MUI Tetapkan 4 Syarat Pemanfaatan Dana Haji, Simak Isinya
Berita

MUI Tetapkan 4 Syarat Pemanfaatan Dana Haji, Simak Isinya

Sementara Pasal 2 UU No. 34 Tahun 2014 mengamanatkan pengelolaan dana haji harus memenuhi prinsip syariah, kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan, dan akuntabel.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Foto: cendekia.sch.id
Foto: cendekia.sch.id
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan empat syarat pengelolaan dana keuangan haji yang mengendap akibat daftar tunggu (waiting list) ibadah haji hingga 20 tahun. Hal ini tertuang dalam Fatwa MUI 2012 melalui forum ijtima' di salah satu pondok pesantren di Tasikmalaya, pada Juli 2012. Forum ijtima' ini diikuti oleh Komisi Fatwa MUI Pusat, Komisi Fatwa MUI Provinsi se-Indonesia, lembaga-lembaga fatwa dan ormas Islam tingkat pusat, serta pimpinan pondok pesantren dan perwakilan perguruan tinggi se-Indonesia.

"MUI sejak jauh hari sudah melakukan kajian, pembahasan, dan penetapan fatwa terkait pemanfaatan dana haji. Penetapan fatwa MUI ini agar tidak ada tarik-menarik kepentingan politik sehingga memunculkan pro-kontra," Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am dalam diskusi bertajuk "Investasi Infrastruktur dari Dana Haji" di Gedung Parlemen Jakarta, Selasa (1/8/2017). Baca Juga: Penggunaan Dana Haji untuk Infrastruktur Potensial Langgar UU

Asrorun menerangkan forum ijtima' ini mencapai empat kesepakatan pengelolaan keuangan haji agar besarannya tidak menyusut karena inflasi yang kemudian diadopsi dalam UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Pertama, dana haji boleh di-tassaruf-kan (dipindahkan untuk dikelola) dengan catatan harus dipastikan jenis usaha yang memenuhi prinsip-prinsip syariah.

Kedua, pengelolaan dana haji harus memenuhi unsur keamanan dan tidak boleh berkurang nilainya, seperti halnya pengelolaan dana wakaf yang tidak boleh berkurang, tetapi dikembangkan/produktif dan memiliki nilai manfaat. “Pihak yang mengelola dan menginvestasikan adalah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Kalau dia menginvestasikan harus aman, kalau tidak aman, mereka tanggung renteng untuk mengganti kerugian,” ujarnya.

Ketiga, pengelolaan investasi dari dana haji memiliki nilai kemanfaatan (kemaslahatan) bagi calon jamaah haji dan umat Islam, khususnya yang berhubungan dengan kepentingan pelaksanaan ibadah haji. Keempat, harus likuid, karena dana haji dibutuhkan dalam waktu terus menerus. Selama ini kepentingan/kebutuhan jamaah haji rata-rata mencapai Rp3,5 triliun per tahunnya.

“Disinilah (dituntut) kecerdasan BKPH sebagai badan yang diamanahkan UU Pengelola Keuangan Haji untuk mengelola dana haji agar produktif sesuai syarat-syarat itu. Bisa saja diinvestasikan untuk pembangunan gedung, infrastruktur hasilnya baik untuk kemaslahatan sepanjang ketentuannya sesuai prinsip-prinsip syariah,” katanya.

Aspek legalitasnya sudah jelas
Sementara Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Pasong mengingatkan prinsip dan tujuan pengelolaan dana haji sudah diatur jelas dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pengelolaan Keuangan Haji oleh BPKH. Prinsip penggunaan dana haji harus sesuai syariah, kehati-hatian, bermanfaat, nirlaba, transparan, dan akuntabel. Tujuannya tiga hal yakni peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasionalitas dan efisiensi Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH), dan memberikan kemaslahatan bagi umat Islam.

“Dalam perspektif itu, aspek legalitasnya sudah jelas bahwa ini hanya diperuntukan bagi kepentingan jamaah haji dan kepentingan umat Islam,” ujar Ali Taher dalam kesempatan yang sama.

Karena itu, dia mengingatkan apabila pemerintah ingin menginvestasikan dana haji untuk pembangunan infrastruktur prinsip dan tujuan yang sudah digariskan UU Pengelolaan Keuangan Haji tidak boleh “ditabrak”. Terlebih, peraturan pemerintah yang mengatur teknis pelaksanaan investasi penggunaan dana haji termasuk perencanaan bisnis BPKH dan dewan pengawas belum terbit.  

“BPKH hingga kini belum memiliki fasilitas memadai karena belum punya kantor yang jelas,” katanya. Baca Juga: NU: Butuh Kajian Mendalam Soal Investasi Dana Haji

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menyoroti akad wakalah. Yakni penyerahan dana calon jamaah haji yang diwakilkan pemerintah untuk menggunakan dananya. Menurutnya, akad wakalah menjadi persoalan lantaran baru muncul sejak dua tahun terakhir. “Akad wakalah ini problem. Apakah dana calon haji yang sebelumnya sudah diwakilkan kepada pemerintah apa belum? (Soalnya) Ini dua tahun akad wakalah baru berjalan,” ujarnya.

Jika dibandingkan pengelolaan dana haji di Malaysia, akad wakalah sudah diterapkan sejak lama. Di negeri Jiran ini diperbolehkan dana haji untuk membangun infrastruktur, penginapan dekat Masjidil Haram atau Madinah. Hal ini yang menjadi keunggulan Malaysia dibanding Indonesia dalam penyelenggaraan ibadah haji.

“Penggunaan dana haji jangan melanggar UU. Dana haji itu boleh gak untuk membangun infrastruktur umum? ya tidak boleh. Kalaupun boleh, untuk kepentingan pembangunan fasilitas penyelenggaraan ibadah haji,” katanya.
Tags:

Berita Terkait