Belakangan ini, beredar berita tentang debat capres bahas pelanggaran HAM berat. Apa itu pelanggaran HAM berat? Lalu, Pasal 104 UU HAM tentang apa? Apa bunyi Pasal 104 UU HAM?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pasal 104 UU HAM mengatur tentang pengadilan hak asasi manusia (“HAM”), yang memiliki wewenang untuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat. Lantas, apa itu pelanggaran HAM berat? Bagaimana bunyi Pasal 104 UU HAM?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganKonsultan Mitra Justika.
Pada dasarnya, Pasal 104 UU HAM mengatur tentang pengadilan hak asasi manusia (“HAM”), yang berbunyi sebagai berikut:
Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang- undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.
Jenis-jenis Pelanggaran HAM Berat
Menurut Penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU HAM, yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extrajudicial
killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Berikut kami jelaskan masing-masing pengertian jenis pelanggaran HAM berat.
Pembunuhan Massal/Genosida
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Secara etimologis, istilah genosida berasal dari Bahasa Yunani “geno” yang berarti ras, dan Bahasa Latin “cidium” yang berarti membunuh. Maka secara harfiah, genosida diartikan sebagai pembunuhan terhadap ras atau pemusnahan ras.[1]
Dalam Pasal 8 UU Pengadilan HAM dijelaskan bahwa kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
membunuh anggota kelompok;
mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Extrajudicial killing diartikan sebagai pembunuhan yang dilakukan oleh aparat negara tanpa melalui proses hukum dan putusan pengadilan yang sah. Tindakan pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan adalah suatu pelanggaran hak hidup seseorang yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, atau non derogable rights.[2]
Disarikan dari Mengenali Istilah Extra Judicial Killing dalam Perspektif HAM, orang-orang yang diduga terlibat kejahatan memiliki hak ditangkap dan dibawa ke muka persidangan serta mendapat peradilan yang adil (fair trial) guna pembuktian, apakah tuduhan yang disampaikan oleh negara adalah benar.
Lalu, arbitrary killing memiliki kaitan dengan asas presumption of innocent atau asas praduga tak bersalah, dimana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah, sehingga aparat penegak hukum tidak berhak memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan selama masih terdapat keraguan atas kesalahannya atau sepanjang belum ada keputusan pengadilan yang sah.[3]
Penyiksaan
Pengertian penyiksaan diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU HAM, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit
atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang lelah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.
Penghilangan Orang Secara Paksa
Penghilangan paksa dikenal dengan istilah enforced disappearance atau penghilangan tidak dengan sukarela (involuntary disappearance), yaitu metode yang digunakan oleh kekuatan untuk melumpuhkan perlawanan. Korban penghilangan paksa dapat saja terlebih dahulu ditangkap, ditahan, atau diculik. Karena sifatnya yang kejam, hukum internasional mengkategorikan penghilangan paksa sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan pelakunya adalah musuh umat manusia (hostis humani generis).[4]
Perbudakan
Pengertian perbudakan diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Statuta Roma, yaitu segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek yang berupa orang, termasuk tindakan mengangkut objek tersebut, khususnya perempuan dan anak-anak.
Systematic Discrimination
Diskriminasi secara sistematis (systematic discrimination) dikenal juga dengan istilah diskriminasi struktural (structural discrimination). Dewan Eropa telah menyatakan bahwa structural discrimination didasarkan pada bagaimana masyarakat diorganisir dan lembaga-lembaga disusun. Diskriminasi struktural ini terjadi melalui norma-norma, rutinitas, pola sikap dan perilaku yang menciptakan hambatan dalam mencapai kesetaraan atau kesempatan yang sama.[5]
Lalu, diskriminasi secara sistematis ini melibatkan prosedur, rutinitas, dan budaya organisasi yang seringkali tanpa disengaja berkontribusi pada hasil yang kurang menguntungkan bagi kelompok minoritas, dibandingkan dengan mayoritas populasi.[6]
Alya Salsabila Munir (et.al). Extra Judicial Killing: Pelanggaran Hak atas Hidup dan Kaitannya dengan Asas Praduga Tak Bersalah. Jurnal Hukum Lex Generalis, Vol. 3, No. 12, 2022;
Bhatara Ibnu Reza. Menguak Penghilangan Paksa: Suatu Tinjauan dari Segi Politik dan Hukum Internasional. Indonesian Journal of International Law, Vol. 1, No. 4, 2004;
Tolib Effendi. Hukum Pidana Internasional. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014;
[2] Alya Salsabila Munir (et.al). Extra Judicial Killing: Pelanggaran Hak atas Hidup dan Kaitannya dengan Asas Praduga Tak Bersalah. Jurnal Hukum Lex Generalis, Vol. 3, No. 12, 2022, hal. 954
[3] Alya Salsabila Munir (et.al). Extra Judicial Killing: Pelanggaran Hak atas Hidup dan Kaitannya dengan Asas Praduga Tak Bersalah. Jurnal Hukum Lex Generalis, Vol. 3, No. 12, 2022, hal. 955
[4] Bhatara Ibnu Reza. Menguak Penghilangan Paksa: Suatu Tinjauan dari Segi Politik dan Hukum Internasional. Indonesian Journal of International Law, Vol. 1, No. 4, 2004, hal. 769-770