Ada Dissenting dalam Putusan Banding Fredrich
Utama

Ada Dissenting dalam Putusan Banding Fredrich

Putusan PT DKI Jakarta memperkuat putusan pengadilan tingkat pertama yang menghukum Fredrich Yunadi selama 7 tahun penjara. Dalam dissenting-nya satu hakim tinggi minta Fredrich divonis 10 tahun penjara karena terdakwa sebagai advokat (officium nobile) seharusnya tidak melanggar hukum.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Terdakwa Fredrich Yunadi saat mendengarkan vonis 7 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/6). Foto: RES
Terdakwa Fredrich Yunadi saat mendengarkan vonis 7 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/6). Foto: RES

Upaya banding yang diajukan Fredrich Yunadi atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tak membuahkan hasil. Majelis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang menyatakan ia bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena menghalangi proses penyidikan Setya Novanto dalam perkara korupsi e-KTP dan tetap dihukum selama 7 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 5 bulan kurungan.

 

Fredrich dianggap terbukti melanggar Pasal 21 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

“Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 9/Pid.Sus-Tpk/2018/PN.Jkt.Pst tanggal 28 Juni 2018 yang dimintakan banding tersebut,” kata Majelis hakim yang diketuai Ester Siregar sebagaimana dikutip dalam putusan banding Fredrich.

 

Selain perkara pokok, majelis menolak upaya banding atas putusan sela yang diajukan Fredrich. Setidaknya ada dua poin utama dalam memori banding atas putusan selanya. Pertama, tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP karena dakwaan Penuntut Umum tidak bisa menjelaskan secara cermat tindakan apa yang dilanggar oleh Fredrich selaku terdakwa.

 

Kedua, kompetensi (kewenangan) Pengadilan Tipikor Jakarta mengadili perkara ini. Fredrich menganggap Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan pendapat secara formil saja. Sedangkan fakta secara materil, unsur Pasal 21 tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi. Untuk itu, ia memohon kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, benar-benar menerapkan prinsip kebenaran materiil, bukan kebenaran formil.

 

Namun banding putusan sela itu ditolak oleh Majelis PT DKI Jakarta karena beranggapan pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memutus putusan sela sudah tepat. Seperti penggunaan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor masuk delik khusus korupsi, sehingga pemeriksaannya menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor.

 

Kemudian surat dakwaan telah menguraikan identitas secara lengkap dan telah menguraikan secara jelas mengenai tindak pidana, sehingga telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan huruf b KUHAP.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait