Menjerat Pidana Pemegang Saham dalam Kejahatan Korporasi
Berita

Menjerat Pidana Pemegang Saham dalam Kejahatan Korporasi

Pemegang saham sering berlindung pada UU PT yang membatasi pertanggungjawabannya. Padahal, dalam kejahatan korporasi peran pemegang saham bisa sangat dominan.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Kejahatan korporasi merupakan persoalan yang selalu menarik dikaji dalam diskusi publik maupun topik karya ilmiah akademis. Hal paling menjadi perhatian dalam persoalan tersebut mengenai pelaku kejahatan yang terlibat dalam kejahatan korporasi. Pelaku kejahatan tersebut bisa menyasar jajaran manajemen dan direksi korporasi tersebut. Namun, bisakah pemegang saham juga dapat diseret sanksi pidana apabila terlibat dalam kejahatan korporasi tersebut?

 

Berbagai kasus kejahatan korporasi yang diputus pengadilan terus terjadi. Kasus-kasus pelanggaran tersebut mulai dari penyuapan, tindak pidana pencucian uang (TPPU) hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Khusus pelanggaran hukum karhutla korporasi berdasarkan data WALHI, pada tahun 2015 terdapat 439 Korporasi terlibat Karhulta. Jangka waktu 2015 sampai dengan 2016, tercatat setidaknya terdapat 30 Korporasi diminta pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana Pembakaran Hutan dan lahan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.

 

Kemudian, jangka waktu 2017 sampai dengan 2018, tercatat setidaknya Terdapat 9 Korporasi diminta pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana. Sejak awal tahun 2019 sampai dengan saat ini, setidaknta terdapat 19 Korporasi diminta pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana Pembakaran Hutan dan lahan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.

 

Sayangnya, dari berbagai kasus tersebut, pemegang saham yang terseret ke meja hijau dalam perkara karhutla masih masih minim padahal potensi peran dalam pelanggaran hukum tersebut sangat dominan. Pemegang saham sering berlindung di balik nama korporasi sehingga sulit dibuktikan perannya dalam pelanggaran tersebut. Padahal, sebenarnya apabila dilakukan pembuktian lebih lanjut terdapat peran pemegang saham dalam kasus karhutla.

 

Permasalahan tersebut menjadi ide awal praktisi hukum korporasi Ari Yusuf Amir dalam disertasinya untuk meraih gelar doktor (S3) yang diujikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dengan hasil predikat kelulusan sangat memuaskan. Gelar tersebut diperolehnya setelah menjalani sidang terbuka promosi doktor yang berlangsung di Auditorium UII, Jalan Kaliurang, Sleman, Yogyakarta, Jumat (8/11).

 

Dalam sidang terbuka tersebut, Ari, yang juga pendiri Law Firm Ail Amir & Associates ini berhasil mempertahankan disertasinya berjudul ‘Sistem Pertanggungjawaban Dan Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pemegang Saham Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana’.

 

“Kasus yang sangat mencolok di mata yaitu kasus kebakaran hutan. Setelah saya kaji lebih dalam ternyata yang selama ini selalu disebut sebut faktor alam faktor alam itu ternyata hanya 1% sedangkan 99% nya faktor manusia. Hasil kajian saya faktor kesengajaan ini yang ternyata dominan yang bisa saja pemegang saham berperan aktif dalam kejahatan tersebut.  Dari hasil penelitian disertasi saya ini, saya melihat begitu pentingnya pemegang saham itu diberikan juga tanggungjawab pidana,” kata Ari kepada hukumonline.

Tags:

Berita Terkait