UU Keselamatan Kerja Sudah Tak Cocok
Berita

UU Keselamatan Kerja Sudah Tak Cocok

Setiap tahun rata-rata terjadi seratus ribu kecelakaan kerja di Indonesia.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Contoh pelaksanaan K3. Foto: SGP
Contoh pelaksanaan K3. Foto: SGP
Keselamatan dan Kesehata Kerja (K3) merupakan bagian penting dari hukum ketenagakerjaan. Siapapun yang melanggar kewajiban dalam menerapkan K3 sebenarnya bisa terkena sanksi. Cuma, selama ini penerapan sanksi tegas terhadap pelanggar jarang terdengar. Pejabat Kementerian Ketenagakerjaan pun tak menamping sulitnya menegakkan hukum K3.

Data BPJS menunjukkan, setiap tahun rata-rata terjadi kecelakaan kerja 98 ribu hingga 100 ribu di Indonesia. Tahun 2015 lalu, misalnya, tercatat 105.182 kecelakaan kerja yang mengakibatkan 2.375 orang meninggal dunia. Dibandingkan jumlah angkatan kerja 121 juta orang, kecelakaan kerja tersebut terbilang kecil.

Dirjen Pengawasanan Ketenagakerjaan, Muji Handaya, mengatakan pemerintah terus berupaya menggugah kesadaran seluruh masyarakat akan pentingnya K3. Salah satu tantangan yang dihadapi selama ini adalah penegakan hukum.

Muji beralasan regulasi yang ada belum mampu memberikan efek jera bagi perusahaan atau orang yang melanggar norma-norma dan ketentuan K3. Sebab, sanksi yang diatur peraturan perundang-undangan bagi pihak yang melanggar K3 tergolong ringan. Mengacu Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1970  tentang Keselamatan Kerja sanksi yang bisa dijatuhkan hanya hukuman selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp100.000.

“UU No. 1 Tahun 1970 itu sifatnya preventif. Itu sudah tidak cocok dengan zaman sekarang karena tidak bisa memberi efek jera,” ujar Muji.

Dalam penegakan hukum K3, Muji mengatakan Kemenaker berupaya memasukkan unsur yang dapat memberi sanksi lebih berat kepada pelanggar. Misalnya, dalam penyidikan dalam mengusut kasus K3 selain menggunakan UU No. 1 Tahun 1970 digunakan juga ketentuan terkait K3 yang ada di UU No. 13 Tahun 2013  tentang Ketenagakerjaan.

Ia menegaskan semua kasus K3 terutama yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain akan diproses secara hukum. Para korban pun dijamin mendapat santunan apakah dari pemberi kerja atau BPJS Ketenagakerjaan jika si pekerja telah didaftarkan sebagai peserta. Sampai tahun 2015 tercatat ada 81 kasus K3 yang dinyatakan lengkap oleh penyidik (P21).

Muji mengatakan tahun 2016 usia UU No. 1 Tahun 1970 mencapai 45 tahun. Mengingat usia regulasi tersebut yang sudah sangat tua Kemenaker akan membuat refleksi terhadap kebijakan-kebijakan K3 yang dibuat mengacu pada peraturan tersebut. Pasca refleksi itu Kemenaker akan menentukan kebijakan-kebijakan strategis ke depan, termasuk  menerbitkan peraturan perundang-undangan yang memperkuat UU No. 1 Tahun 1970.

Peluang MEA
Selain menghadapi tantangan Muji mengatakan implementasi K3 di Indonesia mendapat peluang yang cukup baik di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah bergulir sejak akhir 2015. Sebab dalam perdagangan internasional penerapan K3 diutamakan. Secara global K3 dinilai sebagai bagian dari pemenuhan HAM dan masuk dalam deklarasi HAM internasional (DUHAM).

Sosialisasi masif kepada masyarakat tentang pentingnya K3 menurut Muji harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan. Sehingga penerapan K3 menjadi budaya. Sayangnya saat ini secara kultural industri di Indonesia masih melihat K3 sebagai beban. Padahal, K3 harus dipandang sebagai investasi karena dengan menerapkannya secara benar akan tercipta situasi kerja yang aman dan nyaman. “Itu problem kita,” tukasnya.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, mengatakan masalah K3 sangat penting tapi sering diabaikan pengusaha, pekerja dan pemerintah. Pengusaha seringkali memandang K3 sebagai biaya dan beban. Akibatnya tidak sedikit ketentuan K3 yang tidak disiapkan di tempat kerja. Padahal K3 perlu dipandang sebagai investasi dan mendukung produktifitas perusahaan.

Kalangan pekerja dan serikat pekerja/serikat buruh juga ada yang tidak peduli dengan K3. Misalnya, penggunaan alat penunjang K3 sering diabaikan karena pekerja ingin lebih simple dalam bekerja. Serikat pekerja/serikat buruh juga enggan melapor bila alat-alat atau prosedur K3 tidak tersedia di perusahaan.

Pemerintah juga bertanggungjawab terhadap penegakan hukum K3. Pemerintah biasanya bereaksi bila sudah terjadi kecelakaan kerja. Ketika petugas menemukan peralatan K3 atau prosedur K3 yang tidak tersedia biasanya pengawas K3 tidak mengambil tindakan tegas. Padahal upaya preventif dan promotif harus diutamakan oleh pemerintah sekaligus penjatuhan sanksi hukum.

Timboel yakin jumlah kecelakaan kerja di Indonesia lebih besar daripada data yang dilansir BPJS Ketenagakerjaan. Tercatat masih ada pekerja yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan sehingga ketika mengalami kecelakaan kerja pekerja tersebut tidak dijamin BPJS.

Selain itu UU No. 1 Tahun 1970 harus direvisi. Definisi kecelakaan kerja harus diperluas dan dibarengi dengan sanksi pidana yang lebih kuat sehingga bisa menghasilkan efek jera. Revisi itu harus memuat kewajiban pengusaha mengalokasikan minimal 5 persen dari total anggaran perusahaan dalam setahun untuk preventif dan promotif K3. “Sanksi pidana juga bisa diterapkan bila pengusaha lalai menyediakan peralatan penunjang K3. Kelalaian itu merupakan pelanggaran serius terhadap kemanusiaan,” urainya.
Tags:

Berita Terkait