Mengurai Pasal Revisi UU MD3 yang Dipersoalkan
Utama

Mengurai Pasal Revisi UU MD3 yang Dipersoalkan

Ketiga pasal dalam revisi UU MD3 minta dibatalkan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Mengurai Pasal Revisi UU MD3 yang Dipersoalkan
Hukumonline

Beberapa poin perubahan dalam UU Perubahan Kedua Atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) masih terus menjadi perbincangan publik. Terutama pasal hak DPR memanggil paksa dengan bantuan polisi, melaporkan semua elemen masyarakat yang merendahkan kehormatan DPR, dan hak imunitas ketika ada dugaan tindak pidana di luar tugasnya sebagai anggota DPR yang “menghidupkan” kembali peran Majelis Kehormatan Dewan (MKD).

 

Bahkan, beberapa elemen masyarakat sudah melayangkan UU yang baru disahkan dan belum bernomor itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah Forum Kajian Hukum & Konstitusi (FKHK) dan Dkk, kini giliran Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengajukan judicial review Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, Pasal 245 ayat (1) UU Perubahan Kedua Atas UU MD3 itu ke MK.

 

Ketua Bantuan Hukum PSI, Kamaruddin memandang revisi UU MD3 itu kemunduran demokrasi yang ada dalam praktik demokrasi pemerintahan Orde Baru. “Kebebasan demokrasi pasca reformasi telah dikhianati DPR. Ini yang menjadi landasan PSI mengajukan judicial review revisi UU MD3,” kata Kamarudin usai mendaftarkan uji materi UU itu di Gedung MK Jakarta (23/2/2018).

 

Dia menilai Pasal 73 ayat (3) dan (4) huruf a dan c telah melegalkan pemanggilan paksa dengan bantuan polisi terhadap orang perseorangan, kelompok atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya. “Jelas ini bertentangan dengan peran dan fungsi DPR yang diatur dalam konstitusi yakni menyerap aspirasi dan kepentingan rakyat dalam fungsi legislasi, anggaran, pengawasan sesuai Pasal 20A UUD 1945,” kata dia.

 

Menurutnya, bila DPR diberi wewenang pemanggilan paksa itu membuat masyarakat tidak berani mengontrol perilaku DPR yang sejatinya dipilih oleh rakyat. “Pemanggilan ini bentuk pembungkaman suara rakyat dan berpotensi digunakan untuk mempidanakan suara rakyat yang sedang perjuangkan haknya. Padahal, rakyat berhak mengontrol dan mengkritik DPR sebagai wakil mereka,” ujarnya.

 

Lalu, Pasal 122 huruf k dinilai telah memberi kewenangan luar biasa pada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya. “Pasal ini sangat berpotensi menjadi pasal karet yang dapat mengekang daya kritis rakyat terhadap kinerja DPR. Seharusnya setiap pejabat harus siap dikritik oleh rakyat,” lanjutnya.

 

Bila anggota lembaga DPR atau anggota DPR merasa kehormatan atau nama baiknya tercemar, hal ini merupakan perbuatan melawan hukum. “Mereka bisa melakukan langkah hukum yang berlaku sama halnya seperti warga negara lain. Jadi, jangan sampai anggota DPR memakai nama lembaga kehormatan rakyat untuk mengkriminalkan rakyatnya sendiri,” kritiknya.  

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait