Ketika Harus Memilih
Tajuk:

Ketika Harus Memilih

Saat “musim” pemilihan pejabat politik tiba, apakah presiden dalam Pilpres ataupun gubernur dalam Pilgub, kita disadarkan pada adanya kewajiban memilih atau mungkin tepatnya menjalankan hak memilih.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemilihan.  Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilihan. Ilustrator: BAS
Sistem “one man one vote” juga menyadarkan kita bahwa setiap warga negara “usia berhak memilih” otomatis diberi oleh negara hak mengeluarkan satu suara. Hak suara itu ada di tangan kita masing-masing, bisa kita perlakukan sekehendak hati. Hak suara bisa kita anggap sebagai jelmaan dari hak konstitusi yang melekat pada setiap dari kita, warga negara Indonesia dengan hak pilih, suatu hak yang sakral, yang bila kita laksanakan bisa menentukan berjalannya sistem demokrasi dalam sistem kenegaraan kita. Bisa juga hak itu kita anggap sebagai tawaran atas opsi yang diberikan negara untuk ikut serta menentukan siapa pejabat publik yang akan memimpin negara, atau propinsi di mana kita tinggal. Opsi tentu bisa digunakan, tetapi bisa juga tidak, bergantung pada banyak hal dan kejadian, atau perubahan hati nurani kita sendiri. Hak suara wajib diberikan juga kepada warga negara yang sebetulnya tidak peduli siapa yang akan memimpin kita, karena presiden yang dikira punya kekuasaan begitu besar ternyata tidak kebal hukum, dan banyak dibatasi oleh konstitusi, undang-undang, etika pejabat publik, sorotan media dan batasan atau keterbatasan lain. Apalagi gubernur, pejabat publik yang hanya memimpin satu propinsi. Bagaimanapun, satu suara bisa ikut menentukan kalau secara bersama dilaksanakan. Satu suara juga menentukan, manakala secara bersama dibuang percuma.

Dalam Pilpres dan Pilgub, kita juga diusik oleh pertanyaan, siapa yang layak dipilih, dan untuk apa, serta bagi kepentingan siapa pilihan itu kita lakukan? Kalau kita pilih satu calon misalnya, negara atau propinsi ini akan menjadi apa nantinya? Kalau kita tidak memilih calon ini, bagaimana kalau calon lain yang justru tidak kita kehendaki menjadi terpilih? Dalam Pilpres 2014 yang lalu, banyak orang memilih Jokowi karena dia terkesan jujur, lugu (maksudnya tidak macam-macam), dan sepertinya mau kerja keras untuk perbaikan kesejahteraan rakyat. Tetapi, banyak juga yang memilih Jokowi karena tidak mau Prabowo yang terpilih. Fenomena “asal bukan dia” memang seringkali mewarnai Pilpres dan Pilkada kita.

Dalam sejarah demokrasi kita, tidak seperti di AS, posisi gubernur, bupati atau wali kota tidak pernah menjadi incaran politikus karena tidak adanya tradisi politik bahwa jabatan-jabatan itu bisa jadi batu loncatan untuk menjadi orang nomor satu di pemerintahan. Pada zaman Orde Baru, banyak orang mau masuk militer karena sukses di militer bisa membawa mereka ke puncak posisi pemerintahan di daerah dan tingkat nasional. Tentu tidak ada yang punya ambisi untuk menjadi militer sebagai batu loncatan menjadi presiden sepanjang Soeharto masih berkuasa.

Pilgub di Jakarta menjadi menarik karena tradisi politik untuk menjadikan gubernur sebagai batu loncatan ke kursi presiden ternyata telah dirintis oleh Jokowi. Banyak orang jadi terbuka matanya, oh ternyata bisa ya...Jadi, kalau Jokowi bisa, tentu kami pun bisa... PILGUB di Jakarta kini sering dikaitkan dengan tradisi politik baru ini. Bukan tidak mungkin, dengan melihat sejumlah (kecil) bupati dan wali kota yang sekarang menjabat juga mempunyai potensi ke arah sana. Ingat saja, jarak waktu antara masa jabatan Jokowi sebagai Wali Kota Solo (sampai 2012) menjadi Presiden (mulai 2014) sebenarnya cukup singkat.

Kalau menyimak siapa para calon gubernur Jakarta yang sedang siap-siap berlaga sekarang ini, maka agaknya telah cukup terang benderang untuk menyimpulkan bahwa masing-masing mereka dan orang-orang di belakangnya mempunyai pola pikir yang sama, yaitu bahwa kontes ini merupakan rintisan dari proses menuju Pilpres 2019, atau melihat usia mereka, Pilpres 2024. Postur mereka sekarang ini adalah postur nasional, bukan postur untuk daerah.Tentu banyak calon yang membantah teori ini. Tetapi mari kita saksikan saja kenyataan politik ini dalam waktu yang tidak begitu lama. Alasan panggilan suara rakyat untuk tampil dalam Pilpres kelak juga muncul. Parpol dan tokoh pendukungnya, pihak lain dalam kontrak politik itu mungkin juga mendukung itu karena posisi Kepala Negara bagaimanapun adalah ujung dari segala kontes politik untuk menjadi penguasa nomor satu.

Gejala ini sebetulnya baik untuk pembentukan tradisi politik baru, bahwa pimpinan nasional bisa juga datang langsung dari daerah. Mereka yang menonjol kinerjanya di daerah, layak untuk dipertimbangkan untuk mengambil bagian dalam kontes pemilihan pimpinan nasional. Kita miskin kader yang baik. Pelebaran untuk menjaring pimpinan daerah yang sukses menjadi pimpinan nasional akan membuka banyak peluang baru, bukan hanya untuk kepentingan calon-calon itu, tetapi juga bagi kepentingan nasional. Mereka jugalah yang merasakan denyut kehidupan akar rumput di daerah-daerah, sehingga jika berkuasa kelak bisa memasukkan kebutuhan daerah yang lebih tepat dalam kebijakan-kebijakan nasionalnya.

Pada sisi lain, mengurus Jakarta pasti jauh berbeda dengan mengurus Indonesia, meskipun banyak yang bilang bahwa Jakarta adalah barometer Indonesia, bahwa Jakarta adalah Indonesia mini atau “melting pot” untuk berbagai unsur di Indonesia.  Tetapi, bagaimanapun kompleksnya Jakarta, dengan menerapkan manajemen kota besar yang baik harusnya pimpinan Jakarta bisa mengatasi semua atau hampir semua masalah yang bisa timbul dari suatu kawasan metropolitan.

Dengan berkaca pada kondisi infrastruktur, sosial dan ekonomi Jakarta sekarang, sampai dengan beberapa tahun mendatang, masalah penggusuran dan penanganan pengentasan kemisikinan di sejumlah kantong Jakarta mungkin masih akan menjadi masalah (sosial) yang pelik bagi Gubernur Jakarta. Tetapi, tuntutan perkembangan kota metropolitan, pertumbuhan ekonomi yang jauh di atas rata-rata angka di daerah, tingkat pendidikan yang tinggi, dan dominasi kelas menengah, berikut dengan tuntutan-tuntutan untuk menjadikan Jakarta sebagai “service city”, akan menjadikan Jakarta lambat laun, senang atau tidak senang, terbebas dari kantong-kantong kumuh dan masyarakat dengan tingkat kemiskinan tinggi. Kita pun semua mestinya bertekad, bahwa kekumuhan harus dihilangkan, kesejahteraan harus ditingkatkan, dan para penghuninya harus dimuliakan martabatnya. Mempertahankan kantong-kantong kumuh demi kebijakan populis sama saja dengan mempertahankan kemiskinan.

Tokyo, Taipei, dan Seoul masih menyisakan kampung-kampung kecil dengan gang-gang sempit di sela-sela pencakar langit dan lautan beton di dalamnya. Kampung-kampung kecil itu tertata rapi, tidak ada got bau dan mampet, gang-gangnya masih bisa dimasuki mobil pemadam kebakaran kecil, dan arsitektur sejumlah rumah tradisionalnya memberi warna lokal yang kental kepada kota-kota besar itu. Orang “asli” masih tinggal disana, mereka mempunyai pekerjaan yang baik dan menjadi bagian dari dinamika ”service city” yang tak henti bernafas. Mereka memelihara budaya lokal, dan warung-warung kecilnya yang bersih masih menyajikan makanan lokal yang menjadi bagian dari kultur gastronomi nasional.Jakartapun bisa berakhir baik demikian.

Saya pernah mendengar dari seorang sahabat saya yang menjadi penasihat ahli sejumlah Gubernur Jakarta, bahwa memang sebetulnya Jakarta sudah didesain seperti itu. Hanya saja, kepentingan politik populis para gubernur memaksa mereka untuk menunda perubahan Jakarta kearah sana. Kasarnya, kalau mau terpilih kembali, jangan gunakan APBD untuk kepentingan yang tidak menarik simpati pemilih.

Musim kampanye Pilgub Jakarta belum resmi dimulai, tetapi perang pesona dan saling menjatuhkan sudah mulai terasa, halus ataupun kasar.Para politikus loncat kesana-sini, pindah kubu, buat aliansi baru, dan mendadak alim. Sementara, para pendukung mereka juga sudah lebih memperlihatkan keasliannya dalam debat terbuka di media sosial yang kejam. Bagi kita semua itu silakan saja, asalkan aturan dan etika politik tidak dilanggar. Adapun yang mengganggu untuk saya yang sudah menjadi warga Jakarta lebih dari enam dasawarsa, dan mungkin banyak warga Jakarta lainnya, adalah betapa mudahnya para calon Gubernur itu mengatas-namakan rakyat dalam (pra) kampanyenya.

Kalau disimak lebih dalam, kita secara jujur harus bertanya, siapakah “rakyat” dalam kehidupan bermasyarakat di Jakarta, mega city terbesar di Asia Tenggara? Apakah mereka adalah penduduk miskin Jakarta yang tersingkir, yang jumlahnya sekitar 3,5% dari seluruh jumlah warga Jakarta, dan tinggal di bantaran sungai-sungai di Jakarta yang kumuh? Apakah mereka golongan menengah Jakarta yang menghasilkan 1/6 dari GDP Indonesia, dengan GRDP (Gross Regional Domestic Product) sebesar Rp1,761.407 triliun dengan pertumbuhan ekonomi  diatas 6% per tahun sejak 2009, dan pada 2014, per GRDP per kapitanya sebesar Rp174,87 juta atau USD13,400? Bandingkan dengan GDP Indonesia per kapita secara nasional 2014 yang hanya sebesar USD3,834. Menurut Brookings Institution, pada 2014 pertumbuhan ekonomi Jakarta menduduki tempat ke-34 dari 200 kota-kota terbesar di dunia. Jakarta berkembang lebih cepat dari Kuala Lumpur, Beijing, dan Bangkok.

Jakarta jelas bukan rata-rata Indonesia, baik dari segi kemampuan ekonomis, tingkat pendidikan dan kecerdasan penduduknya, akses dan hubungan dengan dunia luar (internasional), pengaruhnya pada penentuan kebijakan publik yang juga bisa berdampak nasional, hubungan dengan penguasa lokal dan nasional, frekuensi dan kualitas interaksinya dengan lembaga-lembaga negara, kompleksitas politiknya dan lain-lain. Jadi, tentu mengatas-namakan “rakyat” Jakarta merupakan strategi kampanye yang salah sasaran, dan tidak jelas basisnya, serta hanya merupakan strategi kampanye untuk mencapai tingkat popularitas yang tinggi dari para calon. Demikian juga, pilihan “isu” kampanye seharusnya lebih cerdas, sehingga penduduk Jakarta tidak merasa dilecehkan “kecerdasannya” tersebut. Pemilih Jakarta jelas adalah pemilih yang tingkat kompleksitasnya tinggi (informed voters), karenanya tidak mudah dibakar dengan segala “isu” gender, SARA, politik busuk, dan semua “isu” sensitif lainnya. Antara para calon dan para pemilihnya berlaku idiom “I know you as you know me”. Jadi, tidak usahlah berlagak lebih pintar, dan memberikan janji-janji yang tidak masuk akal.Buat pemilih Jakarta, yang dibutuhkan bukan seorang politikus atau orang yang ingin menjadikan Pilkada ini sekedar batu loncatan atau ukuran elektabilitas menuju ke RI-1 atau RI-2. Tetapi, sederhananya yang dibutuhkan adalah seorang manajer andal yang mampu menjadikan Jakarta ini tertib di segala bidang dengan tingkat keamanan yang tinggi, sistem transportasi yang relatif cepat, bersih dan terjangkau, banjir yang bisa dikendalikan dengan cepat, tata ruang yang nyaman bagi semua penduduk, pemerintahan yang bersih terutama adanya jaminan atas transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, urbanisasi terkendali, efektivitas penggunaan anggaran, terutama uang pajak daerah, kampung-kampung yang bersih, sehat dan menampilkan budaya lokal, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik untuk penduduk yang kurang mampu. Sangat tidak masuk akal kalau mengharapkan Jakarta steril dari kriminalitas, bebas banjir, orang daerah dilarang masuk Jakarta, kampung-kampung habis digusur. Tetapi sangat masuk akal kalau korupsi diberantas, penggunaan anggaran dilakukan secara efektif, kampung-kampung ditata ulang, dan fasilitas pendidikan dan kesehatan ditingkatkan.

Caranya? Setumpuk “proposal” tepat guna dari banyak konsultan nasional dan internasional sudah bertumpuk di sistem kearsipan Pemda DKI Jakarta, siapapun tahu itu. Jadi mudah saja, tarik itu dari sistem kearsipan, dan putuskan untuk dilaksanakan. Ini seperti mudahnya sekitar 3 tahun yang lalu Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta menarik keluar usulan tentang proyek MRT Jakarta darisistem kearsipan untuk segera dilaksanakan.

Akhir Oktober 201. ATS
Tags:

Berita Terkait