Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Status Hukum Anak Korban Perkosaan

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Status Hukum Anak Korban Perkosaan

Status Hukum Anak Korban Perkosaan
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Status Hukum Anak Korban Perkosaan

PERTANYAAN

Bagaimanakah status hukum dari anak hasil korban pemerkosaan dan apakah anak tersebut berhak mendapat warisan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Pertama-tama perlu dipahami bahwa anak dari hasil pemerkosaan disebut dengan anak yang lahir di luar perkawinan (anak luar kawin).
     
    Menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
     
    Bagaimana jika dilihat dari sudut pandang Kompilasi Hukum Islam dan hak mewarisnya berdasarkan KUHPerdata? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Pertama-tama perlu dipahami bahwa anak dari hasil pemerkosaan disebut dengan anak yang lahir di luar perkawinan (anak luar kawin).
     
    Menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
     
    Bagaimana jika dilihat dari sudut pandang Kompilasi Hukum Islam dan hak mewarisnya berdasarkan KUHPerdata? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pertama-tama perlu dipahami bahwa anak dari hasil pemerkosaan disebut dengan anak yang lahir di luar perkawinan (anak luar kawin).
     
    Status Anak Luar Kawin Menurut UU Perkawinan dan KHI
    Secara umum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) terdapat dua status untuk anak, yaitu:
    1. Anak sah berdasarkan Pasal 42 UU Perkawinan, yang berbunyi:
     
    Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
     
    1. Anak luar kawin berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan sebagaimana dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, maka Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan harus dibaca:
     
    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
     
    Dari paparan pasal di atas, artinya baik anak sah dan anak luar kawin memiliki hubungan keperdataan terhadap ibunya, keluarga ibunya, serta ayahnya. Hubungan keperdataan itu terkait hak waris. Mengenai keberlakuan tentang status anak di UU Perkawinan dipakai secara umum, baik itu bagi yang beragama Islam, maupun non-Islam.
     
    Lain halnya dengan status anak menurut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang membedakan sebagai berikut:
    1. Anak sah menurut Pasal 99 KHI:
      1. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
      2. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
    2. Anak luar kawin menurut Pasal 100 KHI hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya.
     
    Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.[1] Ditegaskan kembali dalam Pasal 186 KHI bahwa Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
     
    Status anak menurut KHI ini hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam.
     
    Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
    Mengenai pewarisan terhadap anak luar kawin ini diatur dalam Pasal 862 s.d. Pasal 866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), berikut adalah bunyi beberapa pasal tersebut:
     
    Pasal 863 ayat (1) KUHPerdata
    Bila yang meninggal itu meninggalkan keturunan sah menurut undang-undang atau suami atau isteri, maka anak-anak di luar kawin itu mewarisi sepertiga dan bagian yang sedianya mereka terima, seandainya mereka adalah anak-anak sah menurut undang-undang; mereka mewarisi separuh dan harta peninggalan, bila yang meninggal itu tidak meninggalkan keturunan,suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas, atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan-keturunan mereka, dan tiga perempat bila hanya tinggal keluarga sedarah yang masih hidup dalam derajat yang lebih jauh lagi.
     
    Pasal 865 KUHPerdata
    Bila yang meninggal itu tidak meninggalkan ahli waris yang sah menurut undang-undang, maka anak-anak di luar kawin itu mewarisi harta peninggalan itu seluruhnya.
     
    Pasal 866 KUHPerdata
    Bila anak di luar kawin itu meninggal lebih dahulu, maka anak-anaknya dan keturunan yang sah menurut undang-undang berhak menuntut keuntungan-keuntungan yang diberikan kepada mereka menurut Pasal 863 dan 865.
     
    Sebagai informasi tambahan, terkait anak hasil korban perkosaan, sebenarnya berdasarkan Pasal 31 ayat (1) huruf b jo. Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (“PP 61/2014”) dibolehkan melakukan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan setelah dibuktikan dengan syarat berikut:
    1. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter;dan
    2. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
     
    Namun berdasarkan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) PP 61/2014 apabila korban perkosaan memutuskan untuk tidak melakukan aborsi atau tidak memenuhi syarat untuk dilakukan tindakan aborsi, anak yang lahir dari korban perkosaan tersebut dapat diasuh oleh keluarga. Pun Pasal 38 ayat (3) PP 61/2014 menyebutkan dalam hal keluarga menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

    [1] Penjelasan Pasal 149 s/d 185 KHI

    Tags

    hukumonline
    anak

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Cek Sertifikat Tanah Ganda dan Langkah Hukumnya

    26 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!