dalam revisi PP JHT, pemerintah akan mengatur agar pekerja yang terkena PHK bisa mencairkan dana JHT. Revisi itu sesuai arahan langsung Presiden Joko Widodo yang menanggapi banyak masukan yang disampaikan pekerja terhadap pelaksanaan JHT yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerajaan.

Terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan semangat pemerintah mengatur agar peserta yang terkena PHK bisa mencairkan dana JHT sudah baik. Tapi, ketentuan itu jangan hanya diatur lewat revisi PP JHT karena bertentangan dengan pasal 35 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN.

Timboel mengingatkan pasal 35 ayat (2) UU SJSN intinya menentukan kondisi yang membolehkan peserta mencairkan dana JHT yaitu meninggal dunia, pensiun atau pekerja mengalami cacat total. “Di luar tiga kondisi itu pekerja sebagai peserta hanya bisa mencairkan sebagian dana JHT dengan minimal kepesertaan 10 tahun. Itu sesuai amanat pasal 37 ayat (3) UU SJSN,” katanya di Jakarta, Jumat (14/8).

Kemudian, ada aturan yang salah dalam PP JHT yakni pasal 26 ayat (1d) yang membolehkan tenaga kerja asing (TKA) untuk mengambil dana JHT secara keseluruhan bila pulang ke negara asalnya dan tidak kembali lagi ke Indonesia. Menurut Timboel, itu berarti ketika TKA di PHK atau habis kontrak maka TKA itu bisa mengambil seluruh dana JHT. Baginya ketentuan itu juga melanggar pasal 35 ayat (2) UU SJSN.

Dari informasi yang diperolehnya, Timboel mengatakan pemerintah hanya merevisi satu pasal dalam PP JHT yakni berkaitan dengan mekanisme pencairan dana JHT. Diantaranya, dana JHT dapat dicairkan seluruhnya bagi peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu surat pernyataan peserta tidak bekerja lagi di Indonesia.

Bagi Timboel, syarat itu akan sulit dilaksanakan karena di era globalisasi saat ini apalagi akan berlaku MEA di ASEAN mobilitas tenaga kerja semakin tinggi. TKA akan bebas masuk bekerja di Indonesia dan tidak mungkin TKA yang kembali ke negara asalnya tidak boleh bekerja lagi di Indonesia.

Lalu, ada ketentuan dalam revisi PP JHT yang membolehkan peserta yang mengalami PHK mencairkan seluruh dana JHT setelah melewati 1 bulan sejak di PHK atau berhenti bekerja. Syarat yang harus dipenuhi untuk mencairkan dana JHT itu diantaranya bukti persetujuan bersama yang telah didaftarkan di PHI atau penetapan PHI. Padahal, Timboel melihat tidak semua proses PHK diakhiri dengan adanya perjanjian bersama (PB) atau mendaftarkan PB itu ke PHI.

Bagi Timboel syarat itu akan memunculkan masalah. Misalnya, pengusaha tidak mau membuat PB dan tidak mendaftarkan ke PHI. Ujungnya, peserta akan kesulitan mencairkan dana JHT karena tidak mampu memenuhi persyaratan.

Berikutnya, bagi peserta yang berhenti bekerja dan ingin mencairkan seluruh dana JHT nya, maka ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya, surat keterangan berhenti bekerja dari perusahaan dan diketahui oleh dinas yang menyelenggarakan urusan ketenagakerjaan. Menurut Timboel, tidak semua pengusaha mau menerbitkan surat keterangan ketika pekerja mengundurkan diri atau habis kontraknya. Lagi-lagi jika itu terjadi maka pekerja akan keslutan mencairkan dana JHT.

Oleh karenanya, Timboel mengusulkan agar pengaturan pencairan dana JHT diserahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga BPJS Ketenagakerjaan dapat mengatur secara teknis bila pekerja pada kondisi tertentu kesulitan mendapat PB dan surat keterangan dari pengusaha. Misalnya, BPJS Ketenagakerjaan melakukan konfirmasi kepada perusahaan dan mendapat fakta bahwa pekerja tidak bekerja lagi di perusahaan, berdasarkan itu dana JHT bisa dicairkan.
Tags:

Berita Terkait