Berbincang tentang Legislasi dengan Profesor Yuliandri
Berita

Berbincang tentang Legislasi dengan Profesor Yuliandri

Kurangnya kajian mendalam menyebabkan UU kita sering tidak bisa dilaksanakan, sering berubah, dan dipersoalkan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Prof Yuliandri. Foto: https://plus.google.com
Prof Yuliandri. Foto: https://plus.google.com
Kalangan dunia hukum, mungkin tidak asing mendengar nama Yuliandri. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang ini baru saja merampungkan tugasnya sebagai Wakil Ketua Panitia Seleksi Komisioner KY yang berhasil menjaring 7 nama kandidat.

Keterlibatan di Pansel bukan awal mula Yuliandri harus bolak balik Padang-Jakarta. Sebelumnya, Yuliandri nyaris menjadi hakim konstitusi. Awal Januari lalu, Yuliandri bersama I Gede Dewa Palguna berhasil lolos seleksi yang diselenggarakan Pansel Calon Hakim MK bentukan presiden yang diketuai Prof Saldi Isra. Namun, jalan hidup berkata lain, lantaran Presiden Jokowi akhirnya lebih memilih I Gede Dewa Palguna sebagai hakim konstitusi.

Yuliandri adalah pakar ilmu perundang-undangan. Dia resmi diangkat menjadi Guru Besar dalam bidang Ilmu Perundang-undangan di FH Unand pada April 2008. Setahun setelah menyandang gelar doktor ilmu hukum (perundang-undangan) di Universitas Airlangga, Surabaya pada 2007. Sebelumnya, gelar magister hukumnya diraih di FH Universitas Padjajaran pada 1993.

Pria kelahiran Sunagi Tarab, Tanah Datar Sumatera Barat, 18 Juli 1962 menyelesaikan sarjana hukumnya di FH Unand pada 1986. Dua kemudian kemudian, Yuliandri mengawali karirnya sebagai dosen hukum tata negara sesuai apa yang dicita-citakan sejak kuliah. Berkat ketekunannya mengajar, akhirnya dia dipercaya menjadi Dekan FH Unand pada periode 2010-2014.

“Awalnya, pada Juli 2002, saat menjalani profesi dosen dihadapkan pada pilihan sulit antara tawaran melanjutkan studi S-3 di Unair atau tawaran mengemban jabatan sebagai  Pembantu Dekan II FH Unand. Namun, akhirnya saya memilih lanjut studi yang alhamdulillah membawa berkah, gelar guru besar bisa diraih sekaligus dekan FH Unand pernah saya emban,” ujar kata Yuliandri kepada hukumonline di Kampus Unand, Padang, Sumatera Barat, Sabtu (12/9) lalu.

Saat acara prosesi Pengukuhan Guru Besar Ilmu Perundang-undangan di Unand, Yuliandri memaparkan hasil desertasinya berjudul “Membentuk Undang-undang Berkelanjutan dalam Penataan Sistem Ketatanegaraan” pada Juli 2009. Saat proses pengukuhan ini, Yuliandri meluncurkan buku berjudul Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik yang hingga kini bukunya sudah mengalami cetakan kelima.

Selain mengajar, Yuliandri juga aktif membuat beberapa tulisan, seperti Kerancuan Perumusan Norma Konstiusi, dalam buku Jalan Berliku Amandemen Komprehensif (dari Pakar, Politsi, hinga Selebriti), pada 2009. Selain itu, artikel yang berjudul “Tantangan Pelemahan Judicial Review Sebagai Mekanisme Pengawasan Terhadap Pembentukan Undang- Undang”, Jurnal Legislasi Indonesia yang dimuat pada Desember 2011.

Dapat dikatakan, Yuliandri merupakan professor ilmu perundang-undangan kedua setelah Guru Besar Perundangan-undangan FHUI Prof Maria Farida Indrati yang begitu fokus pada kepakaran bidang kajian peraturan perundang-undangan. Di sela-sela Acara Konferensi Hukum Tata Negara Kedua yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Andalas, Yuliandri mengakui mantan Ketua MK Moh Mahfud MD-lah yang menyebut dirinya pakar perundang-undangan setelah Maria Farida.

“Saat bedah buku saya itu, Pak Mahfud eksplisit yang menyampaikan kalau saya Guru Besar Ilmu Perundang-undangan setelah Bu Maria. Waktu itu Bu Maria juga hadir,” kata Yuliandri.

Sejak lulus dari magister hukum, Yuliandri  memang sudah bertekad untuk fokus pada kajian-kajian ilmu perundang-undangan. “Ketika saya kuliah S-3 pada 2002, saya lebih fokus pada bidang ini,” ujar dosen yang sehari-harinya mengajar Hukum Tata Negara, Perancang Peraturan Perundang-undangan, dan Ilmu Perundangan-undangan ini.

Di luar itu, dirinya aktif mendorong beberapa citivitas akademika FH Unand membentuk pusat studi bidang hukum lain, seperti PUSaKO yang berdiri sejak 2004. “Kita mendorong bidang hukum lain membentuk pusat studi, misalnya pusat studi hukum pidana, perdata, internasional, termasuk hukum tata negara mendirikan Pusat Studi Perundang-undangan yang dibentuk pada 2011,” ujar Dekan FH Unand Periode 2010-2014 ini.

Legislasi
Dia memandang beberapa tahun terakhir persoalan proses pembentukan peraturan perundang-undangan (legislasi) terutama yang berhubungan dengan pembangunan sistem ketatanegaraan seringkali mengalami perubahan dalam waktu relatif pendek.  Ada undang-undang yang dibentuk seolah-olah paket periodik yang harus diganti, seperti undang-undang dalam bidang politik.

Misalnya, banyak Undang-Undang (UU) yang diterbitkan, tetapi faktanya tidak bisa atau tidak optimal dilaksanakan di lapangan atau Peraturan Pelaksananya tidak ada. Fenomena lain, UU yang diterbitkan rentan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) tak lama setelah diterbitkan. Salah satunya, Perppu Pilkada yang kemudian menjadi UU Pilkada yang hingga kini dipersoalkan di MK.

“Penyusunan undang-undang seyogyanya didasarkan kepentingan umum dan mengesampingkan kepentingan pribadi atau golongan,” kata dia.

Persoalan itu disebabkan pembentuk UU lemah dalam perencanaan tanpa kajian mendalam dan tidak menempuh analisis kebutuhan akan pentingnya sebuah UU. “UU yang dibuat umumnya hanya memenuhi target Program Legislasi Nasional (Prolegnas), untuk kepentingan sesaat seperti UU Pemda, UU Pilkada, sehingga dalam waktu pendek sering berubah. Bahkan tanpa kajian akademik tiba-tiba UU itu terbit,” ujar pria yang tercatat sebagai Guru Besar Ilmu Hukum ke-16 dari 18 guru besar yang ada di FH Unand.

Menurutnya, setiap penyusunan peraturan idealnya dibutuhkan kajian mendalam dan komprehensif agar efektif dalam pelaksanaan dan berlaku berkelanjutan, sehingga berlaku  dalam jangka waktu lama. Salah satu syarat penyusunan UU yang baik harus ada naskah kajian akademik. “Komponen naskah akademik tidak sekedar kajian formal, tetapi kajian yang lebih dalam dan komprehensif mengenai substansi yang diatur dengan selalu berpedoman pada konstitusi,” tutur kata ayah yang dikaruniai sepasang anak ini.

Persoalan lain, kata Yuliandri, lemahnya proses pembentukkan UU saat ini lantaran legislator dalam hal ini DPR belum memiliki staf khusus perancangan peraturan perundangan-undangan. Faktanya, anggota DPR saat ini mengurusi hal-hal teknis hingga rumusan pilihan kalimat/kata, titik koma, dalam penyusunan UU.

“Harusnya ini pekerjaan legal drafting yang butuh keahlian khusus, DPR cukup memberi petunjuk soal prinsip atau ide-ide kebijakan umum, lalu dirumuskan oleh perancang. Ini seperti Senator di Amerika yang men-drafting staf ahlinya.”

Sedangkan problem di pemerintah, ada kelemahan koordinasi antara Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dengan kementerian lain ketika sebuah UU atau peraturan di bawahnya akan diterbitkan. Sebab, tak jarang inisiatif membentuk UU datang dari kementerian lain, bukan dari Ditjen Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP) Kemenkumham.

“Kadangkala, lemahnya koordinasi ini seringkali ada ketidaksepahaman terhadap kelayakan (legal formal) substansi UU yang disusun,” katanya. “Faktor ini yang menyebabkan UU kita sering tidak bisa dilaksanakan, sering berubah, dan dipersoalkan.”
Tags:

Berita Terkait