Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Bank Syariah dan Prinsipnya
Berdasarkan pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai definisi bank syariah, kegiatan, dan larangannya. Bank syariah berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU Perbankan Syariah”) adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan terbagi atas Bank Umum Syariah (“BUS”) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (“BPRS”). Selain itu, ada juga Unit Usaha Syariah (“UUS”) yang merupakan unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.[1]
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah, diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 22 UU Perbankan Syariah. BUS dapat melakukan kegiatan seperti menghimpun dana dalam bentuk simpanan dan investasi dalam bentuk tabungan, giro, maupun deposito.[2] BUS juga dapat melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan prinsip syariah, sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah, dan sebagainya.[3]
Adapun BPRS dapat melakukan kegiatan seperti menghimpun dana, menyalurkan dana, dan menempatkan dana pada bank syariah lain dalam bentuk titipan dengan akad wadiah atau investasi dengan akad mudharabah dan/atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinisip syariah.[4]
Pada prinsipnya, bank syariah tidak boleh melakukan kegiatan yang menyalahi prinsip syariah. Hal-hal yang dilarang dalam pelaksanaan kegiatan bank syariah adalah hal-hal yang mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.[5]
Undian Pada Bank Syariah
Terkait dengan undian dan hadiah dari undian tersebut, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (“DSN-MUI”) mengeluarkan Fatwa Nomor 86/DSN-MUI/XII/2012 tentang Hadiah dalam Penghimpunan Dana Lembaga Keuangan Syariah (“Fatwa DSN 86/2012”). Lembaga Keuangan Syariah yang dimaksud adalah lembaga yang melakukan pengumpulan dana berupa tabungan, giro, dan deposito dengan akad wadiah dan mudharabah.[6] Fatwa ini mengatur mengenai hadiah yang dapat diberikan oleh Lembaga Keuangan Syariah (“LKS”), seperti ketentuan hukum tentang hadiah dan cara penentuan penerima hadiah.
Undian atau qur’ah didefinisikan sebagi upaya yang dilakukan dalam menentukan pihak yang berhak untuk mendapatkan sesuatu berupa hadiah yang dilakukan tanpa adanya unsur keberpihakan dan di luar jangkauan melalui media tertentu.[7] Undian di dalam Al-Quran disebutkan dalam Surat As-Saffat ayat 139-141 yang artinya berbunyi:
Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang Rasul; Ingatlah ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan; Kemudian ia ikut berundi, lalu ia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian.
Berdasarkan definisi dan dasar hukum di atas, secara umum tidak ada dasar yang melarang dilakukannya undian dalam Islam. Sebab, undian sebagaimana definisi dari Fatwa DSN-MUI hanya merupakan suatu cara yang netral untuk mendapatkan “pemenang” atau dalam hal ini orang yang berhak menerima hadiah. Sehingga, pada dasarnya undian tidak bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini juga ditegaskan dalam Bagian Keempat Fatwa DSN 86/2012 bahwa pemberian hadiah promosi oleh lembaga keuangan syariah boleh dilakukan secara langsung, dan boleh pula dilakukan melalui pengundian (qur'ah).
Oleh karena undian sebagaimana yang ditanyakan dilakukan oleh bank syariah, tentunya pelaksanaan dari undian ini harus mengikuti ketentuan-ketentuan syariah dan tidak boleh melanggar hukum Islam maupun hukum positif, termasuk Fatwa DSN 86/2012.
Terkait ketentuan mengenai hadiah, Fatwa DSN 86/2012 mengatur di antaranya bank syariah harus memiliki sendiri hadiah tersebut dan bukan milik nasabah, yang berarti bukan berasal dari hasil penempatan dana dari nasabah atau iuran dari nasabah. Hadiah juga harus berupa barang/jasa dan bukan uang, halal, dan apabila hal ini berkaitan dengan akad wadiah, maka hadiah diberikan sebelum terjadinya akad.[8]
Mengundi nasib memang merupakan hal yang dilarang oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 90, yang artinya berbunyi:
ÙŽ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Bagian Ketiga Fatwa DSN 86/2012 yang kami kutip di atas adalah sebagai cara yang digunakan untuk mencegah adanya praktik judi atau maisir yang dapat timbul dari pelaksanaan undian.
Maisir bermakna suatu bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan itu berhak mendapat taruhan tersebut.
[9] Sedangkan dalam
Fatwa DSN 86/2012, maisir memiliki makna setiap akad yang tidak memiliki tujuan yang jelas, perhitungan yang tidak cermat, adanya asumsi atau untung-untungan.
[10]
Dengan adanya kewajiban bahwa sumber hadiah dari undian wajib bersumber dari milik bank itu sendiri, maka hal ini akan mencegah adanya pihak yang kehilangan hasil kontribusinya, yang dalam hal ini bisa dianalogikan sebagai bentuk taruhan. Sebab apabila ada pihak yang berkontribusi atas hadiah tersebut, maka ia akan bertaruh untuk mendapatkan keuntungan atas taruhannya, dan undian tersebut menjadi mengandung unsur maisir yang dilarang oleh syariat Islam.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Siti Sahara, Meta Suriyani, Efektifitas Penghukuman Bagi Pelaku Maisir (Perjudian) di Kota Langsa, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2018.
[1] Pasal 1 angka 10 UU Perbankan Syariah
[2] Pasal 19 ayat (1) huruf a dan b UU Perbankan Syariah
[3] Pasal 20 ayat (1) huruf a dan d UU Perbankan Syariah
[4] Pasal 21 huruf a, b, dan c UU Perbankan Syariah
[5] Penjelasan Umum UU Perbankan Syariah
[6] Konsiderans huruf a Fatwa DSN 86/2012
[7] Bagian Pertama
angka 10 Fatwa DSN 86/2012
[8] Bagia Ketiga Fatwa DSN 86/2012
[9] Siti Sahara, Meta Suriyani,
Efektifitas Penghukuman Bagi Pelaku Maisir (Perjudian) di Kota Langsa, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2018, hal. 120
[10] Bagian Pertama angka 11 Fatwa DSN 86/2012