Masuk Prolegnas 2019, Ini yang Perlu Diatur RUU Perlindungan Data Pribadi
Berita

Masuk Prolegnas 2019, Ini yang Perlu Diatur RUU Perlindungan Data Pribadi

Perlindungan data pribadi sejatinya juga merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Diskusi data pribadi. Koleksi: panitia diskusi Fintech
Diskusi data pribadi. Koleksi: panitia diskusi Fintech

Ada 55 RUU yang masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Tahun 2019. Sebanyak 12 RUU adalah rancangan yang baru masuk; sisanya RUU luncuran dari tahun 2018. Salah satu yang masuk Prolegnas adalah RUU tentang Perlindungan Data Pribadi. RUU ini telah didorong untuk masuk Prolegnas karena dianggap penting terutama untuk mencegah penyalahgunaan data pribadi dalam perkembangan teknologi.

Salah satu contoh yang sangat meresahkan adalah penyalahgunaan data pribadi dalam bisnis teknologi keuangan (financial technology) melalui pemberian kredit tanpa agunan (KTA). Modus penyalahgunaan dilakukan melalui akses data pribadi seperti nomor kontak dan gambar, yang terdapat di telepon genggam debitor (pengguna layanan). Jika terjadi telat atau gagal bayar, beberapa perusahaan penyedia layanan akan menggunakan data pribadi tersebut mengintimidasi debitor. Dengan kata lain, data debitor telah diberikan kepada pihak ketiga tanpa izin pemilik nomor telepon genggam.

Selain itu, menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2019, muncul ancaman eksploitasi terhadap data pribadi dengan mengandalkan mengandalkan strategi data analytic yang berpangkal pada penggunaan data skala besar (big data). Minimnya kejelasan aturan perlindungan data pada database pemilu (electoral database), juga penggunaan data pengguna media sosial untuk keperluan analisis data, kian menambah kerentanan atas perlindungan data pribadi warga negara. Kondisi serupa juga terjadi pada hampir semua model bisnis yang menggunakan platform teknologi internet, seperti e-commerce, layanan transportasi online, IoT (Internet of Things), dan lain sebagainya.

Wahyudi Djafar, termasuk yang merisaukan penyalahgunaan data pribadi tersebut. Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) ini mengatakan, pada dasarnya penyebab terjadinya penyalahgunaan masih rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam menjaga atau melindungi data pribadi mereka. “Mereka dengan mudah menyebarkan atau memindahtangankan data pribadinya ke pihak lain,” ujar Wahyudi kepada hukumonline, Senin (29/10).

(Baca juga: Dosen UM Malaysia, Abu Bakar Munir, Bicara tentang Perlindungan Data Pribadi).

Selain itu, penyimpangan terjadi karena belum ada perangkat undang-undang yang komprehensif dan memadai untuk melindungi data pribadi. Khususnya terkait dengan hak dari subjek data, dan kewajiban data controller serta data processor di Indonesia. “Termasuk belum adanya kejelasan kewajiban dan tanggung-jawab dari perusahaan penyedia layanan yang mengumpulkan data pribadi konsumennya,” tambah Wahyudi.

Diketahui bahwa lebih dari 101 negara di dunia saat ini telah memiliki instrumen hukum yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan data pribadi warga negaranya. Negara-negara Asia Tenggara seperti, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Laos pun telah memiliki instrumen hukum komprehensif, yang mengatur perlindungan data pribadi bagi warga negaranya. Indonesia, hingga saat ini belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan data pribadi.

Data Elsam menunjukan peraturan perlindungan data pribadi di Indonesia tersebar di berbagai peraturan sektoral. Mulai dari sektor telekomunikasi, keuangan dan perbankan, perpajakan, kependudukan, kearsipan, penegakan hukum, keamanan, hingga sektor kesehatan. Ada sedikitnya 32 Undang-Undang yang materinya menyinggung mengenai pengaturan data pribadi warga negara. Sayangnya banyaknya aturan tersebut justru memunculkan tumpang tindih satu sama lain, yang berakibat pada ketidakpastian hukum dalam perlindungan data pribadi.

Tags: