Hak Waris Anak Adopsi Menurut Hukum Barat dan Hukum Islam
Keluarga

Hak Waris Anak Adopsi Menurut Hukum Barat dan Hukum Islam

Pertanyaan

Anak adopsi dalam mewaris jika ahli waris tidak mempunyai keturunan, bagaimana dalam pembagian warisannya?

Ulasan Lengkap

Mohon maaf saya kurang jelas pertanyaan Anda. Apakah yang Anda maksud adalah: “Siapakah ahli waris dari anak adopsi” ataukah “Jika pewaris tidak punya keturunan, maka anak adopsi berhak mewaris?”

 
Asumsi saya adalah: Hak Waris terhadap anak adopsi.
 

Berdasarkan ketentuan hukum waris Perdata Barat:

Sebagaimana diatur dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut. Oleh karena itu, anak yang diadopsi secara sah melalui putusan pengadilan, kedudukannya adalah sama dengan anak kandung. Sehingga yang bersangkutan berhak mewarisi harta peninggalan orang tuanya.

Sedangkan berdasarkan Hukum Islam:

Pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H., Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991). Dengan demikian, anak adopsi tidak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya. Untuk melindungi hak dari anak adopsi tersebut, maka orang tua angkat dapat memberikan wasiat asalkan tidak melebihi 1/3 harta peninggalannya.

 

Untuk penjelasan lebih lanjut bisa dibaca artikel saya yang berjudul Adopsi dan Pengangkatan Anak.

 

Catatan: Jawaban pertanyaan tersebut ada pula penjelasannya di buku Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam Memahami HUKUM WARIS – Karya: Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. (Kaifa, Desember 2012).

 
Dasar hukum:
Staatblaad 1917 No. 129
 
Tags: