Saya mau tanya, apakah ada sanksi untuk seorang bos yang dengan sengaja menampar karyawannya dengan suatu alat? Misalnya menggunakan spatula untuk masak. Pemukulan tersebut lebih dari satu kali dengan alasan hanya karena pekerjaan tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Apa langkah hukum jika pekerja ditampar atasan?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Jika pekerja ditampar atasan, Anda atau pekerja (korban) dapat melaporkan perbuatan atasan ke pihak kepolisian atas dasar tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP lama, atau UU 1/2023 tentang KUHP baru.
Karyawan yang menjadi korban penganiayaan juga dapat menyampaikan pengaduan keluh kesah tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan melalui perundingan bipartit terlebih dahulu. Pilihan lainnya, karyawan dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja karena perlakuan kasar yang dilakukan oleh atasannya.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang ditulis oleh Dimas Hutomo, S.H. dan dipublikasikan pada 5 Juli 2019.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pasal Penganiayaan Ringan dalam KUHP dan UU 1/2023
Berdasarkan informasi yang Anda berikan, penamparan yang dilakukan oleh atasan atau bos terhadap karyawannya merupakan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, atau UU 1/2023tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Jika akibat dari penamparan tersebut karyawan tidak mengalami luka berat atau kematian, maka atasan/bos berpotensi dipidana dengan pasal penganiayaan ringan, sebagai berikut:
Pasal 352 KUHP
Pasal 471 UU 1/2023
Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.5 juta.[2]
Pidana dapat ditambah 1/3 bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[3]
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya, pidananya dapat ditambah 1/3.
Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dipidana.
terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya;
terhadap pejabat yang ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;
dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum (Pasal 356 KUHP).
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian.
Selanjutnya, menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 246) menjelaskan bahwa peristiwa pidana dalam Pasal 352 KUHP disebut “penganiayaan ringan” dan termasuk kejahatan ringan. Yang termasuk dalam Pasal 352 ini adalah penganiayaan yang tidak:
menjadikan sakit (“ziek” bukan “pijn”) atau
terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaannya sehari-hari.
Berdasarkan kasus yang Anda sampaikan, jika perbuatan atasan terbukti memenuhi unsur-unsur di atas, maka atasan berpotensi dijerat Pasal 352 KUHP atau Pasal 471 UU 1/2023. Terlebih, pidananya dapat ditambah 1/3, karena penamparan dilakukan oleh atasan/bos terhadap bawahannya (karyawan).
Namun, bagaimana jika yang dilakukan adalah penganiayaan berat?
Pasal Penganiayaan Berat dalam KUHP dan UU 1/2023
Tindak pidana penganiayaan berat diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 351 KUHP
Pasal 466 UU 1/2023
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[4]
Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Setiap Orang yang melakukan penganiayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta.[5]
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Termasuk dalam penganiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan yang merusak kesehatan.
Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dipidana.
Mengenai penganiayaan yang termuat pada Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam buku yang sama (hal.245), mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu sendiri. Adapun menurut yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai tindakan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Lalu, menurut Pasal 351 angka 4 KUHP, sengaja merusak kesehatan orang juga masuk dalam pengertian penganiayaan.
Kemudian, contoh mengenai apa yang dimaksud dengan perasaan tidak enak, rasa sakit, luka, dan merusak kesehatan adalah:[6]
perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya;
rasa sakit misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya;
luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain;
merusak kesehatan misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.
Lebih lanjut, menurut Penjelasan Pasal 466 UU 1/2023, ketentuan ini tidak memberi perumusan mengenai pengertian penganiayaan. Hal ini diserahkan kepada penilaian hakim untuk memberikan interpretasi terhadap kasus yang dihadapi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dan budaya serta perkembangan dunia kedokteran. Ini berarti bahwa pengertian penganiayaan tidak harus berarti terbatas pada penganiayaan fisik dan sebaliknya tidak setiap penderitaan fisik selalu diartikan sebagai penganiayaan.
Dalam ketentuan ini juga tidak dicantumkan unsur "dengan sengaja" karena hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 36 dan Pasal 54 huruf j UU 1/2023 dalam rangka pemberatan pidana.
Jadi, jika penamparan yang dilakukan atasan/bos mengakibatkan luka berat dan/atau matinya korban (karyawan), ia berpotensi dipidana karena melakukan penganiayaan berat dalam Pasal 351 KUHP atau Pasal 466 UU 1/2023.
Menjawab pertanyaan Anda mengenai langkah hukum yang dapat dilakukan jika pekerja ditampar atasan, pada dasarnya, secara tidak langsung ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja atau buruh memiliki hak perlindungan atas perlakuan kasar dari atasannya. Ketentuan tersebut termuat dalam Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
keselamatan dan kesehatan kerja;
moral dan kesusilaan; dan
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Menurut hemat kami, jika karyawan/pekerja mengalami perlakukan yang tidak baik yang dilakukan oleh atasan, maka pekerja dapat menyampaikan pengaduan keluh kesah tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun tata cara penyampaian pengaduan dan keluh kesah adalah sebagai berikut:[7]
Tingkat pertama: disampaikan kepada atasannya secara langsung;
Tingkat kedua: apabila penyelesaian tidak diperoleh pada tingkat pertama maka pengaduan dilanjurkan pada Lembaga Bipartit;
Tingkat ketiga: apabila penyelesaian tidak diperoleh pada tingkat kedua maka pengaduan diteruskan Serikat Pekerja untuk menyelesaikan dengan pengusaha;
Tingkat keempat: apabila penyelesaian tidak diperoleh pada tingkat ketiga maka pengaduan disampaikan oleh salah satu pihak kepada pegawai perantara.
Karyawan sebagai korban penganiayaan juga dapat mengajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial/ Pengadilan Hubungan Industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.[8]
Selain itu, atas PHK karena pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha, karyawan juga berhak mendapatkan:[9]