Etika Penagihan Utang oleh Debt Collector
Perlindungan Konsumen

Etika Penagihan Utang oleh Debt Collector

Bacaan 9 Menit

Pertanyaan

Adakah dasar hukum debt collector? Apa sanksi bagi debt collector yang sering menagih lewat telepon maupun secara langsung dengan mengucapkan sumpah serapah dan kata-kata kasar lainnya, padahal yang ditagih telah melakukan kewajibannya dengan tepat waktu?

Intisari Jawaban

circle with chevron up

Debt collector pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur (lembaga keuangan/pembiayaan) untuk menagih utang kepada debiturnya (nasabah). Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Namun patut diketahui, dalam sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya juga mengatur ketentuan kerja sama dengan pihak debt collector termasuk juga mengenai etika penagihan. Apa sajakah itu?

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

 

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Dasar Hukum Adanya Debt Collector yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 17 Agustus 2010, dan dimutakhirkan pertama kali pada 6 September 2017.

 

Dasar Hukum Debt Collector

Sepengetahuan kami, tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai penagih utang atau debt collector ini. Debt collector pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur (dalam hal ini adalah lembaga keuangan/pembiayaan) untuk menagih utang kepada debiturnya (nasabah). Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Mengenai apa itu kuasa Anda dapat membaca lebih lanjut dalam Keabsahan Surat Kuasa atau Ciri dan Isi Surat Kuasa Khusus.

Selain itu, memang ada peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pihak perusahaan pembiayaan untuk menggunakan jasa pihak lain untuk menagih utang. Hal tersebut diatur dalam:

  1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (“PBI 23/2021”);
  2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan (“POJK 35/2018”);
  3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (“SEBI 2009”) sebagaimana yang telah diubah oleh:
    1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP Tanggal 7 Juni 2012 Perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (“SEBI 2012”);
    2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/25/DKSP Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu;
    3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/51/DKSP Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu;
    4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/33/DKSP Tahun 2016 tentang Perubahan Keempat Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.

 

Etika Penagihan Debt Collector

Dalam PBI dan SEBI ini diatur antara lain bahwa:

  1. Dalam melakukan penagihan kartu kredit, penyedia jasa pembayaran yang menyelenggarakan aktivitas penatausahaan sumber dana dengan penerbitan kartu kredit wajib mematuhi pokok etika penagihan utang termasuk namun tidak terbatas pada:[1]
    1. menjamin bahwa penagihan utang, baik yang dilakukan oleh penyedia jasa pembayaran sendiri atau menggunakan penyedia jasa penagihan, dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia serta ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    2. dalam hal penagihan utang menggunakan penyedia jasa penagihan, penyedia jasa pembayaran wajib menjamin bahwa:
      1. pelaksanaan penagihan utang kartu kredit hanya untuk utang dengan kualitas kredit diragukan atau macet; dan
      2. kualitas pelaksanaan penagihannya sama dengan jika dilakukan sendiri oleh penyedia jasa pembayaran.
  2. Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit baik menggunakan tenaga penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan, penerbit Kartu Kredit (Bank) wajib memastikan bahwa:[2]
      1. tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku;
      2. identitas setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit Kartu Kredit (Bank);
      3. tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-pokok etika penagihan sebagai berikut:
        1. menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit Kartu Kredit (Bank), yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan;
        2. penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan Pemegang Kartu Kredit;
        3. penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal;
        4. penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain Pemegang Kartu Kredit;
        5. penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu;
        6. penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili Pemegang Kartu Kredit;
        7. penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat Pemegang Kartu Kredit;
        8. penagihan di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana dimaksud pada huruf f) dan huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang Kartu Kredit terlebih dahulu;
        9. Penerbit Kartu Kredit juga harus memastikan bahwa pihak lain yang menyediakan jasa penagihan yang bekerjasama dengan Penerbit Kartu Kredit juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.

 

  1. Berlaku pula ketentuan sebagai berikut:[3]
  1. penagihan Kartu Kredit menggunakan tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kualitas macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas kredit;
  2. kerjasama antara Penerbit Kartu Kredit dengan perusahaan penyedia jasa penagihan wajib dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  3. Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin kualitas pelaksanaan penagihan Kartu Kredit oleh perusahaan penyedia jasa penagihan sama dengan jika dilakukan sendiri oleh Penerbit Kartu Kredit.

 

  1. Perihal kerjasama antara perusahaan pembiayaan dengan pihak lain (debt collector) untuk melakukan penagihan kepada debitur, harus juga memenuhi ketentuan di bawah ini:
    1.  
    2. Perusahaan Pembiayaan wajib menuangkan kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk perjanjian tertulis bermeterai;[4]
    3. Kerja sama dengan pihak lain wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:[5]
      1. pihak lain tersebut berbentuk badan hukum;
      2. pihak lain tersebut memiliki izin dari instansi berwenang; dan
      3. pihak lain tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan.
  1. Perusahaan Pembiayaan wajib bertanggung jawab penuh atas segala dampak yang ditimbulkan dari kerja sama dengan pihak lain;[6]
  2. Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan evaluasi secara berkala atas kerja sama dengan pihak lain tersebut.[7]

 

Ketentuan Pidana

Kalau merujuk pada ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), tindakan kekerasan yang dilakukan oleh debt collector bisa dijerat hukum. Dalam hal debt collector tersebut menggunakan kata-kata kasar dan dilakukan di depan umum, maka ia bisa dipidana dengan pasal penghinaan, yaitu Pasal 310 angka 1 KUHP:

Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Sebagai referensi, Anda bisa membaca artikel Malu Karena Utang Diumumkan ke Orang Banyak, Bisakah Menuntut?

Selain itu, debt collector juga berpotensi dikenai Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013:

Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.

Perlu diketahui, sesuai bunyi Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP menyebutkan bahwa maksimum denda dalam KUHP dilipatgandakan menjadi 1000 kali, maka maksimum denda dalam Pasal 310 angka 1 KUHP dan Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP adalah menjadi Rp4,5 juta.

Baca juga: Perbuatan Tidak Menyenangkan

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP;
  3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran;
  4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan;
  5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu sebagaimana yang telah diubah oleh Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP Tanggal 7 Juni 2012 Perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, kemudian diubah lagi oleh Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/25/DKSP Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu serta Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/51/DKSP Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, dan terakhir diubah oleh Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/33/DKSP Tahun 2016 tentang Perubahan Keempat Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.   

 

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013.


[1] Pasal 191 ayat (1) PBI 23/2021

[2] Romawi VII Huruf D Angka 4b SEBI 2012

[3] Romawi VII Huruf D Angka 4c SEBI 2012

[4] Pasal 48 ayat (2) POJK 35/2018

[5] Pasal 48 ayat (3) POJK 35/2018

[6] Pasal 48 ayat (4) POJK 35/2018

[7] Pasal 48 ayat (5) POJK 35/2018

Tags: