Trading In Influence, Teka Teki dalam Pemberantasan Korupsi
Berita

Trading In Influence, Teka Teki dalam Pemberantasan Korupsi

Orang-orang yang punya jabatan menggunakan pengaruhnya. Romi menganggap pasal itu belum disetujui DPR karena rentan tuduhan karet.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Romahurmuziy. Foto: RES
Romahurmuziy. Foto: RES

Trading in influence atau perdagangan pengaruhbelum diatur secara detil dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa kali membuktikan perkara korupsi yang berawal dari trading in influence, tapi tetap saja perlu upaya membuktikan perbuatan memperdagangkan pengaruh dalam tindak pidana korupsi. Terdakwa juga bisa menjadikan teka-teki tentang jual pengaruh itu sebagai celah untuk meloloskan diri.

Salah satu contoh terbaru adalah dalam perkara mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M. Romahurmuziy. Pria yang lazim dipanggil Romi ini menyinggung trading in influence dalam pembelaan atau pledoinya. Romi menyatakan dirinya dituntut berdasarkan Konvensi PBB Tahun 2003 yang telah diratifikasi menjadi UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Salah satu yang diatur dalam UNCAC 2003 adalah trading in influence. Perbuatan ini belum diangkat menjadi delik dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

"Yang diambil penuntut umum adalah klausul pertimbangan. Kalau rumusan pertimbangan bisa digunakan untuk menjadi delik, kenapa tidak sekalian Pancasila saja yang digunakan sebagai delik? Katakanlah seorang melanggar sila ke berapa dalam Pancasila sehingga dikenakan delik pidana," kata Romi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/1).

(Baca juga: Jaksa Singgung Konvensi PBB dalam Tuntutan Romi).

Menurut Romi, belum dimaterialisirnya perdagangan pengaruh menjadi delik oleh DPR disebabkan masih sumirnya proses penegakan hukum di Indonesia. Kalau pasal ini dimaterialisir dikhawatirkan banyak tuduhan karet yang dianggap membahayakan stabilitas penegakan hukum di Indonesia.

Dalam konteks ini, Romi menambahkan, tuduhan jual beli jabatan di Kementerian Agama oleh KPK sama sekali tidak berdasar. Ia mengklaim selama ini hanya menghimpun dan menyerap aspirasi masyarakat dan meneruskan kepada pihak berwenang. Hal ini menurutnya merupakan kewajiban selaku anggota Dewan dan pimpinan partai politik.

Dalam pledoi Romi menyinggung ada salah satu komisioner KPK yang pernah menemui dirinya untuk meminta dukungan. "Ada komisioner KPK masa bakti 2015-2019 yang untuk dukungannya dari PPP di DPR, ia datang ke rumah saya dan meminta dibantu direkomendasikan ke beberapa pimpinan partai politik lainnya. Tentu dengan sejumlah komitmen atau janji. Apakah ini termasuk trading in influence?" ujar Romi.

Tak hanya itu, Romi mengaku ada calon komisioner KPK yang untuk dukungan PPP terhadapnya tahun 2019 melalui keponakannya menjadi pengurus DPP dan hal itu dikabulkan. Namun ia tidak lolos dalam seleksi pimpinan KPK sebelum masuk ke DPR. "Apakah sang komisioner tahu, wallahu a'lam. Hal ini mirip dengan posisi sepupu yang tidak saya ketahui mengkapitalisasi atau mengambil manfaat dari diri saya, namun publik sudah dibentuk opininya untuk menyalahkan saya. Apakah ini juga bisa disebut trading in influence?" tanya Romi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait