Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Peran Digital Forensic dalam Pemberantasan Korupsi

Share
copy-paste Share Icon
Teknologi

Peran Digital Forensic dalam Pemberantasan Korupsi

Peran <i>Digital Forensic </i> dalam Pemberantasan Korupsi
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Peran <i>Digital Forensic </i> dalam Pemberantasan Korupsi

PERTANYAAN

Seiring berkembangnya zaman, kasus tindak pidana korupsi dilakukan secara diam-diam, salah satunya dengan menggunakan komputer atau handphone. Dalam hal ini, sejauh mana peran digital forensic dalam memberantas korupsi? Contoh melalui penyadapan suara atau semisal percakapan melalui pesan WhatsApp, yang isinya kode-kode tertentu seperti “apel malang”, “melon”, dan sebagainya.

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Peran digital forensic sangat penting dalam memberantas kasus tindak pidana korupsi sebagai Computer-Related Crime pada perkembangan era digital saat ini. Digital Forensic berperan dalam menguji kebenaran alat bukti yang dalam tindak pidana misalnya, hasil penyadapan akan diuji oleh ahli audio forensic.
     
    Menurut Komisaris Besar Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar biasanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta bantuan Pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri untuk memastikan itu.
     
    Meskipun pada akhirnya hakimlah yang menentukan keabsahan alat bukti, namun alat bukti elektronik yang telah melalui proses kajian oleh ahli digital forensic terkait tindak pidana korupsi akan sangat menentukan untuk meyakinkan hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Peran digital forensic sangat penting dalam memberantas kasus tindak pidana korupsi sebagai Computer-Related Crime pada perkembangan era digital saat ini. Digital Forensic berperan dalam menguji kebenaran alat bukti yang dalam tindak pidana misalnya, hasil penyadapan akan diuji oleh ahli audio forensic.
     
    Menurut Komisaris Besar Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar biasanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta bantuan Pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri untuk memastikan itu.
     
    Meskipun pada akhirnya hakimlah yang menentukan keabsahan alat bukti, namun alat bukti elektronik yang telah melalui proses kajian oleh ahli digital forensic terkait tindak pidana korupsi akan sangat menentukan untuk meyakinkan hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Cyber Crime dan Computer-Related Crime
    Perkembangan dunia digital sangat pesat, saat ini semuanya terkoneksi satu sama lain. Menurut Komisaris Besar Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar, yang pendapatnya kami kutip dari Pelatihan Hukumonline 2019, Memahami Cyber Law, Cyber Crime, dan Digital Forensic Dalam Sistem Hukum Indonesia (Angkatan Keenam), hampir semua sektor saat ini menggunakan sistem digital, di antaranya: bisnis, perbankan, telekomunikasi, pemerintahan, militer, polisi, media, entertainment, edukasi, dan sebagainya.
     
    Memang dengan adanya sistem digital yang dihubungkan melalui internet, segalanya menjadi lebih mudah, baik itu efisiensi waktu dan juga tempat. Namun sayangnya perkembangan tersebut memiliki efek samping yang negatif bagi masyarakat, hal negatif tersebut adalah terkait tindak kejahatan.
     
    Lebih lanjut, Muhammad Nuh Al-Azhar berpendapat, efek negatif dari dampak era digital dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
    1. Cyber Crime (Incidents)
    Merupakan tindakan kejahatan yang menggunakan computer atau smartphone sebagai alat dan target dari kejahatan yang dilakukan (contohnya: hacking, bugs, trojan virus, membuat suatu server down, dan sebagainya).
    1. Computer-Related Crime
    Seluruh jenis tindak kejahatan yang menggunakan komputer atau smartphone sebagai alat untuk melakukan kejahatan, alat tersebut kemudian menjadi alat bukti kejahatan, contohnya: mengungkap kasus korupsi, kasus narkoba melalui pesan teks atau pesan suara, penyadapan, dan sebagainya).
     
    Untuk memberantas cyber crime atau computer-related crime dibutuhkan peran digital forensic, sebagaimana pernah dijelaskan juga oleh Muhammad Nuh Al-Azhar dalam artikel Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Pidana, digital forensic akan menentukan keabsahan suatu alat bukti elektronik di persidangan. Berangkat dari prinsip bahwa every evidence can talk, yang dapat membuat alat bukti elektronik “berbicara” adalah seorang ahli digital forensic. Penjelasan ahli tersebut nantinya akan dilakukan dengan cara merekonstruksi alat bukti elektronik, sehingga membuat terang jalannya persidangan.
     
    Maka sebelum diajukan dalam persidangan, pada tahapan penyidikan atau penyelidikan digital forensic harus sudah dapat menentukan apakah suatu alat elektronik pada suatu tindakan (jenis) cyber crime atau cyber-related crime merupakan alat bukti yang sah atau bukan. Selain keabsahan, tentunya substansi dari alat bukti tersebut dapat membuat terang suatu perkara.
     
    Muhammad Nuh Al-Azhar pun membagi digital forensic kedalam beberapa kategori, meliputi:
    1. Computer Forensic;
    2. Cyber Forensic;
    3. Triage Forensic;
    4. Malware Forensic;
    5. Memory Forensic;
    6. Anti-Forensic;
    7. Audio Forensic;
    8. Image Forensic;
    9. Video Forensic;
    10.  Mobile Forensic;
    11.  Audit Forensic;
     
    Peran Digital Forensic untuk Memberantas Tindak Pidana Korupsi
    Apabila melihat penjelasan di atas, dapat kita pahami bersama bahwa digital forensic menentukan keabsahan suatu alat bukti elektronik di persidangan. Lalu bagaimana dengan peran digital forensic dalam memberantas tindak pidana korupsi?
     
    Alat bukti dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) yang berbunyi:
     
    Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
    1. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
    2. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
     
    Yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik" misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan "alat optik atau yang serupa dengan itu" dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.[1]
     
    Alat bukti yang dimaksud berkaitan dengan dokumen dlektronik sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang–Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”), yaitu:
     
    Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
     
    Terkait pemberantasan tindak pidana korupsi dengan digital forensic, semisal penyadapan, terdapat suara pada suatu percakapan. Percakapan itu memakai kode-kode tertentu, semisal “apel malang”, “melon”, dan sebagainya. Berarti dibutuhkan seorang yang ahli di bidang audio forensic sebagai turunan dari digital forensic. Hal ini guna memastikan apakah suara pada penyadapan tersebut benar adanya atau tidak, serta melihat makna dari kode-kode tersebut. Atau jika melalui pesan singkat WhatsApp berarti membutuhkan mobile forensic.
     
    Menurut Muhammad Nuh Al-Azhar, biasanya Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) meminta bantuan Pusat Laboratorium Forensik (“Puslabfor”) Bareskrim Polri untuk memastikan itu. Terakhir, ia memberikan penjelasan bahwa kekuatan digital forensic ditentukan oleh 4 (empat) hal:
    1. Certified Analyst (terkait keahlian/kompetensi yang dimiliki ahli);
    2. Tested Tools (alat ujinya harus kredibel);
    3. Validated Methods (prosedur mengacu ke peraturan yang berlaku);
    4. Accredited Laboratory (standar dan kompetensi laboratorium).
     
    Keempat kekuatan di atas sangat menentukan keabsahan alat bukti elektronik terkati kasus tindak pidana korupsi sebagai Computer-Related Crime dan kemudian alat bukti tersebut akan diajukan ke persidangan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (“UU 46/2009”), bunyinya:
     
    1.  Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
    2. Hakim menentukan sah tidaknya alat bukti yang diajukan di muka persidangan baik yang diajukan oleh penuntut umum maupun oleh terdakwa.
     
    Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa hakimlah yang menentukan keabsahan alat bukti, maka dari itu alat bukti elektronik yang telah melalui proses kajian oleh digital forensic terkait tindak pidana korupsi akan sangat menentukan untuk meyakinkan hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi.
     
    Jadi menjawab pertanyaan Anda, digital forensic sangat berperan dalam menguji kebenaran alat bukti dalam tindak pidana (dalam hal ini tindak pidana korupsi), misalnya jika KPK memperoleh bukti dalam bentuk penyadapan, maka ahli di bidang audio forensic akan membuktikan kebenaran rekaman penyadapan tersebut. Demikian halnya dengan hasil percakapan pada WhatsApp akan dikaji oleh ahli mobile forensic.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
     
    Catatan:
    Pendapat Komisaris Besar Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar, MSc., CHFI., CEI., ECIH dalam Pelatihan Hukumonline 2019, Memahami Cyber Law, Cyber Crime, dan Digital Forensic Dalam Sistem Hukum Indonesia (Angkatan Keenam), Rabu 23 Januari 2019.
     

    [1] Penjelasan Pasal 26A huruf a UU 20/2001

    Tags

    hacker
    penyadapan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja

    20 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!