Penuh Risiko, Masyarakat Disarankan Tunda Beli Apartemen
Utama

Penuh Risiko, Masyarakat Disarankan Tunda Beli Apartemen

Sebaiknya sewa saja dulu, sampai ada kepastian hukum dari pemerintah.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi apartemen. Foto: SGP
Ilustrasi apartemen. Foto: SGP
Saat ini apartemen atau hunian rumah susun menjadi tren yang semakin berkembang di Indonesia. Kebutuhan tempat tinggal di tengah keterbatasan lahan maupun gaya hidup metropolitan dengan mobilitas tinggi menjadikan apartemen sebagai solusi. Tak heran, pembangunan apartemen sederhana bersubsidi maupun mewah marak di kota-kota besar.

Namun, Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (APERSSI), Ibnu Tadji, mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membeli rumah susun ataupun apartemen dulu saat ini. Menurut Ibnu, sebaiknya calon konsumen menunda pembelian tersebut. Sebab, Ibnu menilai pembelian apartemen saat ini penuh risiko.

“Saat ini pemerintah masih belum siap menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Rumah Susun. Selain itu, masih banyak persoalan yang timbul dan belum dapat diselesaikan oleh pemerintah terkait rumah susun. Hal ini sangat berisiko,” ungkapnya kepada hukumonline di Jakarta, Rabu (18/5).

Lebih lanjut, Ibnu menjelaskan Peraturan Pemerintah (PP) sangat penting untuk melaksanakan UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Terlebih lagi, pada pekan lalu Mahkamah Konstitusi baru saja mengabulkan sebagian permohonan uji materi oleh sejumlah pemilik dan penghuni rumah susun terhadap Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 107 UU No. 20 Tahun 2011.

Pada intinya, putusan tersebut mengamanatkan bahwa pelaku pembangunan apartemen wajib memfasilitasi terbentuknya perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (P3SRS) pada masa transisi tanpa harus dikaitkan dengan selesainya penjualan unit-unit satuan dalam rumah susun yang bersangkutan.

Menurut Ibnu, peran P3SRS memang sangat signifikan bagi para pemilik satuan rumah susun atau unit apartemen. Institusi tersebut menjadi wadah bagi para pemilik dan penghuni untuk mengelola tempat tinggalnya. Sehingga Ibnu melihat bahwa pelaku pembangunan justru khawatir pembentukan P3SRS akan jatuh ke tangan para pemilik rumah susun itu sendiri.

“Memang persoalan itu banyak muncul di antara penghuni apartemen atau rumah susun kelas menengah ke atas. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan juga,” ungkapnya.

Sering kali, menurut Ibnu, pemilik dan penghuni rumah susun maupun apartemen yang menghadapi masalah dengan pengembang terpaksa harus menerima keadaan. Sebab, Ibnu mengakui kemampuan masyarakat memahami persoalan tidak merata. Selain pengetahuan, waktu dan biaya penyelesaian masalah juga sering menghambat atau justru menimbulkan masalah sendiri.

“Meskipun permohonan uji materi terhadap Pasal 107 yang mengatur sanksi bagi pemilik yang lalai membentuk P3SRS, tetapi di dalam amar pertimbangannya MK mengakui bahwa tidak adanya sanksi berkaitan dengan pembentukan P3SRS tersebut menjadi penyebab pelaku pembangunan tidak memfasilitasi pembentukan P3SRS,” tambahnya.

Di sisi lain, Ibnu mengakui bahwa kebutuhan terhadap hunian kian hari kian meningkat. Ia mengatakan, setidaknya ada kebutuhan 13 juta lebih hunian yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Hal ini menurutnya, selain karena kebutuhan yang terus bertambah tetapi juga supply yang seringkali terhambat.

Utamanya, menurut Ibnu permintaan rumah susun memang untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Tetapi ia juga melihat banyak konsumen yang memilih apartemen sebagai alternative investasi. Dalam jangka waktu lama diharapkan bisa dijual kembali setelah ada margin keuntungan.

“Sayangnya, banyak juga yang melakukan spekulasi. Membeli dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat dijual kembali dengan menarik keuntungan,” tandasnya.

Hal ini berkaitan dengan tidak adanya aturan yang membatasi jumlah satuan rumah susun yang bisa dibeli konsumen. Ia menengarai pembelian semacam itu berkaitan pula dengan keengganan pengembang untuk membentuk P3SRS. Sehingga menurutnya perlu ada pembatasan dalam rancangan peraturan pemerintah yang kini sedang dirancang.

“Menteri Perumahan Rakyat harus membentuk tim untuk menyikapi putusan MK. Sekaligus mengevaluasi rancangan PP. Proses ini harusnya juga dilakukan oleh sumber daya manusia yang tepat dan melibatkan pemangku kepentingan termasuk konsumen,” tegasnya.

Sambil menunggu PP diterbitkan, Ibnu mengatakan bahwa solusi bagi masyarakat yang butuh terhadap rumah susun adalah dengan menyewa terlebih dahulu. Sebab, pembelian yang dilakukan saat masih ada kekosongan hukum seperti saat ini menurutnya berisiko. Ia khawatir akan timbul masalah-masalah yang tidak diinginkan.

“Sebaiknya sewa saja dulu. Tunda pembelian sampai ada kepastian hukum dari pemerintah,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait