Intisari :
Pihak yang mengikatkan diri dalam kasus Anda adalah hanya pihak penjual rumah dengan Ibu Anda, sehingga surat perjanjian tersebut tetap berlaku meskipun tanpa tanda tangan Anda. Terlihat penjual dan Ibu Anda telah sepakat bahwa jika tidak kunjung dilunasi, maka down payment (“DP”) hangus. Namun perlu dicatat juga bahwa hangusnya DP karena tidak membayar utang/kurang bayar, bukan karena membatalkan pembelian rumah. Hangusnya DP juga karena konsekuensi tidak melunasi pembayaran yang dijanjikan oleh Ibu Anda. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel
Bolehkah Menolak Kembalikan Uang Panjar Jika Pembelian Batal?, bahwa
down payment (DP) dapat dipersamakan dengan uang panjar. Soerjono Soekanto dalam bukunya
Hukum Adat Indonesia (hal. 213-214) mengatakan bahwa ada kecenderungan bahwa panjer itu diartikan sebagai tanda jadi, yang di dalamnya terselip unsur saling percaya mempercayai antara para pihak. Panjer itu muncul apabila dalam suatu sikap tindak tertentu (misalnya jual beli) telah terjadi
afspraak, di mana salah satu pihak (dalam jual beli adalah pembeli) memberikan sejumlah uang sebagai “panjer” atau tanda jadi. Adanya pemberian ini menimbulkan keterikatan antara kedua belah pihak. Dengan demikian apabila tidak diberi panjer, maka kedua belah pihak merasa dirinya tidak terikat pada kesepakatan yang telah dilakukan. Jadi, kesepakatan saja tidak menimbulkan keterikatan (red-dalam hukum adat).
Pada permasalahan yang Anda ceritakan bahwa uang panjar yang telah pihak Anda bayarkan sebesar Rp 62 juta dapat mengacu ke
Pasal 1464 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yaitu:
Jika pembelian dilakukan dengan memberi uang panjar, maka salah satu pihak tak dapat membatalkan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya.
Maka atas dasar itu, surat perjanjian yang dibuat oleh Ibu Anda beserta pihak penjual rumah yang menyatakan bahwa DP akan hangus jika pembayaran tidak dilunasi adalah sah demi hukum sesuai syarat di Pasal 1320 KUH Perdata, yakni:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu pokok persoalan tertentu;
suatu sebab yang tidak terlarang.
Menurut hemat kami, pihak yang mengikatkan diri dalam kasus Anda adalah hanya pihak penjual rumah dengan Ibu Anda, sehingga surat perjanjian tersebut tetap berlaku tanpa tanda tangan dari Anda.
Selanjutnya pembatalan pembelian rumah tidak boleh dilakukan oleh Ibu Anda dengan maksud DP yang dibayar dikembalikan sebagian. Itu tidak dapat dilakukan, karena jika itu dilakukan akan menyalahi Pasal 1464 KUH Perdata.
Tapi dalam hal ini, terlihat penjual dan Ibu Anda telah sepakat bahwa jika tidak kunjung dilunasi maka DP hangus, namun perlu dicatat juga bahwa hangusnya DP karena tidak membayar utang/kurang bayar, bukan karena membatalkan pembelian rumah. Hangusnya DP juga karena konsekuensi tidak melunasi pembayaran yang dijanjikan oleh Ibu Anda.
Adapun Ibu Anda yang tidak memenuhi janji bahwa akan melunasi sisa pembayaran dalam waktu sebulan sampai tanah Anda lunas, bisa ditagih janjinya oleh pihak penjual karena penjual telah menunggu sampai tiga bulan (melewati waktu yang dijanjikan Ibu Anda).
[1] Namun ini terkait sisa pembayaran saja, bukan DP yang telah dibayar.
Penting untuk diingat bahwa perjanjian didasari oleh Pasal 1338 KUH Perdata, bunyinya:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Perihal tanah yang belum kunjung terjual, seharusnya bisa dilakukan musyawarah antara kedua belah pihak. Karena walaupun perjanjian tidak dapat ditarik kembali, tetapi dibolehkan jika kedua belah pihak sepakat untuk mengubah perjanjian. Untuk itu, kami sarankan agar diselesaikan antara pihak penjual dan pihak Ibu Anda dengan cara baik-baik dan kekeluargaan. Hal ini ditujukan agar kedua belah pihak mencapai kesepakatan tanpa ada yang dirugikan.
Namun, jika tidak kunjung sepakat atau tidak mencapai titik tengah. Maka dalam permasalahan ini, penjual dapat melakukan upaya hukum perdata. Yaitu melalui gugatan wanprestasi atas dasar Pasal 1243 KUH Perdata:
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
Anda tentu memiliki hak untuk memberikan alasan dalam persidangan nanti bahwa pelunasan pembayaran akan terus dilakukan oleh Anda, hanya saja menunggu tanah milik Anda terjual. Meskipun nantinya hakim yang akan memutuskan permasalahan ini.
Perlu juga diketahui bahwa pihak berwenang yang Anda maksud adalah melalui pengadilan dalam perkara perdata, yaitu Pengadilan Negeri bukan Kepolisian.
[2] Karena pada dasarnya tidak dapat melunasi utang bukanlah suatu perbuatan yang dibawa ke ranah Kepolisian (Pidana) berdasarkan Pasal 19 ayat (2)
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), telah mengatur sebagai berikut:
Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 1239 KUH Perdata