Tolak RUU Tapera, Begini Alasan Pengusaha
Berita

Tolak RUU Tapera, Begini Alasan Pengusaha

Dunia usaha sudah dibebani banyak pungutan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Tolak RUU Tapera, Begini Alasan Pengusaha
Hukumonline
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) secara tegas menolak Rancangan Undang-Undang tentang Tabungan Perumahan Rakyat (RUU Tapera). RUU ini sudah dibahas sejak 2014, dan besar kemungkinan mendapat prioritas untuk diselesaikan dalam waktu dekat. RUU ini sebenarnya sudah hampir disahkan tetapi gagal di detik-detik terakhir tahun 2014.

Penolakan Apindo langsung disampaikan ketua umumnya,  Hariyadi B. Sukamdani, di Jakarta, Selasa (19/1) kemarin. Sejak dibahas tahun lalu, kalangan pengusaha sudah menyampaikan sinyal penolakan. RUU yang ada saat ini pun, dinilai Sukamdani, tak banyak berubah dibandingkan naskah tahun lalu.

Poin penting yang membuat Apindo menolak adalah iuran atau pungutan kepada dunia usaha. Menurut Hariyadi, RUU Tapera mengatur pungutan untuk pekerja sektor formal sebesar 3 persen terdiri dari 2,5 persen dibayar oleh pekerja dan 0,5 persen pengusaha (pemberi kerja). “Kami secara tegas menolak RUU Tapera untuk sektor pekerja formil karena ada iuran yang dibebankan kepada pemberi kerja (pengusaha),” katanya dalam jumpa pers di kantor DPN Apindo di Jakarta, Selasa (19/1).

Hariyadi mengingatkan dunia usaha sudah banyak dibebani oleh pungutan seperti program Jaminan Sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan yakni Jaminan Hari Tua (JHT) 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74 persen dan Jaminan Pensiun 2 persen, dan  Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan sebesar 4 persen. Ada lagi cadangan pesangon sebagaimana amanat UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dan sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) berdasarkan penghitungan aktuaria sebesar 8 persen.

Apindo juga menganggap Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak diperlukan untuk sektor formal karena BPJS Ketenagakerjaan punya program bantuan uang muka perumahan bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Walaupun ada syarat yang harus dipenuhi oleh peserta yakni kepesertaan minimal 1 tahun dengan harga rumah maksimal Rp500 juta, peserta tetap dapat mencairkan sebagian dana Jaminan Hari Tua atau maksimal 30 persen dengan masa iur 10 tahun yang bisa digunakan untuk membeli rumah.

Hariyadi melihat BPJS Ketenagakerjaan juga memberikan subsidi bunga KPR bagi peserta dengan pagu 20 persen portofolio Jaminan Hari Tua yang saat ini total dana kelolaannya mencapai Rp180 triliun. Dari jumlah itu ia menghitung ada dana Rp 36 triliun yang didepositokan di BTN dengan bunga sebesar BI rate (7,25 persen). Bagi Hariyadi dana itu yang akan mengurangi bunga KPR untuk peserta BPJS Ketenagakerjaan (pekerja formal).

Penolakan RUU Tapera, kata Hariyadi, bukan berarti Apindo menolak kebijakan pemerintah untuk membantu masyarakat pendapatan rendah mendapat perumahan. Menurutnya itu kewajiban negara, tapi kebijakan itu jangan membebani sektor industri formal dengan pungutan (iuran). Apindo konsisten mendorong pemerintah untuk memperluas lapangan kerja formal. Sebab pekerja sektor formal perlindungannya relatif lebih baik daripada sektor informal.

Jika legislator tetap ngotot mengesahkan RUU Tapera, Hariyadi mengusulkan agar pembiayaan untuk pekerja sektor formal sumbernya bukan dari iuran pemberi kerja. Pembiayaan berasal dari optimalisasi dana-dana publik yang telah dihimpun dari pemberi kerja, seperti dana jaminan sosial yang dikumpulkan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Tapi jika UU Tapera diterbitkan dan pemberi kerja dikenakan iuran, Apindo  menyiapkan langkah hukum, dan menginstruksikan anggotanya tidak membayar iuran Tapera.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Anton J Supit, mengatakan penolakan yang dilakukan Apindo terhadap RUU Tapera bukan tanpa sebab. Menurutnya, penting untuk dipikirkan daya saing Indonesia terhadap negara lain. “Kadin sepakat dengan Apindo, menolak RUU Tapera,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait