Perlu Regenerasi Kepemimpinan di MA
Utama

Perlu Regenerasi Kepemimpinan di MA

Proses pemilihan Ketua MA diminta memperhatikan aspirasi publik.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan mendorong ajang pemilihan Ketua MA kali ini diperlukan regenerasi. Sebab, kepemimpinan Ketua MA Hatta Ali dianggap gagal. Menurut Koalisi Pemantau Peradilan, genap 5 tahun Hatta Ali menjabat sebagai Ketua MA kinerja lembaga peradilan tertinggi ini terbilang sangat rendah. Hal ini bersesuaian dengan fakta banyaknya kasus korupsi di lingkungan peradilan yang melibatkan hakim dan pejabat di MA.

“Kami mendorong agar pemilihan ketua MA ke-14 ini menghasilkan regenerasi kepemimpinan (baru) karena kemungkinan petahana mencalonkan kembali sebagai Ketua MA. Hatta Ali saat ini usianya 67 tahun, kalau terpilih lagi hanya tersisa 3 tahun menjabat. Menurut kami lebih baik diberikan kepada yang lebih muda untuk menjalankan estafet kepemimpinan di MA,” kata perwakilan dari YLBHI, M Isnur di Kantor ICW Jakarta, Senin, (13/2).

KPP beranggotakan YLBHI, MaPPI FHUI, LeIP, PSHK, ICW, ILR, ICEL, ICJR, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, dan PBHI. Seperti diketahui, MA akan menggelar pemilihan ketua MA pada Selasa (14/2) besok seiring berakhirnya masa jabatan Ketua MA M. Hatta Ali pada Februari ini sejak terpilih menjadi Ketua MA pada Februari 2012 lalu. (Baca Juga : Hatta Ali Diminta Tidak Lindungi Hakim Nakal)

Isnur mengungkapkan di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, MA malah terjerat kasus korupsi yang melibatkan hakim. Belum lagi, kasus dugaan suap terbaru melibatkan mantan Sekretaris MA Nurhadi. “Banyak kasus yang melibatkan ring 1 MA, kalau sekretaris MA saja kena, bagaimana lembaga peradilan di bawahnya. Kami menyayangkan zaman Hatta Ali makin banyak yang terlibat kasus korupsi, ada 18 hakim yang terkena kasus korupsi, 12 hakim yang terkena penggaran kode etik,” ungkapnya.

Menurutnya, proses regenerasi kepemimpinan MA melalui proses pemilihan Ketua MA ini cenderung dilakukan secara tertutup. Seharusnya dengan lembaga sebesar MA ini proses pemilihan dibuka ke publik. “Bagaimana tahapan proses pemilihannya, calon-calonnya siapa, track record-nya seperti apa, evaluasinya agar tumbuh kepercayaan publik kepada MA.”

“Senyapnya proses pemilihan, menjadi tanda tanya besar buat kami, kenapa senyap? jangan-jangan ada agenda tersembunyi disana? semakin senyap dia, semakin mengundang kecurigaan,” ujar Isnur yang menggelar konferensi pers bersama sejumlah perwakilan LSM lain.  (Baca Juga : HM Hatta Ali Terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung)

Dalam kesempatan yang sama, Totok Yuliyanto dari PBHI melanjutkan proses pemilihan Ketua MA tidak hanya sekedar memilih ketua saja, tetapi hendaknya membawa proses perubahan terkait reformasi di MA itu sendiri. Karena itu, perubahan struktur kepemimpinan di MA menjadi sangat penting dalam rangka menuju manajemen peradilan yang lebih baik.

“Ditakutkan proses pemilihan Ketua MA secara tertutup yang dilangsungkan besok ini hanya formalitas saja, proses pergantiannya tetap orang yang sama. Artinya jangan sampai pemilihan secara internal tetapi berdampak secara eksternal. Dengan majunya petahana tidak akan membawa kemajuan,” kata Totok.

Dia mengakui Pasal 8 ayat (7) UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA, pemilihan Ketua MA memang dilakukan secara internal oleh para Hakim Agung. Tetapi seharusnya proses pemilihannya melibatkan masyarakat luas, masyarakat yang bersinggungan dengan hukum, seperti pengacara atau Ombudsman untuk memberikan masukan terhadap figur calon ketua MA dari kalangan hakim agung. “Meskipun tidak memiliki hak suara untuk memilih, tetapi setidaknya bisa memberikan masukan,” kata Totok mengingatkan.

Sementara Ali Reza dari MaPPI FHUI menambahkan proses pemilihan Ketua MA tersebut seharusnya melibatkan lembaga lain, misalnya KPK, PPATK, KY. Ketiga lembaga tersebut berkaitan dengan kerja-kerja MA.

Meski begitu, pihaknya berharap Ketua MA yang bakal terpilih nanti harus memiliki integritas, kapabilitas, pemahaman manajemen di MA. Tentunya, figur ketua MA terpilih bisa menjawab semua tantangan yang dihadapi lembaga peradilan termasuk memiliki solusi untuk mengatasinya.

“Calon Ketua MA harus mempunyai visi dan misi terkait apa yang harus dilakukan dalam agenda reformasi peradilan untuk diketahui publik dan kawan-kawan media. Jangan sampai publik peradilan hanya menjadi dokumentasi kosong tanpa ada implementasi lebih lanjut,” tutupnya.

Catatan KY
Secara Terpisah, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi menyampaikan pemilihan ketua MA baru hendaknya dijadikan momentum melakukan regenerasi di internal MA. “MA butuh tenaga baru dan ‘darah’ yang lebih segar akan menjadi energi tersendiri bagi percepatan reformasi peradilan Indonesia,” kata Farid dalam keterangan tertulisnya.

Baginya, ada pesan yg sangat kuat mengapa banyak jabatan publik yang dibatasi dengan waktu atau periode tertentu. Ini tidak lain untuk mengingatkan kita tentang kemapanan yang harus terus dikoreksi dan kekuasaan yang tidak juga boleh dibiarkan tanpa batasan.

Sebagai lembaga yang memiliki kemitraan dengan MA, KY mengimbau meski mekanisme pemilihan Ketua MA diatur secara terbatas, prosesnya tetap memperhatikan aspirasi publik mengenai track record kepemimpinan, laporan capaian MA selama ini, dan intensi para pemantau serta pengamat dari luar. “Apapun itu dengarkan dan diakomodir,” harapnya.

Menurutnya, peradilan tidak hanya dinilai dari agenda reformasi diatas kertas dan perbaikan aksesoris. Sebab, parameter sebenarnya ada pada para pencari keadilan yang setiap hari berhadapan dengan perilaku dan tabiat aparat penegak hukum dalam hal ini para hakim.  

“Perubahan yang hakiki adalah adanya perubahan penilaian masyarakat terhadap wajah dunia peradilan kita, bukan ukuran ilmiah. Sebab, persoalan peradilan tidak pernah menyentuh persoalan mendasar," kritiknya.
Tags:

Berita Terkait