Ada Potensi Ancaman Kebebasan Pers Pasca Pembahasan RKUHP
Utama

Ada Potensi Ancaman Kebebasan Pers Pasca Pembahasan RKUHP

Dewan Pers masih menyisir pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers dalam RKUHP. Pekerja Pers masih dilindungi dengan UU Pers dan MoU antara Dewan Pers dengan Polri.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
 Diskusi Publik Bertajuk
Diskusi Publik Bertajuk "Siaga Kebebasan Berekspresi Pasca Pembahasan RKUHP: Mengekang HAM, Mengancam Demokrasi Seutuhnya", Rabu (1/3) di Jakarta. Foto: RFQ.
Pemerintah dan Panitia Kerja (Panja DPR) Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah merampungkan pembahasan pertama hingga di atas 700 pasal dari total 786 pasal. Namun, proses pembahasan tersebut masih menyisakan pembahasan minor pasal-pasal dan perumusan ulang norma hukum dalam RKUHP ini.  

Dari sekian jenis tindak pidana yang telah disetujui, ada beberapa pasal yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan berekspresi, khususnya bagi pekerja media ketika mewartakan informasi kepada masyarakat. Beberapa pasal tersebut beririsan dengan tugas dan kewajiban pekerja media dalam mencari informasi.

Peneliti senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menyebut BAB IV tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan atau lazim disebut Contempt of Court (CoC). Pemerintah menganggap pengaturan tersebut sebagai perluasan dari CoC. Sebab mengandung ketentuan terkait pengabaian perintah pengadilan, penghinaan terhadap hakim, integritas hakim, dan trial by press hingga perlakuan tidak sopan di muka persidangan.

Anggara berpendapat kondisi pembahasan pasal-pasal yang mengatur CoC amat berbahaya. Sebab, pasal-pasal yang terdapat dalam BAB VI RKUHP itu berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Dia menyebut adanya pasal larangan mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan seperti tertuang dalam Pasal 329 huruf d RKUHP. Aturan ini dinilai tak memiliki tolak ukur yang jelas dan indikator bagaimana hakim dapat terpengaruh dengan publikasi dimaksud.

“Padahal, sesungguhnya sudah ada pranata dewan pers yang bisa mengadili masalah pers, sehingga tidak perlu ada hukum pidana,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (1/3/2017). Baca Juga: Dewan Pers: Hindari Pencemaran Kebijakan Ruang Redaksi oleh Hal-hal Bersifat Iklan

Terkait sanksi dalam persoalan ini, ada ancaman hukuman dalam Pasal 309 ayat (1) RKUHP meningkat dari 1 tahun menjadi 6 tahun. Sedangkan ayat (2)-nya dari ancaman hukuman 1 tahun menjadi 4 tahun. Sedangkan, Pasal 310 dari ancaman 1 tahun menjadi 2 tahun. Menurutnya, kenaikan ancaman hukuman pidana ini tidak memiliki kejelasan alasan.

“Bagi kami pasal ini harusnya dicabut saja dari RKUHP, karena dalam KUHP seharusnya diperingatkan terlebih dahulu secara administrasi, kalau masih juga dapat diambil tindakan (hukum pidana),” katanya.

Ketua Dewan Pers Yoseph Ady Prasetyo mengaku telah dimintakan masukan dalam pembahasan RKUHP oleh tim Panja. Namun Dewan Pers hanya dimintakan masukan kritis terkait 3 pasal yang mengatur pers. “Mereka minta kita sisir semua pasal khawatir berhadapan (bertentangan) dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata dia di tempat yang sama.  

Terkait dengan CoC, aturan tersebut mesti memahami pekerja pers. Sebab, mereka pekerja pers bekerja sesuai amanat UU Pers. Ketika ada orang yang ingin menggali terhadap putusan yang dirasa tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat tidak berarti dapat dianggap tak berpihak terhadap hakim dan dinilai sebagai CoC. Baca Juga: Jeratan ‘Pasal Karet’ Ancam Kebebasan Berpendapat

Pers, kata pria biasa disapa Stanley ini, sebagai pilar demokrasi dan sebagai Watch Dog. Pers bakal terus mengintai terhadap rasa ketidakadilan terhadap masyarakat. Nah, terhadap hal itulah Dewan Pers bakal terus menyisir pasal-pasal yang dianggap mengancam kebebasan Pers.

“Karena itulah Dewan Pers sedang menyisir. Kalau ada pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers akan kami sampaikan ke Panja,” katanya.

Hal senada disampaikan Anggota Komnas HAM Roichatul Aswidah. Dia mengatakan dalam RKUHP masih terdapat pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi. Meski kebebasan berekspresi dibatasi, seharusnya tetap diberi kebebasan secara terukur.

Menurutnya, pers bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi bagi masyarakat di era demokrasi. Terlebih, peran pers terdapat irisan dengan persoalan HAM. Ia berpandangan pembatasan dapat dilakukan sepanjang ada kepentingan publik yang dilindungi. “Pers itu meliput untuk demokrasi, jadi dia ada irisan,” katanya.

Dipagari  UU Pers dan MoU
Lalu, Stanley mengingatkan profesi pekerja pers dalam menjalankan tugasnya tak boleh dihalang-halangi dan diatur-atur. Semangat UU Pers yakni kemerdekaan dalam mencari dan menyebarkan informasi sesuai aturan. Nah, dalam Pers, seharusnya tidak mengenal ancaman pidana, tetapi hanya pidana denda.

“Semangat UU Pers tidak menghukum pers, karena menjalankan tugas bagi masyarakat dengan menyediakan informasi. Wartawan di dalam melaksanakan pekerjaanya tidak boleh sembarang dihukum. Wartawan menjalankan amanat UU Pers,” ujarnya.

Terkait kemerdekaan pekerja media, Dewan Pers tak khawatir. Sebab, Dewan Pers telah merevisi Memorandum of Understanding (MoU) dengan Polri untuk lima tahun ke depan. Menurutnya, orang yang mengaku wartawan tetapi faktanya bukan pekerja media dapat dikenakan pidana.

“Jangan sampai ada media abal-abal, badan hukum tidak jelas pertanggungjawabannya, alamat palsu. Tapi kalau setiap produk jurnalistik akan kami lindungi dengan UU Pers,” kata Stanley.

Kepala Divisi Riset dan Advokasi LBH Pers, Asep Komarudin berpandangan kondisi pasal- pasal dalam RKUHP tak jauh berbeda dengan KUHP. Setidaknya, kata Asep, masih terdapat pasal yang tidak demokrastis. Sebab, ada pasal yang dapat mengkriminalisasi kebebasan Pers dalam mencari dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Baca Juga: Mengkhawatirkan, Pelarangan Hak Berkumpul dan Berekspresi

Soalnya, kebebasan Pers masih terdapat “pagar” yang dapat mengamankan pekerja pers dalam menjalankan tugasnya yakni UU Pers dan MoU antara Dewan Pers dengan Polri dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja pers. Namun seiring perkembangan UU Pers, adanya pergeseran ancaman kriminalisasi terhadap pekerja pers juga termasuk terhadap narasumber.

“Meski dilindungi dengan UU Pers, tetapi praktiknya polisi gagap menghadapi hal itu. Mereka melihat MoU yang hanya untuk melindungi pers dan media, bukan narasumbernya. Sehingga polisi kekeuh menegakan hukum,” katanya.
Tags:

Berita Terkait