Ujian PERADI Juniver, Tidak Harus PKPA
Berita

Ujian PERADI Juniver, Tidak Harus PKPA

PKPA diragukan relevansinya dengan kesuksesan ujian. Kubu seberang lontarkan kritik.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Hasanuddin Nasution. Foto: SGP.
Hasanuddin Nasution. Foto: SGP.
Beda kubu, beda kebijakan. Itulah yang terjadi di tubuh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) terkait pelaksanaan ujian profesi advokat. 18 November 2015 lalu, PERADI kubu Juniver Girsang melansir pengumuman terkait rencana pelaksanaan ujian yang akan digelar pada awal tahun 2016.

Satu informasi yang terpampang di pengumuman itu adalah persyaratan pendaftaran yang berbunyi, “Yang dapat mengikuti UPA (Ujian Profesi Advokat, red): 1. Calon peserta yang belum mengikuti PKPA; 2. Calon peserta yang telah mengikuti PKPA”.

Dengan bunyi persyaratan seperti tersebut di atas, maka untuk mengikuti ujian yang dilaksanakan PERADI Juniver Girsang, calon peserta tidak diwajibkan terlebih dulu mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA).

Kepada hukumonline, Rabu (2/12), Sekretaris Jenderal PERADI Juniver Girsang, Hasanuddin Nasution menjelaskan alasan di balik kebijakan persyaratan pendaftaran ujian tersebut. Menurut dia, pihaknya mulai meragukan relevansi PKPA dengan kesuksesan ujian.  Materi ujian, lanjut Hasanuddin, juga sebenarnya sudah dipelajari para calon peserta ujian ketika mereka kuliah di fakultas hukum.

“Secara umum, kecuali materi organisasi dan juga kode etik ya, itu relatif mereka mungkin sudah dapat di S1. Kan ujiannya itu hukum acara perdata, hukum acara pidana, peradilan hubungan industrial, acara MK, TUN, segala macam, itu sudah didapatkanlah di mata kuliah hukum acara,” terangnya.

Alasan lainnya adalah aturan yang berlaku, khususnya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, tidak ada yang secara tegas menyebutkan bahwa PKPA adalah syarat untuk mengambil UPA.

“Di dalam undang-undang itu memang menyebutkan syarat pengangkatan advokat harus mengikuti PKPA dan lulus ujian, nah tapi tentang kapan sebenarnya waktu ideal PKPA – apakah sebelum atau sesudah ujian – itu tidak diatur. Nggak disebut sama sekali, jadi nggak ada aturan yang kita tabrak,” tegasnya.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, UU Advokat hanya menyinggung PKPA dalam Pasal 2 ayat (1) yang lengkapnya berbunyi, “Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat”.

Selama ini, sejak PERADI berdiri tahun 2005, kata Hasanuddin, sepertinya ditradisikan bahwa PKPA itu dilakukan sebelum ujian. Maksud awalnya adalah agar calon peserta memiliki pemahaman yang cukup sebelum mengikuti ujian.

“Kita membuatnya seperti itu dengan harapan PKPA ini bisa menjadi pemahaman peserta sebelum mereka mengikuti ujian. Namun, sekarang-sekarang ini justru banyak orang mengeluhkan bahwa materi ujian tidak ada hubungannya dengan materi yang diberikan (di PKPA),” ujar Hasanuddin.

Sayangnya dalam jangka waktu panjang ini tidak pernah ditinjau kembali manfaatnya. Makanya, ke depan itu kita akan kaji lagi soal materi muatan PKPA ini, kata Hasanuddin. “Materi akan ditinjau ulang dan akan direvisi sesuai tuntutan profesi,” tambahnya.

Walaupun menerapkan persyaratan ujian yang bisa dikatakan ‘longgar’, Hasanuddin memastikan kualitas lulusan akan tetap terjaga. Pihaknya, kata dia, tidak akan sembarang dalam meluluskan calon advokat.

“Kita tetap memasang standar kelulusan tinggi. Kita pasang tetap 70. Bahkan awalnya saya mengusulkan 80,” ujar Hasanuddin.

Mengomentari kebijakan ujian PERADI Juniver Girsang, Hermansyah Dulaimi menyebut kebijakan itu dapat merusak sistem ujian advokat. Kebijakan yang begitu longgar, kata Ketua Panitia Ujian Profesi Advokat PERADI kubu Fauzie Yusuf Hasibuan, pada akhirnya akan menghasilkan kualitas advokat yang kurang bagus.

“Kok belum PKPA boleh ikut ujian? Bagaimana bisa begitu. Ini bisa rusak,” ujar Hermansyah.
Tags:

Berita Terkait