Saya mau tanya soal hak waris istri kedua jika suaminya meninggal. Kondisinya, ayah saya akan menikah lagi setelah istri pertamanya (ibu saya) meninggal dan mendapatkan warisan harta. Dikarenakan ibu saya meninggal tanpa membuat surat warisan, maka warisan itu 100% jatuh ke tangan ayah saya. Bulan ini beliau menikah lagi dengan wanita teman sekolahnya yang sudah dikenal sejak lama. Jika suatu hari ayah meninggal, apakah warisan yang sudah dipindahtangankan semua kepada ayah saya, juga akan menjadi milik istri keduanya? Jika istri kedua ayah saya memiliki utang sebelum menikah dengan ayah saya, apakah ayah saya juga mempunyai tanggung jawab untuk menanggung utang bersama jika istri kedua tidak mampu membayar? Pernikahan ayah dan istri kedua akan dilakukan di catatan sipil.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Jika istri meninggal, maka suami berhak atas separuh harta bersama sebagai bagian miliknya, sedangkan sisanya menjadi harta yang diwariskan kepada ahli waris istri. Sehingga, dalam hal istri sebagai pewaris meninggalkan anak, maka suami tidak dibenarkan menguasai 100% harta yang ditinggalkan oleh istrinya.
Menjawab hak waris istri kedua, jika di kemudian hari suami meninggal terlebih dahulu daripada istri kedua, maka harta yang sebelumnya telah diwariskan kepada suami atas kematian istri pertama akan dibagikan kepada para ahli waris sebagai harta warisan dari suami, termasuk kepada istri kedua. Namun, terdapat batasan jumlah warisan yang bisa didapatkan oleh istri kedua jika suaminya meninggalkan anak. Lalu, bagaimana dengan tanggung jawab suami terhadap utang istri kedua?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Hak Waris Istri Jika Suami Meninggal yang pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 8 Desember 2021.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Dalam pertanyaan, Anda menerangkan bahwa ayah dan ibu tiri Anda menikah di kantor catatan sipil. Oleh karena itu, dalam menjawab hak waris istri kedua, kami akan merujuk pada ketentuan dalam KUH PerdatadanUU Perkawinan serta perubahannya.
Harta Bawaan dan Harta Bersama dalam Perkawinan
Sebelum membahas hak waris istri, penting untuk diketahui bahwaterdapat 2 jenis harta dalam perkawinan, yaitu:[1]
Harta bawaan: yakni harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Harta bawaan ini berada di bawah penguasaan masing-masing, dalam arti merupakan milik pribadi masing-masing suami-istri, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Harta bersama: yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Terhadap harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Pada prinsipnya, bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, dalam hal ini yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.[2]
Merujuk pada ketentuan tersebut, berarti bagi yang beragama Islam berlaku ketentuan pembagian harta bersama menurut KHI. Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, dapat tunduk pada ketentuan dalam Pasal 128 KUH Perdata yang menerangkan:
Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu.
Harta Bersama Dianggap Bubar karena Kematian
Lalu, dalam kondisi apa harta bersama dianggap bubar? Menurut Pasal 126 KUH Perdata, harta bersama bubar demi hukum salah satunya karena kematian.
Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam hal istri meninggal, maka suami berhak atas separuh harta bersama sebagai bagian miliknya, sedangkan sisanya menjadi harta yang diwariskan kepada ahli waris istri.
Dengan kata lain, dalam hal istri pewaris meninggalkan anak, maka suami tidak dibenarkan menguasai 100% harta yang ditinggalkan. Sebab, harta tersebut harus dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya.
Namun demikian, patut diperhatikan bahwa ketentuan di atas tidak berlaku jika kedua belah pihak semasa hidupnya pernah memperjanjikan pisah harta bersama atau menggabungkan harta bawaan di dalam suatu perjanjian perkawinan.
Ahli Waris dan Besaran Warisan Menurut KUH Perdata
Pada dasarnya, pihak-pihak yang berhak menjadi ahli waris menurut Pasal 832 KUH Perdata adalah:
keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan; dan
suami atau istri yang hidup terlama.
Bila keluarga sedarah dan suami atau istri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.[3]
Hal ini menunjukkan, prinsip dari pewarisan menurut KUH Perdata adalah adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau istri dari pewaris.
Kemudian, terkait bagian waris anak atau keturunannya, Pasal 852 KUH Perdata mengatur ketentuan sebagai berikut.
Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orang tua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu.
Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti.
Suami/istri yang hidup terlama dan anak/keturunannya merupakan ahli waris golongan I. Kemudian, jika suami meninggal tanpa meninggalkan wasiat, maka harta yang ia miliki akan dibagikan kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan dalam KUH Perdata.
Hak Waris Istri Jika Suami Meninggal
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam hal suami meninggal dunia dan tidak ada perjanjian pisah harta, maka istri berhak atas separuh harta bersama sebagai bagian miliknya, sedangkan sisanya menjadi harta yang diwariskan kepada ahli waris suami. Dalam hal ini, bagian istri yang ditinggal mati disamakan dengan seorang anak sah.[4]
Hak Waris Istri Kedua Menurut KUH Perdata
Lantas, bagaimana hak istri kedua terhadap harta suami? Apakah istri kedua berhak menikmati harta warisan yang ditinggalkan istri pertama untuk suaminya?
Sebelumnya, telah diterangkan bahwa harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai warisan merupakan harta bawaan, sehingga harta tersebut merupakan milik masing-masing. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku jika suami-istri mengatur penggabungan harta bawaan dalam perjanjian perkawinan.
Sehingga, jika suami dan istri kedua tidak mengatur penggabungan harta bawaan, maka harta warisan dari istri pertama yang diperoleh suami menjadi harta bawaan suami, dan bukan merupakan harta bersama.
Meski demikian, jika di kemudian hari suami meninggal terlebih dahulu daripada istri kedua, maka harta yang sebelumnya telah diwariskan kepada suami atas kematian istri pertama akan dibagikan kepada para ahli waris sebagai harta warisan dari suami, termasuk kepada istri kedua.
Besar Bagian Hak Waris Istri Kedua Menurut KUH Perdata
Pada prinsipnya, bagian istri yang ditinggal mati disamakan dengan seorang anak sah. Namun, dalam hal perkawinan tersebut merupakan perkawinan kedua atau selanjutnya dan dari perkawinan sebelumnya ada anak atau keturunan dari anak tersebut, maka:[5]
istri kedua tidak boleh mewarisi lebih dari bagian terkecil yang diterima salah seorang dari anak-anak itu atau keturunan penggantinya; dan
bagian warisan istri kedua tidak boleh lebih dari 1/4 harta peninggalan pewaris.
Selain itu, dalam hal pewaris meninggalkan wasiat bagi istri kedua, maka jumlah yang diberikan tersebut tidak boleh melebihi bagian waris terbesar yang boleh diterima istri.
Perlu diperhatikan, selain harta, utang juga dapat menjadi tanggung jawab bersama. Apabila tidak ada perjanjian perkawinan untuk pemisahan harta, maka ketentuan mengenai harta bersama antara suami dan istri tetap mengacu pada UU Perkawinan dan utang bawaan masing-masing adalah tanggung jawab yang berutang.
Namun demikian, jika ada perjanjian perkawinan dan menyepakati bahwa utang bawaan menjadi tanggungan bersama, maka utang akan menjadi tanggung jawab bersama.
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan terkait hak waris istri kedua sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.