Bolehkah Perusahaan Melarang Karyawannya Daftar CPNS?
Sepanjang penelusuran kami, tidak ada aturan yang mengatur larangan pekerja untuk mendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil (“CPNS”) pada UU Ketenagakerjaan serta aturan pelaksana lainnya.
Selain itu memang pada Pasal 31 UU Ketenagakerjaan diatur:
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.
Jadi itu artinya, sah-sah saja jika saudara Anda melamar CPNS.
Kemudian megenai pilihan yang diberikan oleh perusahaan sebagaimana yang Anda maksud, memiliki dampak hukum sebagai berikut:
Yang pertama, karyawan harus mengundurkan diri atau dipecat jika melanjutkan ikut tes CPNS.
Perlu diketahui bahwa untuk mengundurkan diri harus atas permintaan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 154 huruf b UU Ketenagakerjaan.
Pemecatan atau Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) terhadap karyawan.
Berkaitan dengan PHK, Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur sebagai berikut:
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
pekerja/buruh menikah;
pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;[1] pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Berdasarkan pasal tersebut, PHK karena mendaftar CPNS (mencari pekerjaan baru) tidak termasuk alasan dilarangnya PHK, berarti perusahaan boleh melakukan PHK.
Akan tetapi seharusnya hal tersebut tidak dilakukan oleh pengusaha karena berdasarkan Pasal 31 UUU Ketenagakerjaan pindah pekerjaan merupaan hak dari perkerja. Lagi pula saudara Anda tersebut masih dalam tahap pendaftaran belum tentu diterima menjadi CPNS.
Jika perusahaan mencantumkan larangan mendaftar mendaftar CPNS tersebut dalam tata tertib kerja, itu berarti telah bertentangan dengan Pasal 31 UU Ketenagakerjaan.
Pasal 111 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, apabila perusahaan tetap melakukan PHK, maka karyawan mendapatkan uang pesangon dan atau penghargaan masa kerja dan/atau uang penggantian hak yang seharusnya diterima, serta PHK hanya bisa terjadi berdasarkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial setelah dilakukan perundingan bipartit dan tripartit (mediasi) berdasarkan Pasal 151 ayat (3) jo. Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Kedua, tetap bertahan bekerja di RS tersebut dengan catatan adanya pemotongan masa kerja dan bonus (otomatis pemotongan penghasilan). Sah-sah saja perusahaan memotong upah karyawannya sebagai bentuk denda atau ganti rugi karena tindakan yang dinilai melanggar tata tertib perusahaan, tetapi hal tersebut harus berdasar (dicantumkan di perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama) hal ini sesuai dengan
Pasal 51 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”).
Langkah Hukum
Jadi, PHK dapat dilakukan oleh perusahaan atas dasar karyawan mendaftar kerja. Namun perusahaan tidak boleh melarang karyawan untuk mendaftar kerja di tempat lain tersebut karena hal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila perundingan bipartit tersebut gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, yakni dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja setempat dengan melampirkan bukti risalah perundingan bipartit.
[2]
Jika perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
[3]
Sebaliknya jika perundingan tersebut berhasil mencapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama.
[4]
Selain itu perlu diketahui bahwa dalam hal terjadi PHK, harus ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
[5] Jika tidak ada penetapan, maka PHK batal demi hukum.
[6] Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan (belum berkekuatan hukum tetap),
[7] baik pengusaha maupun saudara Anda harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
[8]
Senada dengan langkah hukum apabila di PHK, jika terjadi pemotongan upah, maka langkah hukum yang dapat Anda lakukan adalah mengupayakan perundingan bipartit dengan pengusaha terlebih dahulu dan meminta agar perusahaan tidak melakukan pemotongan upah.
Jika bipartit gagal, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPHI.
Dalam hal perundingan di jalur tripartit masih tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UU PPHI).
Sebagai contoh kasus mengenai pemotongan gaji secara sepihak tanpa ada pemberitahuan, kita dapat lihat dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 676 K/Pdt.Sus/2012. Dalam putusan ini diketahui Mahkamah Agung menyatakan tindakan perusahaan yang mengurangi pemotongan upah adalah dalam rangka mengatasi PHK adalah tindakan tidak benar. Dan oleh karenanya, Mahkamah Agung menghukum perusahaan untuk membayarkan upah dan THR.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
[2] Pasal 4 ayat (1) UU 2/2004
[4] Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU 2/2004
[5] Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
[6] Pasal 155 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[8] Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan