Pentingnya Yurisprudensi di Mata Ketua MA Belanda
Utama

Pentingnya Yurisprudensi di Mata Ketua MA Belanda

Meski sistem kamar telah diterapkan di Indonesia, namun saat ini hakim dalam menangani perkara, jarang sekali menggunakan yurisprudensi dalam memberi pertimbangan hukum. Padahal, MA sudah memiliki beberapa yurisprudensi dan putusan terpilih setiap tahunnya.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ketua Kamar Pembinaan MA Prof Takdir Rahmadi (kiri), Van Vollenhoven Institute Adriaan Bedner, Presiden Hoge Raad Belanda Maarten Feteris, dan Prof Ningrum Sirait (kanan) dalam seminar internasional bertajuk 'Menjaga Keseragaman dan Konsistensi Putusan Pengadilan Melalui Yurisprudensi' di FHUI Depok, Rabu (5/12). Foto: RES
Ketua Kamar Pembinaan MA Prof Takdir Rahmadi (kiri), Van Vollenhoven Institute Adriaan Bedner, Presiden Hoge Raad Belanda Maarten Feteris, dan Prof Ningrum Sirait (kanan) dalam seminar internasional bertajuk 'Menjaga Keseragaman dan Konsistensi Putusan Pengadilan Melalui Yurisprudensi' di FHUI Depok, Rabu (5/12). Foto: RES

Yurisprudensi, salah satu sumber hukum dan rujukan bagi hakim dalam memutus perkara terutama dari pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Meski asalnya istilah yurisprudensi hanya dikenal di negara-negara bersistem hukum Anglo Saxon, tetapi istilah ini juga dikenal di negara-negara Eropa Kontinental, seperti Belanda termasuk Indonesia.

 

Sistem kamar yang sejak 2012 diterapkan MA Indonesia, yang mengadopsi Hoge Raad (MA) Belanda, pun ujungnya menghasilkan yurisprudensi putusan yang konsisten dan seragam/kesatuan dalam penerapan hukum. Meski secara teori yurisprudensi tidaklah mengikat, namun dalam praktik peradilan Indonesia sebagian hakim menggunakan yurisprudensi sebagai sumber rujukan. MA pun merilis landmark decisions (putusan terpilih) setiap tahunnya.

 

Lantas, seberapa pentingnya yurisprudensi bagi para hakim Indonesia? Bagaimana semestinya menempatkan yurisprudensi dalam praktik peradilan di Indonesia? Persoalan ini menjadi perhatian Presiden Hoge Raad Belanda, Maarten Feteris dalam sebuah Seminar Internasional bertajuk “The Use of Case Law/Jurisprudence in Legal Education” yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Rabu (5/12/2018).     

 

Maarten menerangkan sebuah putusan, terutama yang sudah menjadi yurisprudensi di pengadilan tertinggi sangat penting untuk pengembangan ilmu hukum. Karena itu, diperlukan konsistensi sebuah putusan untuk menghasilkan sebuah yurisprudensi.  “Pengertian pengembangan hukum itu ketika hakim membuat putusan, hakim tersebut memberi penafsiran khusus dari aturan hukum tertentu,” ujar Maarten.  

 

Menurutnya, saat ini hakim tidak lagi hanya sebagai corong undang-undang. Namun, seorang hakim dituntut harus menemukan solusi penyelesaian perkara terutama ketika UU tidak mengatur masalah hukum tertentu. Karena itu, untuk menjawab kebuntuan masalah hukum yang tidak ada hukumnya dibutuhkan pengembangan hukum oleh hakim melalui putusannya.

 

Ia mencontohkan belum lama ini, MA Belanda memutus perkara pencurian dalam permainan online (game online). Meskipun dalam KUHP Belanda saat ini, pencurian dalam wilayah internet belum ada aturannya. “Dalam putusan itu, pengadilan tertinggi (MA Belanda) memberi rumusan dan prinsip-prinsip yang harus dipertimbangkan hakim pengadilan di bawahnya ketika mengadili kasus-kasus yang sama. Dengan cara ini, MA mengembangkan hukum,” kata dia.

 

Baginya, putusan pengadilan tertinggi (yurisprudensi) tak hanya berpengaruh bagi pihak berperkara, tetapi juga berpengaruh pada ribuan kasus lain yang hampir serupa. Putusan semacam ini (yang seharusnya dapat dijadikan yurisprudensi) memiliki nilai tambah lebih banyak daripada putusan yang hanya fokus pada kasus tertentu. “Putusan MA seharusnya memiliki efek untuk kepentingan umum yang dapat menjamin kesatuan hukum dan memberi konstribusi pada pengembangan hukum,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait