Menimbang Penanganan Sengketa Candidacy Buying dalam Pilkada
Berita

Menimbang Penanganan Sengketa Candidacy Buying dalam Pilkada

Mahkamah Konstitusi dinilai sebagai tempat yang pas dalam menangani sengketa ini.

Oleh:
CR19
Bacaan 2 Menit
Seminar tentang Pilkada serentak yang digelar di LAN, Senin (16/11). Foto: CR19
Seminar tentang Pilkada serentak yang digelar di LAN, Senin (16/11). Foto: CR19

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak segera digelar. Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, mengatakan bahwa yang masih menjadi permasalahan terkait hal ini adalah mengenai pembelian kandidat (candidacy buying) dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Pembelian kandidat merupakan istilah lain dari uang ‘sewa perahu’. Yakni suatu proses dimana kandidat harus memberikan imbalan kepada partai politik (parpol) sebagai bagian dari proses pencalonan agar diusung menjadi calon. Nantinya, dana mahar atau sewa perahu itu dibayarkan oleh pasangan calon kepada sejumlah parpol yang mengusung mereka dalam Pilkada.

Padahal, praktik candidacy buying sudah dilarang secara tegas oleh undang-undang. Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang mengamanatkan secara tegas bahwa tidak boleh ada transaksi uang dari calon kepala daerah kepada partai politik.

Tak hanya itu, Pasal 47 ayat (2) di UU yang sama juga mengatur bahwa parpol yang terbukti menerima imbalan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di deerah yang sama. Bahkan, dari sisi calon atau kandidat pun, jika terbukti memberi imbalan dalam proses pencalonan maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, atau Walikota dapat dibatalkan atau didiskualifikasi.

Namun, dikatakan Refly, dalam pelaksanaannya ketentuan pasal-pasal tersebut hampir dipastikan sulit diimplementasikan. Sebab, praktik menerima imbalan oleh parpol atau memberi imbalan bagi calon atau kandidat, keduanya sama-sama mesti dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurutnya, hal ini menjadi titik yang sangat krusial mengingat menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap menjadi rawan gugatan di kemudian hari.

“Beberapa peraturan sengaja diciptakan untuk tidak bisa dilaksanakan atau dilaksanakan cuma formalitas. Pasal ini sebetulnya tidak bisa dilaksanakan,” katanya dalam suatu diskusi yang digelar Lembaga Administrasi Negara (LAN) di Jakarta, Senin (16/11).

Refly melanjutkan, memang terkait dengan candidacy buying ini belum pernah ada yang meributkan, khususnya dalam sengketa di pengadilan. Namun, ia menyarankan agar permasalahan sengketa pada tahap pencalonan ini tidak diserahkan ke pengadilan negeri melainkan diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Jangan serahkan ini kepada pengadilan konvensional. Mestinya MK saja yang menyelesaikan masalah ini,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait