Intisari :
Pertama-tama perlu dipahami bahwa anak dari hasil pemerkosaan disebut dengan anak yang lahir di luar perkawinan (anak luar kawin). Bagaimana jika dilihat dari sudut pandang Kompilasi Hukum Islam dan hak mewarisnya berdasarkan KUHPerdata? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pertama-tama perlu dipahami bahwa anak dari hasil pemerkosaan disebut dengan anak yang lahir di luar perkawinan (anak luar kawin).
Status Anak Luar Kawin Menurut UU Perkawinan dan KHI
Anak sah berdasarkan Pasal 42 UU Perkawinan, yang berbunyi:
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Anak luar kawin berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan sebagaimana dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (
conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, maka Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan harus dibaca:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Dari paparan pasal di atas, artinya baik anak sah dan anak luar kawin memiliki hubungan keperdataan terhadap ibunya, keluarga ibunya, serta ayahnya. Hubungan keperdataan itu terkait hak waris. Mengenai keberlakuan tentang status anak di UU Perkawinan dipakai secara umum, baik itu bagi yang beragama Islam, maupun non-Islam.
Anak sah menurut Pasal 99 KHI:
anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Anak luar kawin menurut Pasal 100 KHI hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya.
Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.
[1] Ditegaskan kembali dalam Pasal 186 KHI bahwa Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Status anak menurut KHI ini hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam.
Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Mengenai pewarisan terhadap anak luar kawin ini diatur dalam Pasal 862 s.d. Pasal 866
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), berikut adalah bunyi beberapa pasal tersebut:
Pasal 863 ayat (1) KUHPerdata
Bila yang meninggal itu meninggalkan keturunan sah menurut undang-undang atau suami atau isteri, maka anak-anak di luar kawin itu mewarisi sepertiga dan bagian yang sedianya mereka terima, seandainya mereka adalah anak-anak sah menurut undang-undang; mereka mewarisi separuh dan harta peninggalan, bila yang meninggal itu tidak meninggalkan keturunan,suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas, atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan-keturunan mereka, dan tiga perempat bila hanya tinggal keluarga sedarah yang masih hidup dalam derajat yang lebih jauh lagi.
Pasal 865 KUHPerdata
Bila yang meninggal itu tidak meninggalkan ahli waris yang sah menurut undang-undang, maka anak-anak di luar kawin itu mewarisi harta peninggalan itu seluruhnya.
Pasal 866 KUHPerdata
Bila anak di luar kawin itu meninggal lebih dahulu, maka anak-anaknya dan keturunan yang sah menurut undang-undang berhak menuntut keuntungan-keuntungan yang diberikan kepada mereka menurut Pasal 863 dan 865.
usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter;dan
keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Namun berdasarkan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) PP 61/2014 apabila korban perkosaan memutuskan untuk tidak melakukan aborsi atau tidak memenuhi syarat untuk dilakukan tindakan aborsi, anak yang lahir dari korban perkosaan tersebut dapat diasuh oleh keluarga. Pun Pasal 38 ayat (3) PP 61/2014 menyebutkan dalam hal keluarga menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Penjelasan Pasal 149 s/d 185 KHI