Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul hapusnya perikatan yang dibuat oleh Si Pokrol dan dipublikasikan pada 30 November 2004, yang pertama kali dimutakhirkan pada Senin, 17 Januari 2022.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
klinik Terkait:
Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu hal-hal yang dapat menyebabkan hapusnya perikatan menurut Pasal 1381 KUH Perdata, yaitu:
- Pembayaran
Pembayaran ini tidak harus dipenuhi oleh debitur atau pihak yang berutang, tapi bisa juga dipenuhi oleh pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan, sepanjang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1382 KUH Perdata:[1]
Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak-hak kreditur sebagai pengganti jika ía bertindak atas namanya sendiri.
Tapi, ketentuan ini tidak berlaku dalam hal prestasi dari suatu perikatan adalah berbuat sesuatu yang oleh kreditor dikehendaki dilakukan sendiri oleh debitur, yakni kalau prestasi tersebut berkaitan dengan keahlian debitur, untuk memenuhi prestasi tersebut tidak boleh dilakukan oleh pihak ketiga/orang lain tanpa persetujuan pihak yang meminta dilakukannya pekerjaan tersebut (kreditur).[2]
Misalnya, kalau seorang pelukis yang sudah terkenal kita minta untuk melukis wajah kita dengan imbalan tertentu, apabila pelukis tersebut sibuk, dia tidak bisa begitu saja menyuruh orang lain untuk membuat lukisan wajah tersebut tanpa persetujuan kita.[3]
berita Terkait:
- Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Jika kreditur menolak pembayaran dari debitur, maka debitur berhak melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya tersebut, dan apabila kreditur menolaknya, maka debitur menitipkan pembayaran tersebut di pengadilan negeri.[4]
Penawaran pembayaran yang diikuti penitipan pembayaran di pengadilan negeri tersebut berlaku sebagai pembayaran bagi debitur dan membebaskan debitur dari utangnya asal penawaran itu sesuai dengan undang-undang dan apa yang dititipkan di pengadilan negeri sebagai pembayaran tersebut atas tanggungan kreditur.[5]
- Pembaruan utang
Terkait pembaruan utang sebagai salah satu sebab hapusnya perikatan, merujuk pada Pasal 1413 KUH Perdata, terdapat 3 macam pembaruan utang, yaitu:[6]
- Pembaruan objek utang, yaitu apabila antara debitur dan kreditur membuat perikatan utang baru, untuk menggantikan utang lama yang dihapuskan dengan adanya perikatan utang baru tersebut;
- Pembaruan debitur, yaitu apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama yang dibebaskan oleh kreditur; dan
- Pembaruan kreditur, yaitu apabila seorang kreditur baru yang ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama yang telah membebaskan debitur.
- Perjumpaan utang atau kompensasi
Pasal 1425 KUH Perdata mengatur:
Jika dua orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu kompensasi dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan dengan cara dan dalam hal-hal yang akan disebutkan sesudah ini.
Pasal ini menerangkan tentang adanya saling penghapusan utang, jika dua orang saling berutang antara satu dan yang lain. Misalnya, A berutang kepada B dan B berutang kepada A masing-masing Rp100 ribu. Apabila kedua utang tersebut telah jatuh tempo, kedua utang tersebut menjadi hapus. Jadi, tidak perlu ada formalitas bahwa A dulu membayar kepada B, kemudian B juga membayar kepada A, baru utang keduanya hapus.[7]
- Percampuran utang
Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 dan Pasal 1437 KUH Perdata, yang mengatur:
Pasal 1436 KUH Perdata
Apabila kedudukan sebagai kreditor dan debitor berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana piutang dihapuskan.
Pasal 1437 KUH Perdata
Percampuran utang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya.
Percampuran yang terjadi pada diri penanggung utang, sekali-kali tidak mengakibatkan hapusnya utang pokok.
Percampuran yang terjadi pada diri salah satu dan pada debitur tanggung-menanggung, tidak berlaku untuk keuntungan para debitur tanggung-menanggung lain hingga melebihi bagiannya dalam utang tanggung-menanggung.
Masih dari buku yang sama, terhadap Pasal 1436 KUH Perdata, Ahmadi Miru dan Sakka Pati (hal. 146) menerangkan bahwa adanya utang dan piutang berkumpul pada 1 orang menimbulkan terjadinya percampuran utang yang menghapuskan piutang tersebut.
Misalnya, jika seorang anak meminjam uang kepada pamannya sebesar Rp1 juta dan setelah pamannya yang bujangan itu meninggal dunia, ternyata anak itu ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh pamannya dalam sebuah surat wasiat sehingga ia memperoleh semua harta pamannya, termasuk hak untuk menagih piutang pamannya pada diri anak itu sendiri, di sinilah terjadi percampuran utang antara dia sebagai pemilik hak tagih atas piutang almarhum pamannya dan utangnya kepada pamannya.
- Pembebasan utang
Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438-1443 KUH Perdata. Dalam pembebasan utang, perlu diperhatikan bahwa pembebasan suatu utang tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Maksudnya, seorang debitur baru dapat dikatakan dibebaskan dari utangnya jika secara nyata dibebaskan oleh kreditur. Jika hanya tidak ditagih dalam waktu lama, tidak bisa dikatakan dibebaskan dari utangnya.[8]
- Musnahnya barang yang terutang
Musnahnya barang yang terutang diatur dalam Pasal 1444 dan Pasal 1445 KUH Perdata. Merujuk pada kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika barang yang menjadi objek perikatan musnah atau hilang, maka hapuslah perikatan tersebut, jika memenuhi syarat:[9]
- Musnahnya barang tersebut bukan karena kelalaian debitur;
- Debitur belum lalai menyerahkannya kepada kreditur.
Apabila debitur lalai menyerahkan barang yang menjadi objek perjanjian kepada kreditur, asal debitur dapat membuktikan bahwa barang tersebut walaupun telah diserahkan kepada kreditur akan tetap musnah dengan cara yang sama, perikatan tersebut tetap hapus. Hal ini akan berlaku jika debitur tidak menanggung kejadian-kejadian tak terduga, dan debiturlah yang membuktikan kejadian tak terduga tersebut.[10]
- Kebatalan atau pembatalan
Kebatalan atau pembatalan perikatan sebagai salah satu sebab hapusnya perikatan diatur dalam Pasal 1446-1456 KUH Perdata. Dari Pasal 1446 KUH Perdata, dapat disarikan bahwasannya perjanjian yang dibuat oleh orang yang belum dewasa atau di bawah pengampuan adalah batal demi hukum.[11]
Namun, Pasal 1447 KUH Perdata menegaskan, pembatalan perikatan atas alasan ketidakdewasaan atau di bawah pengampuan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembatalan perikatan yang lahir dari perbuatan melawan hukum.[12]
Sedangkan perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, dapat dimintakan pembatalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1449 KUH Perdata.
- Berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu KUH Perdata.
- Lewatnya waktu
Lewat waktu ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.[13] Pasal 1967 KUH Perdata mengatur:
Semua tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada iktikad buruk.
Status Perjanjian Jika Salah Satu Pihak Meninggal
Lantas, bagaimana status perjanjian jika salah satu pihak dalam perjanjian meninggal? Pada asasnya, suatu perjanjian hanya mengikat para pihak itu sendiri, baik yang dilakukan sendiri maupun melalui kuasanya. Adapun pihak ketiga dapat memperoleh hak-hak dari perjanjian di mana ia bukan merupakan pihak, asal dipenuhi apa yang dirumuskan dalam Pasal 1317 KUH Perdata.
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian dapat berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak, harus dilihat terlebih dahulu perjanjian apa yang mengikat para pihak tersebut.
Sebab, terdapat beberapa jenis perjanjian di mana dalam perjanjiannya melekat sedemikian eratnya pada sifat-sifat dan kecakapan yang bersifat sangat pribadi, atau melekat pada diri/persoon salah satu pihak, seperti pada perjanjian kerja. Dalam perjanjian jenis ini, perjanjian berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak.[14] Begitu juga dalam perjanjian pemberian kuasa, sebagaimana yang dijelaskan dalam Kuasa Hukum Meninggal Dunia Saat Proses Perkara, Ini Cara Menunjuk yang Baru.
Dalam perjanjian semacam itu, sejak saat meninggalnya salah satu pihak, perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak berpindah kepada pihak lainnya atau kepada ahli warisnya. Namun, hasil yang sudah keluar dari perjanjian tersebut tidak hapus dan beralih kepada para ahli waris.
Sebagai contoh, dalam hal pekerja meninggal dunia, maka perikatan yang lahir dari perjanjian kerja tidak berpindah pada pihak lainnya atau kepada ahli warisnya. Tetapi, hak-hak pekerja yang diperoleh akibat pekerja meninggal dunia, seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, tetap diberikan kepada ahli waris pekerja yang bersangkutan.
Jadi, sejak kematian salah satu pihak, perjanjian tersebut tidak menimbulkan perikatan-perikatan baru lagi dan perikatan yang sudah ada tak mempunyai daya kerja lagi, sedangkan yang sudah dihasilkan oleh perikatan tersebut tetap.
Tetapi ada pula jenis perjanjian lainnya yang tidak berakhir dengan kematian salah satu atau kedua belah pihak, misalnya perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli, sebagaimana yang dijelaskan dalam Akibat Hukum Jika Salah Satu Pihak dalam Perjanjian Meninggal Dunia.
Lantas, bagaimana dengan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan berupa membuat suatu lukisan, jika si pelukis meninggal dunia dalam kondisi belum menyelesaikan pekerjaan sedangkan pihak pengguna jasa telah membayar?
Mengenai hal ini, kami berpendapat bahwasannya dalam perjanjian untuk membuat lukisan ini, prestasi yang harus dipenuhi si pelukis atau debitur merupakan pembuatan lukisan yang dilakukan sendiri oleh debitur, sebab pemenuhan prestasi tersebut berkaitan dengan keahlian debitur. Sehingga, pemenuhan prestasi tersebut tidak boleh dilakukan pihak ketiga/orang lain tanpa persetujuan kreditur selaku orang yang meminta dilakukannya pekerjaan tersebut.
Oleh karena itu pula, menurut hemat kami, perjanjian antara pelukis dan pelanggannya juga merupakan jenis perjanjian di mana di dalamnya melekat sedemikian eratnya pada sifat-sifat dan kecakapan yang bersifat sangat pribadi, atau melekat pada diri si pelukis, karena hasil lukisan sangat bergantung kepada keahlian yang dimiliki pelukis. Sehingga jika pelukis meninggal dunia, maka perjanjian tersebut juga berakhir sebagaimana dalam perjanjian kerja dan pemberian kuasa.
Demikian jawaban dari kami terkait hapusnya perikatan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Referensi:
Ahmadi Miru dan Sakka Pati. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW. Depok: Rajawali Pers, 2019.
[1] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 110
[2] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 111–112
[3] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 111
[4] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 127
[5] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 127
[6] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 134
[7] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 146
[8] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 147
[9] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 150
[10] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 150–151
[11] Pasal 1446 KUH Perdata
[12] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 153
[13] Pasal 1946 KUH Perdata
[14] Pasal 81 angka 16 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan