Tersangka di KPK, Andri Resmi Dicopot dari Jabatan
Utama

Tersangka di KPK, Andri Resmi Dicopot dari Jabatan

Status kepegawaiannya menunggu penuntasan kasus. KY lakukan penelusuran lebih lanjut.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Juru Bicara MA, Suhadi saat jumpa pers terkait penangkapan pejabat MA Andri Trisanto Sutisna, Senin (15/2). Foto: ASH
Juru Bicara MA, Suhadi saat jumpa pers terkait penangkapan pejabat MA Andri Trisanto Sutisna, Senin (15/2). Foto: ASH
Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) memberhentikan sementara Kasubdit Kasasi dan PK Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata MA, Andri Tristanto Sutisna (ATS). KPK dan MA mengkonfirmasi ada pejabat MA yang tertangkap tangan KPK. Pria yang diduga Andri Trisanto Sutisna itu diduga menerima uang suap Rp400 juta.

MA memberhentikan dari jabatan lantaran Andri diduga kuat telah menyalahgunakan tugas dan wewenangnya untuk menunda pengiriman salinan putusan kasasi perkara korupsi yang melibatkan pengusaha.

“Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Sekretaris MA telah mengeluarkan keputusan memberhentikan sementara ATS dari jabatannya. Soal status kepegawaiannya menunggu penuntasan kasusnya,” ujar Juru Bicara MA Suhadi di Gedung MA, Senin (15/2). Suhadi didampingi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Dewa Nyoman dan Kasubag Humas MA Rudi Sudiyanto.

Andri ditangkap KPK pada Jum’at (12/2) malam bersama lima orang lainnya diantaranya Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi dan pengacaranya, Awang Lazuardi Embat di rumahnya kawasan Serpong, Tangerang. Pejabat MA itu diduga menerima Rp400 juta dari Ichsan melalui pengacaranya. Pemberian uang itu untuk menunda pemberian salinan putusan kasasi vonis perkara korupsi dengan terdakwa Ichsan di Pengadilan Tipikor Mataram. Tak lama kemudian, Andri bersama Ichsan dan Awang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Suhadi menjelaskan Andri  diduga kuat telah menyalahgunakan tugas dan fungsinya sebagai Kasubdit Kasasi/PK Perdata di MA. Padahal, penundaan salinan putusan yang dimaksud menyangkut perkara tindak pidana korupsi, bukan perkara perdata. Apalagi, kewenangan mengirim salinan putusan kasasi/PK ke pengadilan pengaju (pengadilan tingkat pertama) merupakan kewenangan Panitera Muda Pidana Khusus di MA.

“Apalagi, ini menyimpang ke perkara pidana khusus (korupsi). Ini bagiannya sudah lain, jadi tidak ada hubungannya dengan tugas Kasubdit Perdata. Jadi ATS sudah bertindak di luar kewenangan, tugas dan fungsinya sebagai Kasubdit Kasasi/PK Perdata. Kita juga belum tahu apa ada keterlibatan Panitera Muda (Pidana Khusus),” terang Suhadi.

Secara teknis, dia menjelaskan proses berkas pengajuan permohonan kasasi/PK dari pengadilan pengaju diterima Bagian Umum di MA. Apabila berkas permohonan menyangkut perkara akan diteruskan atau dilimpahkan ke direktur sesuai jenis perkaranya, misalnya direktur perdata, direktur pidana khusus. Lalu, direktur itu meneliti apakah kelengkapan berkas itu sudah memenuhi syarat yang di dalamnya Kasubdit turut meneliti kelengkapan berkasnya.

“Di sinilah tugasnya Kasubdit meneliti berkas persyaratan sesuai jenis perkaranya. Setelah berkas lengkap dilimpahkan ke Panitera Muda dan Ketua MA hingga majelis yang memutus, tidak ada lagi tugas Kasubdit disitu. Setelah diputus, diminutasi oleh panitera pengganti dan ditandatangani majelis. Lalu, pengiriman salinan putusan dikirim oleh Panitera Muda yang bersangkutan ke pengadilan pengaju, bukan direktur/kasubdit,” tegasnya.

Terkait kasus ATS, menurutnya dengan petikan putusan pun, eksekusi putusan MA sudah bisa segera dilaksanakan. “Kalau ATS diduga menunda penyerahan salinan putusan pidana korupsi itu, kita tidak tahu bagaimana kasusnya. Yang pasti, 1-2 hari setelah diputus, petikan putusan yang dikirim bisa segera dilaksanakan, salinan putusan menyusul secepatnya,” kata dia.

Dia menambahkan penundaan pemberian salinan putusan kasasi No. 1867 K/Pid.Sus/2015 tertanggal 9 September 2015 dengan susunan majelis diketuai Artidjo Alkostar beranggotakan Krisna Harahap dan MS Lumme. Majelis menolak kasasi pemohon dan memperberat vonis Ichsan dan kawan-kawan dari 2 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara, denda Rp 200 juta, dan uang pengganti sebesar Rp4,46 miliar.

Sebelumnya, Majelis Hakim Tipikor Mataram menghukum Gafar Ismail, Ichsan Suaidi, dan M Zuhri masing-masing selama 2 tahun penjara yang diperkuat Pengadilan Tinggi Mataram lantaran terbukti melakukan korupsi Mega Proyek Pembangunan Dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur, NTB, senilai Rp82 miliar. Petikan putusan kasasinya ini dikirim ke Pengadilan Tipikor Mataram pada 12 Oktober 2015.

“Kita tidak tahu apa ada keterlibatan majelis hakim agung itu. Yang jelas, MA memperberat hukumannya. Logikanya, kalau majelis hakim agung terlibat, hukumannya lebih rendah kan? Ini malah diperberat,” dalihnya.

Terpisah, Juru Bicara KY Farid Wajdi menerangkan pengawasan pejabat nonhakim itu sepenuhnya ada di ranah pengawasan MA. Sementara pengawasan kode etik dan perilaku hakim merupakan kewenangan KY bersama MA. Meski begitu, KY secara proaktif, tentu merespon sekaligus lebih jauh menelusuri segala hal berkaitan Operasi Tangkap Tangan KPK yang melibatkan pejabat di MA ini.

Semua itu mengacu pada proses penanganan laporan/pemantauan yang berlaku di KY. Mengungkap motif dan menemukan bukti pelanggaran kode etik dan perilaku yang dilakukan oleh oknum aparat pengadilan ataupun hakim tidaklah mudah. Tetapi, nanti akan kita dalami juga apakah ada keterlibatan hakim agung ini,” ujar Farid Wajdi saat dihubungi.


Tags:

Berita Terkait