Ini Poin Penting dalam Revisi PP Gross Split
Berita

Ini Poin Penting dalam Revisi PP Gross Split

Terdapat sekitar 21 pasal yang diubah atau ditambahkan dari revisi PP 79 tahun 2010 tersebut.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Sekretaris Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi, Susyanto. Foto: DAN
Sekretaris Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi, Susyanto. Foto: DAN
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah menekan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pada tanggal 19 Juni 2017.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 diterbitkan dalam rangka peningkatan penemuan cadangan Minyak dan Gas Bumi nasional, menggerakkan iklim investasi dan memberikan kepastian hukum pada kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi, serta Fleksibilitas dalam penentuan bagi hasil, pemberian insentif dalam Kegiatan Usaha Hulu baik insentif fiskal maupun-non fiskal.

"Kalau insentif tidak baik, Pemerintah juga tidak diam. Pemerintah juga merespon dengan baik apa-apa yang dikeluhkan oleh investor," jelas Susyanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi dalam Seminar Workshop Media tentang PP Nomor 27 Tahun 2017. (Baca Juga: Ini Poin Penting Permen ESDM 40/2017)

Berikut poin penting yang terdapat dalam PP Nomor 1 Tahun 2017, antara lain, Pertama, Pengaturan adanya klausul bagi hasil yang dinamis (sliding scale split) pada Kontrak Kerja Sama (PSC). Kedua, Pemberian Insentif Kegiatan Usaha Hulu dalam bentuk insentif perpajakan pada masa eksplorasi maupun eksploitasi

Susyanto menjelaskan, pada masa eksplorasi, insentif kegiatan usaha hulu terdiri atas, pembebasan Bea Masuk, PPN atau PPnBM tidak dipungut, PPh 22 impor tidak dipungut, pengurangan PBB 100% selama masa eksplorasi. Sementara pada masa eksploitasi, insentif perpajakannya berupa pembebasan Bea Masuk, PPN atau PPnBM tidak dipungut, PPh 22 impor tidak dipungut, pengurangan PBB tubuh bumi maksimal 100%.

“Diberikan berdasarkan pertimbangan keekonomian proyek dari Menteri ESDM,” ujar Susyanto. (Baca Juga: ESDM Yakin Skema Gross Split Efisienkan Bisnis Migas)

Selain itu, pembebanan cost sharing dikecualikan dari PPh dan tidak dipungut PPN serta  pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat bukan menjadi objek PPh dan PPN. Ketiga, merelaksasi biaya-biaya yang non-cost recoverable menjadi cost recoverable, misalnya, biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat (CSR) pada masa eksploitasi; PPh karyawan yang dibayarkan sebagai tunjangan PPh; serta biaya insentif interest recovery.

Keempat, penegasan prinsip Block Basis dalam rangka penghitungan biaya cost recovery dengan menghapus penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf a yang mengatur prinsip Plan Of Development (POD) Basis. “Perubahan dari field basis menjadi block basis untuk menggairahkan investasi terutama eksplorasi,” terang Susyanto. (Baca Juga: Gross Split, Langkah Luar Biasa Pemerintah Dongkrak Produksi Migas)

Kemudian yang kelima, pengenaan PPh atas penghasilan uplift dan pengalihan Participating Interest hanya dikenakan sekali dan bersifat final, sudah termasuk PPh Branch Profit Tax. Keenam, menambah kewenangan Menteri ESDM untuk menentukan perhitungan penyusutan yang berbeda dalam rangka menjaga tingkat produksi

Ketujuh, disusunnya standar dan norma pemeriksaan yang sama dalam bentuk pedoman pemeriksaan yang digunakan oleh SKK Migas, BPKP, dan Ditjen Pajak untuk mengaudit bagi hasil dan pajak penghasilan sehingga terdapat koordinasi antar auditor Pemerintah dan membatasi jangka waktu pemeriksaan pajak hingga penerbitan surat ketetapan pajak paling lama 12 bulan setelah SPT diterima.

Sementara kedelapan, untuk ketentuan Peralihannya, PP 27 Tahun 2017 mengatur kontrak yang telah ditandatangani sebelum berlakunya UU Migas 2001 dan kontrak yang telah ditandatangani setelah berlakunya UU Migas hingga berlakunya PP 79/2010 dapat memilih untuk mengikuti ketentuan kontrak atau menyesuaikan dengan ketentuan PP 27/2017 paling lama 6 bulan setelah berlakunya PP 27/2017.

Kemudian juga pada ketentuan peralihan dari PP 27 Tahun 2017 mengatur, kontrak yang ditandatangani setelah berlakunya PP 79/2010 dapat menyesuaikan dengan ketentuan PP 27/2017 paling lama 6 bulan sejak berlakunya PP 27/2017 serta kontrak yang ditandatangani setelah berlakunya PP 27/2017 wajib mematuhi ketentuan PP 27/2017.

Susyanto memaparkan, saat berlaku PP 79 Tahun 2010, pelaku usaha merasakan adanya ketidakpastian hukum. “Pada saat itu dunia usaha khususnya kegiatan usaha Migas merasa gamang. Banyak perusahaan yang sudah mempunyai kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani, karena dalam aturan peralihan PP 79 kurang memberikan kepastian hukum. Nah inilah yang menyebabkan pada saat itu dalam pelaksanaanya juga timbul persoalan-persoalan,” pungkas Susyanto.

Sementara itu, Deputi Keuangan dan Monetisasi, Parulian Sihotang, pada kesempatan yang sama menyatakan bahwa di dalam PP 27 Tahun 2017, memuat dua hal penting yakni terkait dengan biaya operasi yang dapat dikembalikan serta mengatur tentang perpajakan. Selain itu, Parulian juga menyebutkan terdapat sekitar 21 pasal yang diubah atau ditambahkan dari revisi PP 79 Tahun 2010 tersebut.

Terakhir, dengan adanya revisi PP 79 Tahun 2010 ini, Parulian berharap dapat menjadikan sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) lebih efektif dalam pengoperasiannya ke depan.

Tags:

Berita Terkait