Setya Novanto Minta MK Tafsirkan “Permufakatan Jahat”
Utama

Setya Novanto Minta MK Tafsirkan “Permufakatan Jahat”

Yang diuji KUHP, UU Pemberantasan Korupsi, dan UU ITE.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Setya Novanto. Foto: RES
Setya Novanto. Foto: RES


Syamsu menjelaskan terkait status hukum Setnov sebagai terperiksa kasus dugaan tipikor, sejumlah pemberitaan media disebutkan Direktur Penyelidikan pada Jampidsus memandang Setnov terlibat dalam pemufakatan jahat untuk memperpanjang izin divestasi saham PT. Freeport Indonesia.

“Menurut kami, hal tersebut mustahil dilakukan karena Setnov tidak pada posisi berwenang dan berkapasitas memperpanjang kontrak PT Freeport. Jaksa Agung telah menyederhanakan unsur “dua orang atau lebih yang bersepakat” tanpa memahami lebih jauh apakah “dua orang atau lebih” itu memiliki kapasitas dan kualitas melakukan tindak pidana dan apakah kesepakatan itu ditujukan melakukan tindak pidana,” klaimnya.

Karena itu, pemohon meminta frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP yang kemudian diadopsi oleh Pasal 15 UU Tipikor harus dimaknai dan ditafsirkan kembali oleh MK. Sebab, ketidakpastian dalam frasa tersebut dapat menjadi cikal bakal kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya seperti dialami Setnov.

“Kami minta MK menyatakan Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor berkaitan frasa ‘pemufakatan jahat’ sepanjang tidak dimaknai ‘dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih mempunyai kualitas dan kapasitas bersepakat melakukan tindak pidana’ adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tutur Syamsu mengutip petitum permohonan.  

Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta kedudukan hukum pemohon diperjelas. “Kedudukan prinsipal Anda itu apa masih sebagai terperiksa atau sudah tersangka, kemudian apa kerugian konstitusionalnya sudah masuk di situ? Kalau setahu saya membaca media baru menjadi saksi,” kata Suhartoyo.

Dia menilai secara sistematika pokok permohonan ini sudah benar. Hanya saja, perlu pendalaman terutama menyangkut syarat kualitas dan kapasitas dalam permufakatan jahat. “Pak Setya Novanto kan belum tentu kena pasal itu. Tetapi, kasus lain yang mungkin dialami warga negara lain, apa juga harus dipersyaratkan adanya kualitas dan kapasitas ini. Nanti alangkah sulitya menjerat orang yang betul-betul mau melakukan kejahatan?”

Menurut pemahamannya permufakatan jahat itu bisa saja dilakukan oleh orang lain, pihak ketiga yang sebenarnya tidak ada kaitan dengan identitasnya, kapasitasnya, kualitasnya. “Jadi, tolong jelaskan juga kriteria kualitas dan kapasitas itu seperti apa? Jangan ini kepentingan sesaat pemohon,” ujarnya mengingatkan.

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams juga mengingatkan pemohon masih sebagai anggota DPR aktif. “Kedudukan ini perlu diulas bahwa anggota DPR juga berhat mengajukan permohonan judicial review. Untuk catatan saja, putusan MK No. 151/PUU/2009, MK pernah memutuskan anggota DPR tidak memiliki kedudukan hukum. Coba lihat nanti putusannya,” kata Adams.

Di sidang terpisah, Setnov pun mempersoalkan Pasal 5 ayat (1), (2), Pasal 44 huruf b UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 26A UU Pemberantasan Tipikor terkait informasi, dokumen elektronik, rekaman sebagai alat bukti dalam proses hukum. Pemohon menganggap alat bukti berupa dokumen yang terekam secara elektronik tidak bisa dijadikan alat bukti kalau diperoleh secara tidak sah.

“Ketentuan itu tidak tegas mengenai alat bukti yang sah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan undang-undang untuk melakukan perekaman,” kata kuasa hukum pemohon, Syaefullah Hamid di sidang perdana yang diketuai Arief Hidayat.

Dia melanjutkan tidak adanya pengaturan keabsahan bagaimana cara memperoleh alat bukti elektronik menciptakan situasi yang dialami pemohon. Padahal, seseorang dapat saja dikatakan melakukan tindak pidana, menyalahgunakan wewenang, menerima imbalan atau janji didasarkan hasil rekaman tidak sah. “Ini seperti hasil rekaman yang dilakukan mantan Dirut PT  Freeport Indonesia Ma’roef Sjamsudin,” tudingnya.       

Menurutnya, perekaman yang diperoleh tanpa izin/persetujuan orang yang berbicara dalam rekaman atau dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui pihak-pihak yang terlibat jelas melanggar hak privasi orang pembicaraannya direkam. “Seharusnya bukti rekaman itu tidak dapat dijadikan alat bukti karena diperoleh secara tidak sah (ilegal),” harapnya.   

Kasus yang populer dengan sebutan “Papa Minta Saham” PT Freeport Indonesia yang menyeret nama mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) ternyata bergulir juga ke Mahkamah Konstitusi. Melalui tim kuasa hukumnya, Setnov melayangkan uji materi Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) khususnya menyangkut makna “permufakatan jahat” dalam pasal itu.

“Pengertian ‘pemufakatan jahat’ dalam Pasal 88 KUHP yang dijadikan acuan UU Pemberantasan Tipikor tidak jelas dan potensial terjadinya pelanggaran hak dalam penegakan hukum. Itu menimbulkan beragam penafsiran dari pakar hukum pidana,” ujar kuasa hukum pemohon, Muhammad Ainul Syamsu saat sidang perdana yang diketuai Hakim Konstitusi Patrialis Akbar di Gedung MK, Rabu (24/2).

Selengkapnya, Pasal 88 KUHP menyebutkan “Dikatakan ada pemufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan.” Sementara Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor disebutkan “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.”       

Sejak mundurnya Setnov sebagai ketua DPR saat diadili Majelis Kehormatan Dewan (MKD), Jampidsus pada Kejagung menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Setnov dan beberapa pihak lain telah diselidik dalam kasus ‘papa minta saham’ PT Freeport Indonesia yang diduga melakukan permufakatan jahat atau mencoba untuk melakukan korupsi yang dijerat Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor.

Syamsu mengatakan pengertian pemufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP hanya berlaku dalam tindak pidana umum. Namun, ketika dihubungkan dengan pemufakatan jahat dalam korupsi harus mensyaratkan kualitas dan kapasitas tertentu. “Jika tidak, penerapannya akan menimbulkan kesewenang-wenangan yang secara nyata dialami pemohon,” kata dia.       
Tags:

Berita Terkait