KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jerat Hukum bagi Pelaku ‘Klitih’ di Yogyakarta

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Jerat Hukum bagi Pelaku ‘Klitih’ di Yogyakarta

Jerat Hukum bagi Pelaku ‘Klitih’ di Yogyakarta
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jerat Hukum bagi Pelaku ‘Klitih’ di Yogyakarta

PERTANYAAN

Belakangan ini marak kembali aksi klitih di Yogyakarta. Kali ini, korbannya seorang pengemudi ojol yang diserang, hingga luka di bagian wajahnya akibat senjata tajam. Saya ingin menanyakan, hukum apa yang dapat menjerat para pelaku tersebut?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ‘Klitih’ dalam bahasa Jawa memiliki arti suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Seiring berjalannya waktu, makna klitih bergeser menjadi negatif, yaitu aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan menggunakan senjata tajam.
     
    Pada dasarnya, aksi klitih termasuk sebagai tindak pidana penganiayaan. Oleh karenanya, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di sisi lain, apabila pelaku masih dikategorikan sebagai anak, maka proses peradilan merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Aksi ‘Klitih’ sebagai Penganiayaan
    Sepanjang penelusuran kami, ‘klitih’ dalam bahasa Jawa memiliki arti suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Seiring berjalannya waktu, makna klitih mengalami pergeseran menjadi negatif, yaitu aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan perseorangan atau berkelompok. Para pelaku pun kebanyakan adalah pelajar atau remaja.
     
    Aksi klitih tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan atau pengeroyokan.
     
    Tindak pidana penganiayaan, di antaranya, diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
     
    1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
    2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
    3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
    4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
    5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
     
    Di sisi lain, jika dilakukan secara bersama-sama atau kelompok, maka para pelaku, di antaranya, ada yang tergolong pelaku dan turut serta. Sebagaimana dikutip dari artikel Jerat Pidana Bagi Pelajar Pelaku Pengroyokan, si turut serta dapat dikenakan pidana dalam Pasal 55 KUHP:
     
    1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
    1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
    2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
    1. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
     
    Sistem Peradilan Pidana Anak
    Kemudian, jika pelaku adalah anak, maka berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU 11/2012”). Pasal 1 angka 3 UU 11/2012 menerangkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
     
    Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi yang hanya dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:[1]
    1.  
    2. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun; dan
    3. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
     
    Yang dimaksud diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.[2]
     
    Selanjutnya, patut diperhatikan bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.[3]
     
    Jadi, terhadap perbuatan pelaku klitih yang berusia anak, masih mungkin dapat dilakukan diversi.
     
    Meskipun demikian, proses peradilan pidana anak akan dilanjutkan jika proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.[4]
     
    Contoh Kasus
    Sebagai contoh, Putusan Pengadilan Negeri Bau-Bau Nomor: 623/PID.B/2010/PN.BB menerangkan bahwa Terdakwa, setelah minum minuman keras, sambil membawa sebilah badik yang Terdakwa selipkan di pinggang, lalu menuju ke acara joget (hal. 6).
     
    Dalam keadaan mabuk, Terdakwa langsung mencabut badik yang ada di pinggang dan kemudian menikam korban sebanyak satu kali dan mengenai bagian dada sebelah kanan tepatnya di bawah ketiak, sehingga mengakibatkan luka robek akibat kekerasan benda tajam (hal 6 – 7).
     
    Bahwa yang dimaksud dengan unsur penganiayaan dalam delik penganiyaan adalah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit, atau luka, sehingga perbuatan Terdakwa memenuhi unsur tersebut (hal. 6 – 7).
     
    Atas perbuatannya, Terdakwa dijatuhi pidana menurut Pasal 351 ayat (1) KUHP dengan pidana penjara selama 9 bulan (hal. 7).
     
    Sebagai contoh jika pelaku adalah anak, disarikan dari Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor: 05/Pid.Sus.Anak/2015/PN Kln bahwa Para Terdakwa Anak melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap korban yang juga masih termasuk anak, hingga menimbulkan luka (hal. 22 – 23).
     
    Atas perbuatannya, Para Terdakwa Anak dijatuhi pidana penjara masing-masing selama 5 bulan dan denda masing-masing sebesar Rp1 juta atas tindak pidana yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) jo. Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun pidana yang telah dijatuhkan tidak usah dijalankan, kecuali kalau di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena Para Terdakwa Anak sebelum jatuh tempo percobaan 10 bulan telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum. Kemudian, jika denda tidak dapat dibayar, digantikan dengan tiga bulan latihan kerja (hal. 25).
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
     
    Putusan:
        1.  
    1. Putusan Pengadilan Negeri Bau-Bau Nomor: 623/PID.B/2010/PN.BB;
     

    [1] Pasal 7 UU 11/2012
    [2] Pasal 1 angka 7 UU 11/2012
    [3] Pasal 8 ayat (1) UU 11/2012
    [4] Pasal 13 UU 11/2012

    Tags

    hukumonline
    yogyakarta

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ini Cara Mengurus Akta Nikah yang Terlambat

    30 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!