Pesan Guru Besar HPI Saat Mendapat Kejutan dari Koleganya
Rechtsschool:

Pesan Guru Besar HPI Saat Mendapat Kejutan dari Koleganya

Ia dianggap sebagai ‘titisan’ Sudargo Gautama dalam bidang hukum perdata internasional.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Prof. Zulfa Djoko Basuki saat menyampaikan pandangan. Foto: MYS
Prof. Zulfa Djoko Basuki saat menyampaikan pandangan. Foto: MYS

Berusia 77 tahun, Profesor Zulfa Djoko Basuki mendapat kejutan dari kolega, murid, dan anggota keluarganya. Tiba-tiba saja Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu  bertemu dengan beberapa koleganya dalam bidang hukum internasional, antara lain Mieke Komar, Huala Adolf, dan Hikmahanto Juwana, di aula kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rabu (26/9) jelang siang. Berselang, ia juga bertemu suami dan anak-anaknya.

Ternyata, Profesor Zulfa sedang mendapat kejutan dari orang-orang terdekatnya. Pada saat usianya mencapai 77 tahun, kolega dan murid-muridnya memberikan kado berupa sebuah buku kumpulan tulisan. Menurut Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara, rencana penulisan buku itu sudah lama muncul, tetapi baru beberapa bulan terakhir intensif diselesaikan. Rencana itu sengaja dirahasiakan dari Prof. Zulfa karena akan menjadi kejutan pada saat ulang tahunnya. Dan, kejutan itu terjadi di ruang Soemadipraja & Taher kampus Fakultas Hukum UI di Depok.

Lima orang dosen Fakultas Hukum UI – Satya Arinanto, Mutiara Hikmah, Tiurma M. Pitta Allagan, Qurrota Ayuni, dan Kris Wijoyo Supandji-- menjadi editor buku ‘Hukum Antar Tata Hukum: Antologi 77 Tahun Guru Besar Hukum Antar Tata Hukum Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH, MH’. Buku itulah yang menjadi kado khusus kepada ahli hukum perdata internasional itu.

“Ini surprise yang mengejutkan,” kata Profesor Zulfa di hadapan kolega, keluarga dan sejumlah dosen dan mahasiswa. “Saya tidak pernah menduga,” sambung perempuan kelahiran Solok Sumatera Barat, 26 September 1941 ini.

Prof. Zulfa menyampaikan pesan penting bagi dosen-dosen muda dan mahasiswa hukum. Mereka boleh belajar bidang hukum apa saja, tetapi harus mendalami satu bidang hukum tertentu. Dengan menguasai satu bidang ilmu tertentu, seseorang bisa mendapatkan banyak manfaat, apalagi jika bidang itu dibutuhkan banyak orang. “Kuasai satu bidang ilmu (hukum) secara mendalam,” ujarnya.

(Baca juga: Pluralisme Hukum Harus Diakui).

Prinsip itu pula yang dulu dipegang lulusan Fakultas Hukum UI Tahun 1967 ini. Ia bercerita ketika mengambil magister, tesisnya justru mengenai pasar modal. Saat itu pasar modal belum berkembang. Tetapi perhatiannya kemudian beralih pada isu kewarganegaraan. Banyak persoalan muncul dalam implementasi UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, terutama masalah perkawinan campuran atau perkawinan antar warga negara yang berbeda. Jika terjadi perceraian, anak hasil perkawinan terancam dideportasi dari Indonesia. Anak hasil perkawinan itu tak boleh tinggal di Indonesia. Kalaupun tinggal, akan direpotkan oleh keharusan mengurus izin tinggal.

Peristiwa lain yang menggugah keinginannya adalah masalah kewarganegaraan keturunan Tiongkok (RRC) yang ada di Indonesia. Setelah lahirnya UU No. 62 Tahun 1958 terjadi perubahan sistem kewarganegaraan. Misalnya, melalui Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959, Pemerintah melarang para pedagang eceran dan pedagang kecil berjualan hingga ke tingkat ibukota swatantra dan keresidenan. Kebijakan ini secara tidak langsung ‘memaksa’ para pedagang keturunan asing di ibukota kecamatan untuk keluar.

Tags:

Berita Terkait