Sejumlah Tantangan dalam Gelaran Pemilu 2019
Utama

Sejumlah Tantangan dalam Gelaran Pemilu 2019

MK menyatakan siap memperlancar proses penyelesaian sengketa Pemilu 2019.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber dalam Seminar Nasional bertajuk 'Bersama Mahkamah Konstitusi Menjaga Pemilu Serentak Demi Keutuhan Bangsa' di Gedung Rektorat UPN Veteran Jakarta, Sabtu (16/2). Foto: AID
Sejumlah narasumber dalam Seminar Nasional bertajuk 'Bersama Mahkamah Konstitusi Menjaga Pemilu Serentak Demi Keutuhan Bangsa' di Gedung Rektorat UPN Veteran Jakarta, Sabtu (16/2). Foto: AID

Gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 secara serentak untuk memilih calon anggota legislatif (pileg) dan presiden-wakil presiden (pilpres) menjadi sejarah elektoral Indonesia. Sebab, pelaksanaan pemilu yang dijadwalkan pada 17 April 2019 mendatang ini menggabungkan pelaksanaan pileg dan pilpres secara serentak di seluruh Indonesia.

 

Nantinya, dalam Pemilu 2019 ini, para pemilih memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden; calon anggota DPR, calon anggota DPD; calon anggota DPRD provinsi; dan calon anggota DPRD kabupaten/kota secara bersamaan. Atau lazim disebut dengan pemilu lima kotak atau lima surat suara sesuai UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

 

“Pemilu 2019 disebut sebagai the most complex in the world sebagai pemilu eksperimental, mulai regulasi (kodifikasi), sistem, kelembagaan, perilaku,” ujar Direktur Perludem, Titi Anggraini dalam Seminar Nasional bertajuk “Bersama Mahkamah Konstitusi Menjaga Pemilu Serentak Demi Keutuhan Bangsa” di Gedung Rektorat UPN Veteran Jakarta, Sabtu (16/2/2019). 

 

Titi menerangkan Pemilu Serentak 2019 ini merupakan pemilu terbesar, kompleks, rumit, dan kompetitif dalam perjalanan demokrasi elektoral di Indonesia. Sebab, pemilu kali ini berbeda dengan sistem penyelenggaraan pemilu-pemilu sebelumnya. Misalnya, pelaksaan pileg dan pilpres dilaksanakan secara bersamaan; ambang batas yang lebih ketat baik ambang batas pencalonan anggota legislatif maupun pencalonan presiden; dan partai politik peserta pemilu bertambah.

 

“Ambang batas parlemen lebih ketat, sebelumnya 3,5 persen menjadi 4 persen. Ini menjadi lebih kompetitif. Terlebih, partai politik peserta pemilu lebih banyak ketimbang Pemilu 2014. Ini tantangan tersendiri bagi demokrasi Indonesia,” kata Titi.

 

Dengan kondisi ketatnya persaingan ini, kata Titi, potensi pelanggaran pemilu semakin besar, seperti adanya potensi praktik politik uang atau politik transaksional disebabkan para peserta pemilu berpikir pragmatis dengan jalan pintas. “Jangan sampai Pemilu 2019 menjadi kemunduran demokrasi karena tingginya pelanggaran pemilu,” tuturnya.

 

Tantangan lain, ada tren tingginya angka golongan putih (golput) yang kemungkinan dihadapi dalam Pemilu 2019. Seperti, tren angka golput pada Pemilu 2004 terdapat 22 persen; Pemilu 2009 naik menjadi 24 persen; dan Pemilu 2014 naik lagi menjadi 29 persen yang golput.  Belum lagi, persoalan tingginya hasil pencoblosan yang tidak sah dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan ini. Misalnya, pada Pemilu 2009 terdapat 17 juta surat suara tidak sah; Pemilu 2014 terdapat 14 juta surat suara tidak sah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait