Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pengertian Hukum Humaniter Internasional
Istilah Hukum Humaniter Internasional (“HHI”) adalah terjemahan dari bahasa Inggris yakni International Humanitarian Law. [1] HHI juga dikenal dengan sebutan Hukum Perang. Menurut para ahli, hukum perang merupakan bagian paling tua dari hukum internasional.[2] Artinya, HHI atau hukum perang adalah cabang atau bagian dari hukum internasional.[3]
klinik Terkait:
Perbedaan istilah HHI dan hukum perang hanya terletak pada penekanannya. HHI menekankan pada akibat yang ditimbulkan oleh peperangan terhadap kemanusiaan, perlindungan korban perang dari luka atau penderitaan yang berlebih, dan pencegahan kerusakan yang hebat dan meluas. Sedangkan hukum perang lebih menekankan pada segi yuridis dan peristiwa perang, dalam arti lingkup berlakunya hukum ini saat terjadi perang. Namun, pada dasarnya penduduk sipil dalam hukum perang juga wajib dilindungi.[4] Menurut J. G. Starke, sesuai dengan perkembangan sejarahnya sekarang lebih sering digunakan istilah HHI.[5]
Berikut adalah definisi HHI yang dikemukakan para ahli:
- Mochtar Kusumaatmadja
HHI dibagi 2 (dua) menjadi:
- Jus ad Bellum, yaitu hukum tentang perang yang mengatur bagaimana suatu negara dibenarkan untuk menggunakan kekerasan senjata; dan
- Jus in Bello, yakni hukum yang berlaku dalam perang, dan dibedakan menjadi:
- Ketentuan hukum yang mengatur cara perang dilakukan (conduct of war).
- Ketentuan hukum yang mengatur perlindungan orang yang menjadi korban sipil atau militer (Konvensi Jenewa 1949/Geneva Convention 1949).[6]
- Geza Herzegh
HHI adalah bagian dari hukum internasional publik yang memberikan perlindungan kepada individu pada waktu terjadinya konflik bersenjata. Sebagai bagian dari norma, hukum perang memberikan pertolongan kepada mereka yang luka dan sakit.[7]
- KGPH Haryomataram
HHI adalah hukum yang memiliki tujuan utama memberikan perlindungan dan pertolongan kepada orang yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (kombatan/combatant) atau mereka yang tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil/ civilian population).[8]
Kapan HHI berlaku?
HHI pada intinya hanya berlaku pada saat terjadinya perang atau konflik bersenjata. Dengan perkataan lain, HHI tidak berlaku pada masa damai. HHI juga tidak berlaku pada situasi kerusuhan, huru-hara, dan ketegangan.[9]
berita Terkait:
Lantas, apa yang dimaksud dengan perang? Perang adalah kejadian yang tidak diinginkan umat manusia, karena peperangan menimbulkan kesengsaraan dan kerugian yang tidak ternilai harganya. Dalam setiap perang terjadi perbuatan yang kejam dan bertentangan dengan perikemanusiaan.[10]
Konflik bersenjata digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu:
- International Armed Conflict (“IAC”) atau konflik bersenjata bersifat internasional, yakni konflik yang terjadi antar negara. Misalnya 2 (dua) negara atau lebih bertikai satu sama lain. Contohnya Perang Dunia I dan II.
- Non-International Armed Conflict (“NIAC”) atau konflik bersenjata tidak bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi di dalam wilayah negara (internal conflict). Contohnya pihak Pemerintah Indonesia melawan pemberontak Gerakan Aceh Merdeka, Pemerintah Filipina melawan pemberontak Front Pembebasan Islam Moro.[11]
Baca juga: Penyelesaian Konflik Papua dalam Perspektif Hukum Humaniter
Ketentuan HHI yang berlaku dalam IAC dan NIAC tidak sama. Dalam IAC, yang berlaku adalah Konvensi Jenewa 1949 dan/atau Protokol Tambahan I 1997. Sedangkan dalam NIAC, yang berlaku hanya Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur perlindungan terhadap korban perang dan/atau Protokol Tambahan II 1997.[12]
Selayang Pandang Konvensi Jenewa 1949
Konvensi Jenewa 1949 adalah konvensi yang penerimaannya paling luas di dunia, karena seluruh dunia menjadi pihak yang terikat dalam konvensi tersebut. Konferensi internasional di Jenewa, merupakan realisasi dari gagasan Henry Dunant, yang pada akhirnya melahirkan Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.[13]
Konvensi Jenewa 1949 terdiri dari beberapa bagian, yakni:[14]
- Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran Darat (Konvensi I).
- Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam (Konvensi II).
- Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Konvensi III).
- Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di Waktu Perang (Konvensi IV).
Sebagaimana diketahui, terdapat ketentuan baru yang melengkapi Konvensi Jenewa 1949. Pertama, Protokol Tambahan I 1997 (“Protokol I”), yang dibentuk karena metode perang yang digunakan negara berkembang, demikian pula dengan aturan tata cara berperang. Protokol I menentukan bahwa hak dari para pihak yang bersengketa untuk memilih alat dan cara berperang adalah tidak tak terbatas, dan dilarang menggunakan senjata proyektil dan alat lainnya yang dapat mengakibatkan luka berlebih atau penderitaan yang tidak perlu.[15]
Kedua, Protokol Tambahan II 1997 (“Protokol II”) terbentuk karena pada nyatanya konflik setelah Perang Dunia II yang terjadi adalah NIAC. Satu-satunya ketentuan NIAC terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dinilai sangat rinci, namun belum cukup memadai untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan yang serius akibat NIAC. Maka, prinsip yang telah diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ditegaskan kembali dalam Protokol II.[16]
Asas-Asas dalam HHI
Dalam HHI, terdapat 3 (tiga) asas utama, yaitu:[17]
- Asas kepentingan militer (military necessity), yakni pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
- Asas perikemanusiaan (humanity), yaitu pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
- Asas kesatriaan (chivalry), yaitu dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara yang bersifat khianat dilarang.
Sedangkan, menurut Ambarwati terdapat 8 (delapan) prinsip dasar HHI, yaitu:[18]
- Kemanusiaan, yakni non kombatan harus dijauhkan sebisa mungkin dari arena pertempuran, dan korban luka harus diusahakan seminimal mungkin.
- Kepentingan, yaitu yang dapat dijadikan sasaran serangan dalam pertempuran adalah objek militer.
- Proporsional, yaitu setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tidak akan menyebabkan korban dan kerusakan yang berlebihan.
- Pembedaan, yakni dalam konflik bersenjata harus dibedakan kombatan dan orang sipil.
- Larangan menyebabkan penderitaan tidak seharusnya, yaitu prinsip pembatasan. Artinya, prinsip ini berkaitan dengan metode dan alat perang. Misalnya larangan menggunakan racun, peluru, senjata biologi, dan lainnya.
- Pemisahan Jus ad Bellum dan Jus in Bello.
- Ketentuan minimal HHI, yakni Konvensi Jenewa 1949.
- Tanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan HHI, artinya HHI wajib dihormati pemerintah dan warga negara yang bersangkutan.
Baca juga: Mengenal Perlindungan Hors de Combat dalam Hukum Perang
Kesimpulannya, secara definitif perang adalah kondisi tertinggi dari bentuk konflik antar manusia.[19] Terhadap situasi tersebut, maka dibentuklah HHI yang mengatur tata cara metode berperang, perlindungan kepada individu pada waktu terjadinya konflik bersenjata, perlakuan terhadap tawanan perang, dan lainnya. Hal-hal tersebut diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, Protokol I, dan Protokol II. Dalam HHI juga terdapat 3 (tiga) asas penting seperti military necessity, humanity, dan chivalry. Pada intinya, perang bukan berarti dapat melakukan segala hal dengan tidak terbatas, namun wajib memperhatikan prinsip kemanusiaan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Konvensi Jenewa 1949, yang diakses pada 28 Juli 2022, pukul 20.02 WIB;
- Protokol Tambahan I 1997, yang diakses pada 28 Juli 2022, pukul 21.00 WIB;
- Protokol Tambahan II 1997, yang diakses pada 28 Juli 2022, pukul 21.30 WIB.
Referensi:
- Ambarwati (et.al), Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009;
- Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016;
- Arlina Permanasari (et.al), Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC, 1999;
- GPH Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994;
- Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah Tahun 1949, Bandung: Bina Cipta, 1986;
- Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011.
[1] Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011, hal. 1
[2] GPH Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994, hal. 1
[3] Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016, hal. 169
[4] Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011, hal 2
[5] Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011, hal. 1
[6] Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah Tahun 1949, Bandung: Bina Cipta, 1986, hal. 12
[7] Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011, hal. 3
[8] Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016, hal. 172
[9] Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016, hal. 173
[10] GPH Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994, hal. 8
[11] Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016, hal. 173
[12] Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016, hal. 173-174
[13] Ambarwati (et.al), Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009, hal. xix
[14] Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah Tahun 1949, Bandung: Bina Cipta, 1986, hal. 3
[15] Arlina Permanasari (et.al), Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC, 1999, hal. 129
[16] Arlina Permanasari (et.al), Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC, 1999, hal. 130-131
[17] Arlina Permanasari (et.al), Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC, 1999, hal. 11
[18] Ambarwati (et.al), Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009, hal. 41-52
[19] Ambarwati (et.al), Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009, hal. 2.