Tiga Alasan Ini, Pengesahan RKUHP Mesti Ditunda
Berita

Tiga Alasan Ini, Pengesahan RKUHP Mesti Ditunda

Terutama banyak rumusan pasal baru yang disepakati Panja dan pemerintah kurang tersosialisasi dengan baik kepada publik. Sebab, selama ini pembahasannya dilakukan secara tertutup.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah rampung pembahasannya sejak tahun lalu. Namun, memang masih menyisakan sejumlah isu yang mesti diperdalam. Seperti, perluasan tindak pidana kesusilaan, pasal-pasal yang dinilai mengancam kebebasan berekspresi hingga hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Karena itu, pegiat dan pemerhati hukum meminta DPR agar tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP di periode 2018 ini.

 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting menilai dalam RKUHP yang sudah rampung dibahas masih memiliki tiga permasalahan besar. Pertama, penyusunan pasal-pasal dalam RKUHP mengabaikan peran monitoring dan evaluasi ketentuan pidana.

 

Seperti diketahui, dalam pembuatan dan pengesahan UU di DPR, ada proses revisi dengan menambahkan pasal-pasal sanksi pidana. Sayangnya, penambahan sanksi pidana tanpa melalui mekanisme monitoring dan evaluasi terkait efektivitas dan dampak dari pengaturan materi pasal tersebut.

 

Menurut Miko, bentuk pengaturan monitoring dan evaluasi yakni dengan melakukan penelitian dan penerapan pasal-pasal pidana. Misalnya, dengan materi tuntutan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum dan putusan yang telah dibuat hakim. Baginya, proses ini sangat bermanfaat saat pemerintah menentukan pola dan besaran ancaman pidana terhadap jenis tindak pidana tertentu.  

 

“Dalam dokumen-dokumen pembahasan RKUHP, sama sekali tidak terdapat argumen penerapan sanksi-sanksi ini berefleksi bagaimana sanksi-sanksi tersebut digunakan dalam praktik,” ujar Miko saat dikonfirmasi di Jakarta, Jum’at (2/2).

 

Kedua, dalam pembahasan RKUHP pemerintah dan DPR masih mempertahankan pasal-pasal dalam KUHP yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal putusan MK bersifat final dan mengikat. Dengan masuknya kembali pasal-pasal yang sudah dibatalkan MK itu dalam RKUHP, menunjukan ketidakkonsistenan pembentuk UU dalam menyusun RKUHP.

 

Para penyusun RKUHP pun dipandang tidak taat terhadap konsep ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia. Ketidakkonsistenan dalam penyusunan pasal-pasal dalam RKUHP dengan putusan MK ini merupakan indikasi bahwa RKUHP memiliki permasalahan mendasar. Menurut Miko, pasal yang bermuatan sama yang telah dicabut oleh MK melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 terkait penghinaan presiden, seperti Pasal 264 RKUHP.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait