Restorative Justice Lebih Adil Buat Anak
Berita

Restorative Justice Lebih Adil Buat Anak

Melindungi hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Harkristuti Harkrisnowo. Foto: RES
Harkristuti Harkrisnowo. Foto: RES
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) memberikan pendekatan yang berbeda dari UU sebelumnya, yakni UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Dalam UU SPPA 2012, pendekatannya adalah menjauhkan anak dari penjara. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak dapat disamakan layaknya tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

Kepala Badan Pengembangan SDM Kementerian Hukum dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo mengatakan ada beberapa pandangan yang berubah dari sistem peradilan anak. Mulai dari filosofi sistem peradilan pidana anak, cakupan ‘anak’, usia pertanggungjawaban pidana anak, penghilangan kategori anak pidana, anak negara, dan anak sipil, pendekatan Restorative Justice, kewajiban proses Diversi pada setiap tingkat, penegasan hak anak dalam proses peradilan, dan pembatasan upaya perampasan kemerdekaan sebagai measure of the last resort.

Agar anak tak lagi mendekam di penjara karena melakukan tindak pidana, pendekatan restorative justice harus dikedepankan. “Mengapa keadilan restoratif? Karena pendekatan hukum adat di Indonesia lekat dengan paradigma restorative justice,” kata Harkristuti dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (10/9).

Harkristuti berpandangan pendekatan restorative lekat dengan pendekatan hukum adat. Pada dasarnya sanksi hukum adat mengacu pada tujuan mengembalikan keseimbangan, menghilangkan konflik, dan membebaskan rasa bersalah pelaku, serta mengutamakan dialog, rekonsiliasi, perdamaian antar pihak daripada penanganan melalui mekanisme hukum. Yang terpenting, mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.

Bagaimana pendekatan restorative justice ini bekerja? Karena sistem bergeser dari lex talionis atau retributive justice, maka pendekatan ini menekankan pada upaya healing, penyembuhan pelaku, korban dan masyarakat. Bahkan, memperhatikan kepentingan korban dan memberikan kesempatan pelaku untuk mengungkapkan rasa sesalnya pada korban, dan sekaligus menunjukkan tanggungjawabnya serta dapat bertemu dengan korban dan mengurangi animosity. “Pendekatan juga menekankan pada mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat dan tentunya melibatkan anggota masyarakat,” imbuhnya.

UU SPPA juga menginginkan adanya pencegahan atau mengurangi stigmatisasi terhadap anak dan membatasi perkara anak yang masuk ke pengadilan.

Pendekatan restorative justice dilakukan melalui diversi dalam tiap tingkatan melalui proses mediasi. Pasal 1 ayat (7) UU SPPA menyebut diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi dilakukan selama 30 hari untuk mencapai kesepakatan antar kedua belah pihak.

Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tangerang, Nirwana, sepakat dengan SPPA yang lebih mengutamakan restorative justice. Ia menilai, SPPA di Indonesia lebih sesuai menggunakan mekanisme mediasi untuk mencapai tujuan hukum, melalui pendekatan restorative justice sebagai landasan aplikatifnya.

Namun, pendekatan ini tak menjamin anak bebas dari pidana penjara. Jika Diversi tidak berhasil, maka perkara akan naik ke Pengadilan. Nirwana berharap, baik kesepakatan diversi yang tidak berhasil, gagal sejak awal ataupun tidak dilaksanakan, semangat dan roh restoractive justice tetap harus tercermin dalam putusan hakim anak. “Agar memenuhi asas dan tujuan UU SPPA,” ujarnya.

Harkristuti menambahkan, ada aturan untuk melaksanakan Diversi. Diversi hanya bisa dilakukan terhadap anak yang berusia 12 tahun ke atas. Hal ini mengingat usia pertanggungjawaban anak yang diubah dari 8 tahun menjadi 12 tahun. Kemudian tindak pidana yang bisa diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan  bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

“Perampasan kemerdekaan hanya diperuntukkan sebagai upaya terakhir pada semua tingkatan pemeriksaan, dan hanya bagi anak usia 14 tahun ke atas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait