KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Langkah Hukum Jika Disadap Negara Tetangga

Share
copy-paste Share Icon
Teknologi

Langkah Hukum Jika Disadap Negara Tetangga

Langkah Hukum Jika Disadap Negara Tetangga
Teguh Arifiyadi, S.H., M.H.Indonesia Cyber Law Community (ICLC)
Indonesia Cyber Law Community (ICLC)
Bacaan 10 Menit
Langkah Hukum Jika Disadap Negara Tetangga

PERTANYAAN

Bagaimana sanksi jika negara lain menyadap komunikasi atau rahasia negara Indonesia tanpa sepengetahuan Pemerintah Indonesia, lalu hukum negara manakah yang digunakan dalam kasus tersebut?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Sahabat hukumonline yang baik,
     

    Sebelum kami menjawab, kami akan menjabarkan definisi “penyadapan” atau “intersepsi” berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (“UU Telekomunikasi”) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).

     

    Definisi penyadapan berdasarkan penjelasan Pasal 40 UU Telekomunikasi:

    “Penyadapan adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah”.

    KLINIK TERKAIT

    Dasar Hukum Penyadapan Telepon oleh KPK

    Dasar Hukum Penyadapan Telepon oleh KPK
     

    Definisi penyadapan atau intersepsi dalam penjelasan Pasal 31 UU ITE:

    “intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Yang perlu digarisbawahi dari definisi tentang penyadapan dalam ketentuan kedua undang-undang tersebut adalah bahwa penyadapan yang dimaksud adalah penyadapan yang dilakukan melalui jaringan telekomunikasi (UU Telekomunikasi) atau penyadapan dilakukan secara elektronik (UU ITE).

     

    Dalam konteks yang lebih luas tentang praktik penyadapan yang dilakukan oleh lembaga intelijen/aparat penegak hukum suatu negara, penyadapan tidak hanya dilakukan melalui jaringan telekomunikasi maupun secara elektronik. Informasi hasil penyadapan diperoleh melalui berbagai cara dan sumber, baik dengan menggunakan sarana teknologi, maupun dengan cara-cara konvensional. Sarana teknologi misalnya penggunaan software atau hardware/perangkat khusus intersepsi, baik dengan atau tanpa melalui jaringan telekomunikasi. Sedangkan cara konvensional bisa dilakukan dengan mendengarkan langsung tanpa alat dengan sembunyi-sembunyi, menguping pembicaraan, atau menggunakan peralatan non-elektronis untuk mendengarkan percakapan pihak yang disadap.

     

    Informasi tentang penyadapan yang dilakukan negara lain terhadap Indonesia akhir-akhir ini, menurut pendapat kami, merupakan informasi terbatas yang masih perlu didalami. Kami belum dapat menyimpulkan cara/metode yang dilakukan negara lain dalam menyadap pribadi/pejabat tertentu di Indonesia, mengingat teknologi dan teknik penyadapan selalu berkembang dan dinamis.

     
     
    Sanksi bagi Negara Penyadap?

    Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada ketentuan khusus yang mengatur sanksi bagi suatu negara yang melakukan penyadapan atau intersepsi terhadap negara lain. Setiap negara memiliki peraturan tentang kondisi di mana penyadapan dapat dilakukan secara lawfull (tidak melawan hukum negara).

     

    Penyadapan atau intersepsi yang dilakukan negara, secara prinsip ditujukan untuk melindungi kepentingan keamanan negara penyadap atau maksud lain dalam rangka menetapkan posisi kebijakan luar negeri antar negara.

     

    Setiap negara memiliki mekanisme yang memungkinkan lembaga intelijen maupun aparat penegak hukum negara tersebut untuk melakukan segala upaya preventif maupun represif, termasuk penyadapan dalam rangka melindungi keamanan atau kepentingan negara dan warga negaranya.

     

    Seperti yang terjadi baru-baru ini, penyadapan yang dilakukan negara lain terhadap individu/pejabat Indonesia, menurut pendapat kami lebih dititikberatkan pada persoalan etika hubungan luar negeri. Bukan tidak mungkin jika pemerintah Indonesia pun pernah melakukan hal yang sama terhadap negara lain dalam konteks keamanan maupun kepentingan negara.

     

    Dianggap mengejutkan publik karena dokumen penyadapan dibeberkan secara luas melalui media dan dilakukan oleh pihak ketiga, sehingga bisa saja dinilai mengurangi kewibawaan pemerintah Indonesia di mata warga negaranya maupun di mata internasional. Jika sudah demikian, menurut pendapat subyektif kami, langkah diplomatis menjadi pilihan yang sangat rasional.

     
     
    Penyadapan dalam Konteks Hukum di Indonesia

    Dalam konteks normatif di Indonesia,  penyadapan atau intersepsi pada umumnya dilarang, kecuali jika undang-undang membolehkan. Dari sudut hukum pidana, penyadapan guna mengungkap suatu kejahatan dapat dibenarkan dan tidak melanggar Hak Asasi Manusia (“HAM”), sepanjang undang-undangnya mengatur demikian.

     

    Hal tersebut secara eksplisit tertuang dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 45”).

     
    Pasal 28 J ayat (2) UUD 45:

    "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."

     

    Larangan tentang penyadapan atau intersepsi sendiri di Indonesia secara khusus diatur dalam Pasal 40 UU Telekomunikasi dan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU ITE.

     

    Dalam Pasal 40 UU Telekomunikasi dikatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Sanksi atas perbuatan tersebut adalah pidana penjara paling lama 15 tahun (Pasal 56 UU Telekomunikasi).

     

    Sebagai informasi, pengecualian atas Pasal 40 UU Telekomunikasi dapat dilihat dalam Pasal 43 UU Telekomunikasi, yaitu pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi dan untuk kepentingan proses peradilan pidana, bukan merupakan pelanggaran Pasal 40 UU Telekomunikasi.

     

    Sedangkan larangan penyadapan lain yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU ITE adalah sebagai berikut:

     
    Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU ITE:

    1.    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

     

    2.    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

     

    Sanksi atas Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU ITE adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp800 juta (delapan ratus juta rupiah), sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU ITE.

     

    Akan tetapi perlu diketahui bahwa atas larangan intersepsi ini, terdapat pengecualiannya juga dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE:

     

    “Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.”

     

    Kedua undang-undang tersebut tidak pernah mengatur bagaimana jika penyadapan dilakukan oleh seseorang atas dasar perintah negara tertentu. Bobot pembebanan pemidanaan hanya ditujukan kepada “orang” yang secara de facto melakukan penyadapan. Tidak ada ketentuan turunan lainnya, semisal jika “orang” tersebut melakukan penyadapan atas perintah negara lain atau perintah institusi.

     

    Dalam UU ITE, yang dimaksud “orang” adalah warga negara Indonesia, warga negara asing maupun badan hukum (Pasal 1 angka 21 UU ITE). Jadi, jika pelaku penyadapan ilegal adalah warga negara asing, UU ITE dapat diberlakukan. UU ITE dapat diberlakukan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam UU ITE (baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupuan di luar wilayah hukum Indonesia) selama perbuatan hukum tersebut memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia (Pasal 2 UU ITE).

     

    Sedangkan dalam UU Telekomunikasi, tidak dijelaskan siapa yang dimaksud “orang”, namun dalam terminologi pidana pada umumnya, “orang” yang dimaksud adalah individu/pribadi yang melakukan perbuatan pidana.

     

    Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, sanksi tentang penyadapan dalam ketentuan normatif kita hanya berlaku bagi orang perseorangan maupun badan hukum, dan tentu tidak berlaku bagi negara lain secara institusional.

     

    Terkait pertanyaan hukum negara manakah yang digunakan, tentunya harus dipastikan terlebih dahulu apakah penyadapan yang dilakukan tersebut melanggar ketentuan undang-undang negara atau tidak. Dalam kasus ini, belum dapat dipastikan apakah penyadapan tersebut melanggar undang-undang negara penyadap, ataukah melanggar undang-undang negara yang disadap, atau melanggar undang-undang kedua negara. Jika melanggar keduanya, hukum salah satu atau kedua negara dapat diberlakukan bagi pelaku penyadapan.

     

    Untuk menentukan hukum mana yang digunakan, bisa juga digunakan pendekatan berbagai teori Locus Delicti (tempat terjadinya perbuatan pidana). Untuk menetapkan Locus Delicti memang tidak diatur khusus dalam suatu undang-undang, melainkan diserahkan kepada ilmu dan praktik peradilan.

     

    Dalam menetapkan Locus Delicti atau tempat terjadinya perbuatan pidana juga dikenal “teori alat”, “teori akibat”, dan “teori perbuatan materiil”. Secara ringkas, kami akan menjelaskan ketiga teori tersebut.

     

    “Teori Alat” menentukan bahwa tempat terjadinya pidana adalah tempat di mana alat bekerja atau tempat di mana alat yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu tindak pidana. Misalkan alat yang digunakan untuk menyadap berada di negara X, maka hukum yang berlaku adalah hukum negara X.

     

    “Teori Akibat” menentukan bahwa tempat terjadinya pidana adalah tempat di mana perbuatan/kejadian tersebut menimbulkan akibat. Misalkan penyadapan yang dilakukan seseorang memberi akibat bagi orang lain yang tinggal di negara Y, maka hukum negara Y yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku penyadapan.

     

    “Teori Perbuatan Materiil” menentukan bahwa tempat terjadinya pidana adalah tempat di mana perbuatan dilakukan, misalnya jika penyadapan terjadi di wilayah hukum Indonesia, maka akan menggunakan hukum Indonesia, begitupun sebaliknya, jika penyadapan terjadi di wilayah hukum negara lain, dan dianggap sebagai perbuatan pidana di negara tersebut, maka hukum negara tersebutlah yang dapat digunakan.

     

    Catatan penting kami dalam kasus penyadapan adalah sulitnya melakukan pembuktian. Penggunaan sarana teknologi dalam praktik penyadapan, memungkinkan semua informasi elektronik dan non-elektronik hasil penyadapan (yang dapat digunakan sebagai bukti perbuatan pidana) diproteksi dengan cara tertentu, semisal dengan menggunakan enkripsi maupun sandi. Enkripsi secara sederhana merupakan proses mengamankan suatu informasi dengan membuat informasi tersebut tidak dapat dibaca tanpa bantuan pengetahuan khusus. Mengingat banyaknya variasi dan tipe enkripsi, proteksi demikian tentu akan menyulitkan penyidik untuk mendalami dan menguraikan bukti-bukti yang ada, bahkan jika penyidik menggunakan bantuan ahli digital forensic sekalipun.

     

    Demikian jawaban dan opini kami.

     

    Salam hangat. Terima kasih.

     
    Dasar Hukum:

    1.    Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 dan perubahannya;

    2.    Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;

    3.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

     

     
     

     

    Tags

    penyadapan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Jika Menjadi Korban Penipuan Rekber

    1 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!