MUI: UU Pencegahan Penodaan Agama Masih Dibutuhkan
Berita

MUI: UU Pencegahan Penodaan Agama Masih Dibutuhkan

Komnas Perempuan berpendapat rumusan UU No. 1 PNPS Tahun 2015 belum dapat dikatakan sempurna dalam melindungi HAM, sehingga masih perlu disempurnakan melalui pengujian UU ini.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpandangan aturan pencegahan atas penyalahgunaan agama atau penodaan agama masih tetap dibutuhkan. Justru, keberadaan Pasal 1, 2, 3 UU No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama juncto UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang demi menjaga ketentraman dan kerukunan antar umat beragama.  

 

Pasal a quo masih sangat dibutuhkan keberadaanya. Tidak hanya dalam kehidupan beragama, tetapi juga bermasyarakat, berbangsa dan bernegara guna mewujudkan ketentraman, kerukunan antar umat beragama,” ujar kuasa hukum MUI, Erfandi saat memberi keterangan sebagai pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian UU Penodaan Agama yang diajukan 9 anggota Ahmadiyah di Gedung MK, Selasa (28/11).

 

Permohonan pengujian pasal itu diajukan sembilan anggota Ahmadiyah berbagai daerah. Diantaranya, Anisa Dewi, Ary Wijanarko, Asep Saepudin, Dedeh Kurniasih, Dkk. Intinya, mereka merasa dirugikan hak konstitusionanya lantaran kesulitan beribadah gara-gara menganut aliran/agama Ahmadiyah. Sebab, UU itu melarang ada penyerupaan agama/aliran tertentu dengan agama resmi yang dianut di Indonesia. (Baca Juga: Dianggap Sesat, Jamaah Ahmadiyah Minta ‘Pengakuan’ ke MK)      

 

Karena itu, pasal-pasal tersebut ditafsirkan secara bersyarat sepanjang aliran atau agama (lain) yang ada diakui keberadaannya tanpa meniadakan hak agama yang sudah diakui di Indonesia. “Pasal 1, 2, 3 UU No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai meniadakan hak untuk menganut aliran agama yang ada di Indonesia oleh para penganutnya yang beribadah secara internal yang merupakan bagian dari aliran-aliran yang telah ada dan aktif menjalankan kehidupan keagamaannya,” demikian bunyi petitum permohonannya. 

 

Erfandi melanjutkan jika Pasal 1, 2, 3 UU No. 1 PNPS Tahun 1965 ini dihapus atau permohonan dikabulkan justru dapat menimbulkan hilangnya perlindungan umum (umat beragama) dan mudharat yang besar bagi umat karena perbuatan penyalahgunaan/penodaan agama tidak dapat dipidana atau diperbolehkan. Hal ini bisa menimbulkan kegaduhan dan tindakan main hakim sendiri (eigen rechten) oleh masyarakat tertentu terhadap seseorang atau sekelompok orang yang sengaja melakukan penodaan agama.

 

Dia mengingatkan MUI telah melarang ajaran Ahmadiyah melalui fatwa yang diambil dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) II MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah Qodiyaniyah dan Fatwa No. 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah. Fatwa ini didasarkan pada Keputusan Majmu’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) No. 4 dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi pada 22-28 Desember 1985 tentang Aliran Qodiyaniyah.

 

“Artinya, tidak serta merta hanya penafsiran para ulama di Indonesia, tetapi juga mengacu pada hasil konferensi Islam internasional di Arab Saudi,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait