Fungsi, Isi Materi, dan Bentuk-Bentuk Perjanjian Kawin
Keluarga

Fungsi, Isi Materi, dan Bentuk-Bentuk Perjanjian Kawin

Bacaan 6 Menit

Pertanyaan

Apakah yang dimaksud perjanjian kawin? Apakah yang harus dituliskan? Bagaimana bentuk perjanjian kawin itu? Bisakan dibuat dengan isi bahwa istri tidak boleh selingkuh?

 

Intisari Jawaban

circle with chevron up

Ada tiga jenis perjanjian perkawinan, yaitu:

  1. perjanjian kawin dengan kebersamaan untung dan rugi;
  2. perjanjian kawin dengan kebersamaan hasil dan pendapatan; dan
  3. perjanjian kawin dengan peniadaan terhadap setiap harta bersama

Perjanjian kawin tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan, tetapi para pihak dapat mengatur hal-hal lain pada klausula tambahan berdasarkan asas kebebasan berkontrak selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bentuk-Bentuk Perjanjian Kawin yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Senin, 24 Juni 2019.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Mengartikan perjanjian kawin, H. A. Damanhuri HR dalam Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama menerangkan bahwa arti formal perjanjian kawin adalah tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan undang-undang antara calon suami istri mengenai perkawinan mereka, isi perjanjian ini tidak dipersoalkan (hal. 1).

Perjanjian Kawin dalam UU Perkawinan

Perlu kami terangkan bahwa ketentuan mengenai perkawinan diatur dalam UU Perkawinan.

Terkait perjanjian kawin lebih lanjut, Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK 69/2015 menerangkan bahwa pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut (hal. 156).

Putusan MK 69/2015 tersebut telah memperluas makna perjanjian perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement), melainkan juga bisa dibuat selama ikatan perkawinan (postnuptial agreement).

Materi yang Diatur pada Perjanjian Kawin

Penting untuk diketahui bahwa ketentuan Pasal 139 KUH Perdata menyatakan bahwa para calon suami isteri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dan peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.

Berdasarkan pasal tersebut, perjanjian perkawinan menurut KUH Perdata hanya sebatas soal pemisahan harta semata.

Namun, menurut Muchsin dalam Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Nasional (hal, 7) menerangkan bahwa perjanjian perkawinan ini tidak sebatas perihal keuangan atau harta saja, melainkan juga mengakomodir masalah lain yang penting untuk diperjanjikan, misalnya kejahatan rumah tangga, perjanjian karier meski sudah menikah, dan lainnya.

Baca juga: Perjanjian Perkawinan dan Hal yang Diatur di Dalamnya

Fungsi Perjanjian Kawin

Fungsi dibuatnya perjanjian kawin menurut Moch. Isnaeni dalam Hukum Perkawinan Indonesia adalah sebagai berikut (hal. 38).

  1. Dibuat untuk melindungi harta benda secara hukum, baik harta bawaan masing-masing pihak ataupun harta bersama.
  2. Pegangan yang mengatur hak dan kewajiban suami dan istri tentang masa depan keluarga, baik soal pendidikan anak, usaha, tempat tinggal, dan lain-lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan.
  3. Melindungi anggota keluarga dari ancaman tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Bentuk-Bentuk Perjanjian Kawin

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan dalam Hukum Orang dan Keluarga menerangkan bahwa ada tiga bentuk perjanjian kawin yang dapat dipilih calon suami istri, yakni perjanjian kawin dengan kebersamaan untung dan rugi, perjanjian kawin dengan kebersamaan hasil dan pendapatan, dan perjanjian kawin dengan peniadaan terhadap setiap harta bersama (hal. 88).

1. Perjanjian kawin dengan kebersamaan untung dan rugi

Dalam perjanjian jenis ini, tidak semua harta kekayaan suami istri dicampur menjadi harta bersama, melainkan hanya sebagian dari harta kekayaan suami istri saja, yang mana merupakan keuntungan atau kerugian yang didapat selama perkawinan. Harta yang dibawa dalam perkawinan serta harta yang diperoleh sepanjang perkawinan adalah tetap milik pribadi dan tidak masuk dalam harta bersama (hal. 90).

2. Perjanjian kawin dengan kebersamaan hasil dan pendapatan

Mengenai kebersamaan hasil dan pendapatan, Pasal 164 KUH Perdata menerangkan bahwa perjanjian antara suami istri hanya akan ada gabungan penghasilan dan pendapatan, dan tidak ada gabungan menyeluruh atas harta bersama, pun gabungan keuntungan dan kerugian.

Lebih lanjut, Pasal 105 KUH Perdata menerangkan bahwa suami adalah kepala perkawinan. Sebagai seorang kepala, suami wajib membantu istrinya dan mengurus harta kekayaan pribadi istri. Dalam mengurus harta, suami wajib bertanggung jawab atas segala kelalaian dalam pengurusan. Suami juga tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebankan harta istrinya tanpa persetujuan sang istri.

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, pasal tersebut mengindikasikan bahwa KUH Perdata menempatkan peran suami dalam keluarga lebih besar, sehingga kerugian yang timbul dari adanya perjanjian kawin dalam bentuk kebersamaan hasil dan pendapatan menjadi tanggungan suami (hal. 101).

3. Perjanjian kawin dengan peniadaan terhadap harta bersama

Bentuk perjanjian ini dibuat jika pasangan suami dan istri menginginkan adanya pemisahan harta secara penuh sepanjang perkawinan mereka. Nantinya, dalam perjanjian kawin, akan dinyatakan bahwa tidak akan ada percampuran harta atau harta bersama bagi suami dan istri.

 

Jadi menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya sebagaimana diatur dalam KUH Perdata, perjanjian kawin hanya mengatur mengenai harta kekayaan. Akan tetapi, para pihak dapat mengatur hal-hal lain pada klausula tambahan berdasarkan asas kebebasan berkontrak selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Perjanjian Pra Nikah Demi Melindungi Pasangan Suami Istri

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami terkait bentuk-bentuk perjanjian kawin sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015.

Referensi

  1. H.A. Damanhuri HR. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama. Bandung: CV Mandar Maju, 1957.
  2. Muchsin. Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Nasional. Jakarta: Varia Peradilan, 2008.
  3. Moch Isnaeni. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2016.
  4. Soetojo Prawirohamidjojo dan R dan Marthalena Pohan. Hukum Orang dan Keluarga. Surabaya: Airlangga University Press, 2000.
Tags: