Simak 4 Argumentasi Penting dalam Eksepsi Pengacara Ahok
Utama

Simak 4 Argumentasi Penting dalam Eksepsi Pengacara Ahok

Minta kepada majelis agar surat dakwaan jaksa dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima.

Oleh:
CR21
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang Ahok. Foto: EDWIN
Suasana sidang Ahok. Foto: EDWIN
Usai dakwaan dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, Tim Advokat Ahok langsung membacakan eksepsi yang telah disiapkan. Eksepsi dibacakan bergantian oleh anggota Tim Advokat termasuk salah satunya oleh adik kandung Ahok, Fifi Lety Indra. 22 orang Tim Advokat Ahok hadir di ruang sidang berhadapan dengan 13 orang Penuntut Umum.

Eksepsi Ahok tercatat mengutip sejumlah ayat Quran, hadits, hingga kisah dalam kehidupan kenabian umat Islam. Advokat pertama yang membacakan eksepsi mengawali dengan salam umat Islam serta basmalah yang merupakan ucapan pembuka khas umat Islam sementara advokat terakhir membacakan eksepsi yang berisi kalimat doa. Dalam eksepsi tersebut memuat 4 argumentasi yang dijadikan dasar Tim Advokat yang menamai dirinya Tim Bhineka Tunggal Ika tersebut agar Majelis Hakim menggugurkan tuntutan dengan putusan batal demi hukum atau setidaknya menolak surat dakwaan tuntutan Penuntut Umum.

Pertama,tuntutan pidana dengan menggunakan Pasal 156a KUHP dianggap melompati prosedur yang harus dilalui dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (“UU No. 1/PNPS/1965”). Tim advokat Ahok memahami dakwaan Jaksa Penuntut Umum bahwa Ahok dianggap telah membuat penafsirannya sendiri tentang al-Qur’an surat Al Maidah ayat 51 sampai Ahok mengatakan ada kebohongan dari kandungan yang disebarkan dari Al Maidah ayat 51. Untuk itu, seharusnya pada Ahok diberlakukan pasal 1, pasal 2, pasal 3 UU No. 1/PNPS/1965 sebelum akhirnya diajukan tuntutan pasal 156a KUHP. Sebagai UU yang merupakan lex specialis dalam delik agama, Ahok dinilai tidak mendapatkan haknya untuk diproses terlebih dahulu dengan tahapan dalam pasal-pasal tersebut. Berikut bunyi pasal-pasalnya:

Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 menyebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, mengajarkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/PNPS/1965 menyebutkan “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri

Pasal 3 UU No. 1/PNPS/1965 menyebutkan “Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”.

Dengan kata lain, seharusnya Ahok mendapatkan perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri sebelum dipidanakan menggunakan Pasal 156a KUHP.

Kedua,konstruksi atas Pasal 156a KUHP yang dibuat jaksa salah karena tidak memenuhi unsur pasal tersebut yang merupakan delik materil. Pasal 156a KUHP huruf a dan b menyebutkan: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan melihat secara lengkap Pasal 156a KUHP tersebut, Tim Advokat Ahok berpendapat unsur yang terdapat dalam huruf (a) dan (b) adalah satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan. Sehingga ini adalah delik materil yang berlaku doktrin bahwa tindak pidana hanya akan terjadi dengan adanya akibat dari perbuatan itu, dalam hal ini ‘orang menjadi tidak beragama’. Sebaliknya, surat dakwaan Penuntut Umum dinilai tidak menjelaskan adanya akibat dari perbuatan Ahok, yaitu adanya ‘orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Ketiga, Penuntut Umum dinilai telah salah mendasarkan penggunaan Pasal 156a KUHP yang seharusnya berakibat ‘tidak menganut agama apapun’ menjadi ‘dalam rangka pemilihan gubernur DKI Jakarta’. Dengan demikian surat dakwaan dianggap cermat, tidak jelas dan tidak lengkap serta menimbulkan kekaburan (obscuur libel).

Keempat,rumusan subjek korban dalam dakwaan alternatif Pasal 156 dinilai tidak jelas. Tim Advokat berpendapat bahwa harus dijelaskan golongan dari umat Islam mana yang sudah dihina oleh Ahok. Bahkan tidak adanya penduduk dari Pulau Pramuka yang hadir dan mendengar langsung pidato Ahok sebagai pelapor juga menjadikan tidak jelas mengenai umat atau golongan umat Islam yang mana yang menjadi subjek korban terkait penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Ahok.

Atas dasar 4 hal tersebut Tim Advokat Ahok mengajukan pada Majelis Hakim agar dakwaan penuntut umum harus dinyatakan batal demi hukum atau tidak dapat diterima.
Tags:

Berita Terkait