Pengujian UU Pengampunan Pajak Ditolak, Begini Alasan MK
Utama

Pengujian UU Pengampunan Pajak Ditolak, Begini Alasan MK

Putusan ini sangat berarti bagi Pemerintah yang akan terus melaksanakan UU Pengampunan Pajak yang hingga akhir Maret 2017.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Presiden Joko Widodo dalam sosialisasi pengampunan pajak. Foto: RES
Presiden Joko Widodo dalam sosialisasi pengampunan pajak. Foto: RES
Akhirnya, secara bulat Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi sejumlah pasal UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang dimohonkan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI). Intinya, Pasal 1 ayat (1) dan (7); Pasal 3; Pasal 4; Pasal 5; Pasal 11 ayat (2), (3), dan (5); Pasal 19; Pasal 21 ayat (1) dan (2), Pasal 21 ayat (2); Pasal 22; dan Pasal 23 yang meminta untuk dibatalkan atau ditafsirkan bersyarat ini dianggap tidak bertentangan dengan UUD 1945 alias konstitusional.

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 57/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan SPRI di Gedung MK, Rabu (14/12). Alhasil, tiga permohonan lain yakni Pemohon Pengurus Yayasan Satu Keadilan (YSK); Leni Indrawati Dkk; dan beberapa organisasi buruh sebagian besar dinyatakan nebis in idem karena pasal-pasal yang dimohonkan hampir sama.

Keempat kelompok Pemohon itu menguji konstitusionalitas pasal-pasal tersebut meminta MK membatalkan atau ditafsirkan bersyarat. Inti keempat permohonan ini hampir serupa yakni pasal-pasal tersebut dinilai diskriminatif terutama masyarakat/kalangan buruh sebagai pembayar pajak yang taat, merusak sistem perpajakan, potensial melegalkan praktik pencucian uang  dan merusak sistem penegakkan hukum yang bertentangan dengan UUD 1945. (Baca juga: Pemerintah Bantah Tax Amnesty Bernuansa Pajak Berganda).

Mahkamah menilaiterdapat alasan urgen dan mendasar bagi pembentuk UU untuk mengambil kebijakan pengampunan pajak melalui pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2016 ini. Hal ini tak lepas dari dampak krisis ekonomi global tahun 2008 yang berimbas pada pelemahan ekonomi negara di dunia, termasuk perekonomian Indonesia yang mengalami perlambatan pertumbuhan.

“Keadaan ini telah menyebabkan menurun drastisnya sumber pendapatan negara, khususnya dari sektor pajak. Padahal pajak masih merupakan sektor penyumbang terbesar pendapatan negara guna membiayai program-program pembangunan guna mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan.

Kondisi ini, kata Suhartoyo, menjadikan negara, khususnya Pemerintah, dihadapkan pada situasi dilematis. Tetap berpegang teguh hanya pada penegakan hukum di bidang perpajakan dengan risiko tidak tercapainya target pendapatan negara karena terbatasnya akses terhadap harta atau kekayaan wajib pajak terutama yang berada di luar negeri, atau mengambil langkah khusus sebagai terobosan, second best effort di luar penegakan hukum “normal”.

Pilihan itu memungkinkan Pemerintah bisa melanjutkan program-program pembangunan demi mewujudkan tujuan negara yang dimanatkan oleh Konstitusi. (Baca juga: 3 Langkah Dapatkan Pengampunan Pajak).

Alhasil, pembentuk UU menempuh langkah khusus atau terobosan dalam bentuk kebijakan pengampunan pajak yang hanya diberlakukan satu kali dalam satu periode. Setelah periode itu berakhir akan diberlakukan pengenaan tarif normal yang disertai langkah-langkah penegakan hukum normal. Tujuanya, kebijakan ini untuk merepatriasi dana WNI di luar negeri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan basis data perpajakan nasional, dan meningkatkan penerimaan pajak yang diperoleh dari uang tebusan.

“Sehingga, secara prinsip, esensi pengampunan pajak ini berupa pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang atau mengenakan pajak dalam suatu periode tertentu, dihubungkan tujuan diambilnya kebijakan itu, tidaklah bertentangan dengan UUD 1945,” dalihnya. (Baca juga: Presiden Jokowi Inspeksi Mendadak Layanan Tax Amnesty).

Meski begitu, Mahkamah tetap mempertimbangkan materi muatan norma yang dimohonkan pengujian. Intinya, inkonstitusionalitas materi muatan pasal yang dipersoalkan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Misalnya, inkonstitusional frasa “penghapusan pajak” dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal 3 yang dihubungkan dengan Pasal 1 angka 7, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Pengampunan Pajak tidak beralasan menurut hukum.

“Frasa ‘uang tebusan’ dalam Pasal 1 angka 7 dihubungkan dengan Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pengampunan Pajak tidak beralasan menurut hukum,” lanjut Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.

Demikian pula, Pasal 11 jo Pasal 19 ayat (1), (2) UU Pengampunan Pajak terkait dibebaskannya Wajib Pajak peserta Pengampunan Pajak dari sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan, Mahkamah berpendapat ketentuan in konsekuensi dari pengertian Pengampunan Pajak seperti disebutkan Pasal 1 angka 1. Beleid ini menyebutkan “Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan…”

“Mahkamah juga berpendapat, Pasal 20 UU Pengampunan Pajak adalah konstitusional sepanjang diartikan ketentuan a quo tidak mencakup (termasuk) tindak pidana lain, di luar tindak pidana di bidang perpajakan. Sehingga,  tidak terdapat pula persoalan inkonstitusionalitas dalam Pasal 22 UU Pengampunan Pajak,” kata Palguna.

Sangat berarti
Usai persidangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyambut baik dan sangat menghargai putusan MK ini. Sebab, putusan ini mencerminkan keseluruhan asas atau prinsip ketaatan hukum sekaligus kepastian berlakunya UU Pengampunan Pajak. “Keputusan ini sangat berarti bagi pemerintah yang akan terus melaksanakan UU Pengampunan Pajak hingga akhir Maret 2017,” kata Sri Mulyani di Gedung MK.

Baginya, tentu putusan ini akan menghilangkan keraguan dari para Wajib Pajak yang menjadi peserta tax amnesty. “Dengan putusan MK ini tentu diharapkan ada kepastian bagi seluruh Wajib Pajak yang selama ini mengikuti tax annesty  pada periode pertama dan saat ini masuk periode kedua,” kata dia.

Menurutnya, putusan ini juga menjadi momentum kuat untuk terus memperbaiki kinerja Direktorat Jenderal Pajak sekaligus “modal” untuk terus meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional. “Isi putusan ini satu paket dengan seluruh upaya pemerintah mereformasi sektor perpajakan dan peraturan perpajakan, seperti revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan, UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai,” lanjutnya.

“Kita berharap reformasi sektor perpajakan ini sekaligus memperbaiki institusi direktorat pajak baik dari sisi human resources, insentif, karier, database dan teknologi informasi, serta supporting system.”
Tags:

Berita Terkait