Panja RKUHP: Beberapa Rumusan Pasal Masih Terus Diperbaiki
Berita

Panja RKUHP: Beberapa Rumusan Pasal Masih Terus Diperbaiki

Politik hukum DPR merumuskan hukum pidana dalam RKUHP berbeda dengan negara barat. Masyarakat sipil diharapkan memberikan masukan yang konstruktif dalam hal rumusan pasal-pasal yang baik.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terus memperbaiki berbagai kekurangan dalam rumusan pasal demi pasal dalam RKUHP. Namun, dari total sekitar 646 pasal, secara substansi sebagian besar telah disepakati antara Panja dan pemerintah.

 

Namun, masih terdapat beberapa rumusan pasal yang harus diperbaiki oleh Panja dan pemerintah. Sementara DPR dan pemerintah sepertinya yakin dapat mengesahkan RKUHP sebelum Oktober 2019 mendatang. Alasannya, karena tidak adanya mekanisme carry over pembahasan RUU di periode keanggotaan DPR berikutnya.

 

“Yang belum disetujui tidak banyak, ada banyak secara substansi sudah disepakati, tapi rumusan masih diperbaiki,” ujar Anggota Panja RKUHP Arsul Sani kepada wartawan di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (5/7/2019) kemarin. Baca Juga: Beragam Persoalan Pertanggungjawaban Korporasi dalam RKUHP

 

Arsul mengatakan ada beberapa pasal yang belum disepakati. Seperti, pengaturan tentang hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat). Memang dalam rapat Panja bersama dengan pemerintah, mayoritas arahnya telah memberi persetujuan. Namun, rumusannya masih terus diperbaiki.

 

“Ada kritik masyarakat sipil dialamatkan kepada Panja dan pemerintah terhadap pengaturan hukum yang hidup di masyarakat,” kata Arsul. 

 

Selain itu, pengaturan tentang penghinaan (penodaan) terhadap agama juga dianggap pasal karet. “Perdebatan hukuman mati dihapus total atau tetap ada dengan diperbaikan. Politik hukumnya tetap mempertahankan hukuman mati dengan dimoderinisasi. Namun, Arsul memahami sebagian kalangan masyarakat menghendaki hukuman mati dihapus keseluruhan dari hukum positif di Indonesia karena bertentangan dengan HAM.

 

“Kultur hukum Indonesia memang berbeda dengan negara barat. Indonesia cenderung memiliki KUHP yang sisi filsafat dan budaya hukumnya berbeda,” kata dia mengingatkan.

Tags:

Berita Terkait