KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Contoh Kasus Sengketa Tanah dan Penyelesaiannya

Share
copy-paste Share Icon
Pertanahan & Properti

Contoh Kasus Sengketa Tanah dan Penyelesaiannya

Contoh Kasus Sengketa Tanah dan Penyelesaiannya
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Contoh Kasus Sengketa Tanah dan Penyelesaiannya

PERTANYAAN

Apa contoh kasus sengketa tanah dan bagaimana penyelesaiannya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Sengketa pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan aktual dari masa ke masa, seiring berkembangnya populasi masyarakat. Dalam penyelesaian sengketa pertanahan terdapat 2 jenis alternatif yakni nonlitigasi dan litigasi. Apa saja yang dimaksud dengan jenis alternatif penyelesaian sengketa pertanahan tersebut? Bagaimana contoh kasusnya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Penyelesaian Sengketa Tanah Nonlitigasi

    Sama halnya dengan sengketa di bidang lain, sengketa tanah dapat diselesaikan dengan berbagai cara, antara lain melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, serta melalui badan peradilan.[1]

    KLINIK TERKAIT

    Cara Membatalkan Surat Wasiat Menurut KUH Perdata

    Cara Membatalkan Surat Wasiat Menurut KUH Perdata

    Arbitrase merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih para pihak dengan menuliskannya sebagai klausul dalam perjanjian khusus setelah sengketa terjadi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih alternatif arbitrase antara lain penentuan sengketa pertanahan apa saja yang dapat diserahkan penyelesaiannya pada arbiter, penentuan tentang siapa yang berhak menjadi arbiter, serta penentuan sifat keputusan yang sebaiknya bersifat final dan tidak dapat dimintakan banding.[2]

    Selanjutnya, sengketa tanah pun dapat diselesaikan dengan cara mediasi. Di Indonesia, cara-cara musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan hal yang lazim dilakukan. Untuk kasus-kasus pertanahan yang bersifat perdata dalam arti luas, yakni tidak menyangkut aspek administrasi dan pidana, sepanjang para pihak menghendaki cara-cara mediasi, maka alternatif ini dapat ditempuh.[3]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Alternatif lainnya adalah konsiliasi, dimana dalam penyelesaian sengketa terdapat konsiliator sebagai fasilitator. Peran konsiliator berkaitan dengan hal komunikasi antara para pihak, guna mendapatkan solusi dalam penyelesaian sengketa.[4]

    Baca juga: Perbedan Mediator, Arbiter, dan Konsiliator

    Contoh Kasus Sengketa Tanah Hak Milik dan Penyelesaiannya

    Berikut adalah contoh kasus sengketa tanah hak milik dan penyelesaiannya melalui alternatif mediasi yang terjadi di Desa Blulukan, Kecamatan Colomadu, Kranganyar yang  melibatkan Kepada Desa Blukukan.

    Kasus ini berawal ketika di tahun 2012 seorang pengusaha properti bernama Candra membeli sebidang tanah seluas 2.785 m2. Tanah tersebut terletak di Desa Blulukan dengan sertifikat hak milik atas nama Sayem. Sebelum melakukan transaksi jual beli, Candra telah berulang kali berkonsultasi ke Kantor Pertanahan Karanganyar dan melakukan pengecekan terhadap tanah tersebut. Kantor Pertanahan Karanganyar juga telah menyatakan bahwa tanah dengan sertifikat hak milik atas nama Sayem itu sah. Namun, pada pertengahan tahun 2013, terdapat laporan ke Kejaksaan Karanganyar yang menyatakan bahwa tanah yang dibeli Candra sebagian tanah kas desa, sebab sebelumnya pernah terjadi tukar guling antara tanah milik Sayem yang berada di Dusun Serangan dengan tanah milik kas desa yang berada di Dusun Blulukan antara Kepala Desa Blulukan dengan Sayem. Berkaitan dengan hal ini, sekitar 785 m2 dari 2.785 m2 tanah tersebut adalah milik Desa Blukukan.[5]

    Penanganan sengketa tersebut diselesaikan dengan cara mediasi. Lembaga mediasi di Badan Pertanahan Nasional (“BPN”) Kabupaten Karanganyar dalam proses mediasi menggunakan beberapa model penyelesaian sengketa, antara lain:[6]

    1. settlement mediation, guna memiliki tujuan utama mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan kedua belah pihak yang bersengketa;
    2. fasilitative mediation, guna memiliki tujuan menghindari posisi para pihak yang besengketa dan menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan para pihak;
    3. transformative mediation, guna mencari penyebab munculnya sengketa;
    4. evaluation mediation, guna mencari kesepakatan berdasarkan hak yang legal.

    Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Jalur Litigasi

    Selain cara non litigasi tersebut, secara umum penyelesaian sengketa tanah bisa juga dilakukan dengan cara litigasi atau melalui lembaga peradilan. Proses penyelesaian sengketa kepemilikan tanah dengan cara litigasi dinilai akan mampu memberikan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa.[7]

    1. Contoh Kasus Sengketa Tanah Adat dan Penyelesaiannya

    Contoh kasus sengketa tanah adat dapat Anda baca dalam putusan Putusan MA Nomor 3064 K/Pdt/2010 yang telah berkekuatan hukum tetap.

    Pada tanggal 23 Januari 1973, Thonce Bonay Upuya selaku termohon kasasi/penggugat memperoleh sebidang tanah yang diserahkan secara adat dari Bapak Demianus Tanawani, selaku pemilik tanah, dan selaku orang tua kandung para pemohon kasasi/ para tergugat dengan luas tanah adalah 7.397 m2 (hal. 2).

    Penyerahan tanah tersebut didasarkan pada hubungan keluarga antara istri bapak Demianus Tanawani bernama Yuliana Mundoni, sebagai kakak kandung Helena Mundoni sebagai istri penggugat. Penggugat dan keluarga mengelola, merawat, dan memelihara sebidang tanah tersebut, dengan berkebun, menanam tanaman jangka panjang, dan membangun 1 rumah permanen (hal.2).

    Tanggal 11 April 1986, bapak Demianus Tanawani mendatangi penggugat untuk menyaksikan penunjukan batas tanah, dan disaksikan oleh tergugat II dan III. Kemudian pada tahun 1989 terdapat salah satu program Camat Yapen Selatan, yakni penertiban administrasi kepemilikan tanah, sehingga pada 1 Agustus 1989 dibuat Surat Pelepasan Tanah yang melegitimasi pelepasan lisan oleh bapak Demianus Tanawani kepada penggugat.

    Pada April 2009, para tergugat melakukan pekerjaan pembangunan rumah tinggal di atas tanah penggugat. Tindakan para tergugat menyebabkan pembongkaran 1 unit rumah semi permanen milik penggugat yang menyebabkan kerugian penggugat sebesar Rp25 juta (hal. 3).

    Tindakan para tergugat menyebabkan ancaman yang mengarah pada bentrokan fisik dan mengganggu ketenangan keluarga dan ketertiban umum. Tindakan para tergugat juga dapat menyebabkan penggugat menderita kerugian hilangnya sebagian tanah yang didirikan bangunan dan kehilangan pendapatan dari harga sewa rumah setiap bulan, sebesar Rp500 ribu x 6 bulan = Rp3 juta (hal. 3).

    Berdasarkan fakta hukum tersebut, Penggugat memilih untuk menyelesaikan sengketa tanah ini melalui proses hukum.

    Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa objek sengketa adalah tanah adat milik orang tua pemohon kasasi/para tergugat, yang diberikan kepada termohon kasasi/penggugat, sebagai hibah tanpa ada satu upacara adat (hal. 12).

    Berdasarkan bukti termohon kasasi/penggugat berupa Keputusan Damai Peradilan Adat 9 Desember 2009, Peradilan Adat memutuskan tanah adat dibagi menjadi 2 yaitu sebelah selatan diserahkan kepada Thonce Bonay Upuya, dan sebelah utara diserahkan kepada Darius Tanawani (tergugat II) (hal. 12).

    Selain itu, tanah hanya pinjam pakai dan surat tanah dinyatakan direkayasa, sebab berdasarkan bukti, surat keterangan pelepasan hak atas tanah tertanggal 1 Agustus 1989 yang diajukan termohon kasasi/penggugat keliru. Isi dari surat pelepasan adat tersebut cacat hukum karena tanda tangan pemohon kasasi II dipalsukan oleh termohon kasasi/penggugat. Pelepasan hak harus dibatalkan karena hak mutlak keluarga Tanawani (hal. 12).

    Timbul konflik suku secara horizontal, maka berdasarkan kearifan lokal, Keputusan Damai Peradilan Adat 9 Desember 2009 patut dilaksanakan (hal. 12).

    Dengan demikian, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi, dan menguatkan Keputusan Damai Peradilan Adat Nomor: 85/KDPA/DAP-WTC/DY/XII/2009, guna menjaga stabilitas, keseimbangan, dan keharmonisan hidup antar suku di Serui (hal. 13).

    1. Contoh Kasus Sengketa Tanah Warisan dan Penyelesaiannya

    Adapun contoh kasus sengketa tanah warisan dan penyelesaiannya yaitu Putusan MA Nomor 1989 K/PDT/2001

    Objek sengketa adalah tanah milik penggugat/termohon kasasi yang diperoleh dari ibunya bernama Sitti binti Bitte. Ibunya meminjamkan tanah kepada Hadda untuk dikerjakan sementara. Kemudian, Hadda meninggal dunia di tahun 1990, dan di tahun 1991 Sitti binti Bitte juga meninggal dunia (hal. 1).

    Maka, objek sengketa selanjutnya dikuasai dan dikerjakan oleh tergugat/pemohon kasasi. Namun, perbuatan tergugat tersebut tidak diberitahukan/seizin penggugat, sehingga perbuatan tergugat adalah melawan hukum (hal. 1).

    Berdasarkan fakta hukum tersebut, penggugat memilih untuk menyelesaikan sengketa ini ke Pengadilan Negeri Watampone dengan menyampaikan permohonan untuk menyatakan bahwa objek sengketa adalah sah milik penggugat yang diperoleh dari ibunya bernama Sitti binti Bitte sebagai tanah warisan dan menyatakan objek sengketa berstatus pinjaman Hadda dari Sitti binti Bitte (hal. 1-2)

    Dalam putusannya, Mahkamah Agung berpendapat berdasarkan semua surat-surat dan saksi-saksi yang diajukan penggugat bila dikaitkan satu dengan yang lain cukup bukti yang menyatakan bahwa tanah objek sengketa adalah milik Sitti binti Bitte yang kemudian jatuh menjadi warisan milik penggugat (hal. 4).

    Dengan demikian, pengadilan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi/tergugat (hal. 6).

    Kesimpulannya, penyelesaian sengketa tanah tidak hanya dapat diselesaikan melalui jalur litigasi saja, melainkan juga melalui jalur non litigasi, seperti arbitrase, mediasi, juga konsiliasi.

    Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.

    Referensi:

    1. Dian Indrawati (et.al), Analisis Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Lahan Antara Masyarakat Lokal Pekon Sukapura dengan Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (Studi Kasus: Kelurahan Sukapura, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat), Administrativa: Jurnal Birokrat, Kebijakan, dan Pelayanan Publik, Vol. 4, No. 1, 2022;
    2. Imandia Sulistifani, Studi Kasus: Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Mediasi di Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018;
    3. Istijab, Penyelesaian Sengketa Tanah Sesudah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, Widya Yuridika Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 1, 2018.

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1989 K/PDT/2001, diakses pada Kamis 16 Juni 2022, pukul 14.29 WIB;
    2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3064 K/Pdt/2010, diakses pada Jumat 17 Juni 2022, pukul 18.10 WIB.

    [1] Istijab, Penyelesaian Sengketa Tanah Sesudah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, Widya Yuridika Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 1, 2018, hal. 12.

    [2] Istijab, Penyelesaian Sengketa Tanah Sesudah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, Widya Yuridika Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 1, 2018, hal. 14.

    [3] Istijab, Penyelesaian Sengketa Tanah Sesudah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, Widya Yuridika Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 1, 2018, hal. 15.

    [4] Dian Indrawati (et.al), Analisis Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Lahan Antara Masyarakat Lokal Pekon Sukapura dengan Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (Studi Kasus: Kelurahan Sukapura, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat), Administrativa: Jurnal Birokrat, Kebijakan, dan Pelayanan Publik, Vol. 4, No. 1, 2022, hal. 84.

    [5] Imandia Sulistifani, Studi Kasus: Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Mediasi di Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018, hal. 4.

    [6] Imandia Sulistifani, Studi Kasus: Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Mediasi di Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018, hal. 11.

    [7] Dian Indrawati (et.al), Analisis Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Lahan Antara Masyarakat Lokal Pekon Sukapura dengan Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (Studi Kasus: Kelurahan Sukapura, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat), Administrativa: Jurnal Birokrat, Kebijakan, dan Pelayanan Publik, Vol. 4, No. 1, 2022, hal. 84

    Tags

    kantor hukum
    karier hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Agar Terhindar dari Jebakan Saham Gorengan

    15 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!