Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Status Hukum Wanita yang Punya Dua Suami

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Status Hukum Wanita yang Punya Dua Suami

Status Hukum Wanita yang Punya Dua Suami
Liza Elfitri, S.H., M.H.Mitra Klinik Hukum
Mitra Klinik Hukum
Bacaan 10 Menit
Status Hukum Wanita yang Punya Dua Suami

PERTANYAAN

Assalamualaikum, saya mau bertanya, saudara saya sempat mengalami gangguan jiwa dan sempat masuk RS jiwa. Ketika masuk rumah sakit usia perkawinannya baru 3 bulanan. Saat di RSJ istrinya dihamili oleh orang lain dan akhirnya dinikah siri (istri tersebut punya 2 suami secara hukum dan agama). Dan ketika mau melahirkan, istri meminta materi terhadap suami sah secara hukum, tetapi dari pihak suami tidak mau memberi karena bayi itu bukan darah dagingnya. Sang istri menuntut pada suami yang secara hukum untuk diadili secara hukum. Yang saya tanyakan, bisakah istri tersebut menuntut suami yang sah secara hukum di pengadilan karena tidak memberi nafkah? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Wa’alaikumussalam Wr. Wb.,
     
    Saudara Dardai yang terhormat,
     

    Berdasarkan sapaan salam Anda di awal, maka pertanyaan Anda akan kami jawab dari perspektif hukum perkawinan bagi mereka yang memeluk Agama Islam di Indonesia.

     

    Kami mengasumsikan perkawinan antara saudara Anda (pihak suami) dan istri dilangsungkan saat kondisi kejiwaan si suami sehat dan telah ba’da al dukhul (telah melakukan hubungan suami istri). Dengan kata lain, perkawinan tersebut sah secara agama dan secara hukum negara.

    KLINIK TERKAIT

    Bisakah Bercerai karena Suami Homoseksual?

    Bisakah Bercerai karena Suami Homoseksual?
     

    Adapun perbuatan si istri yang melakukan persetubuhan dengan orang lain saat masih terikat perkawinan yang sah adalah terkualifikasi perzinahan (Pasal 284 KUHP). Dan nikah siri baru dilangsungkan saat si istri dalam keadaan telah hamil dengan orang lain.

     

    Poliandri (memiliki suami lebih dari satu) dilarang dalam Islam (haram hukumnya). Keberatan pihak suami untuk tidak memberikan nafkah lahir kepada istri dan calon bayinya, harusnya ditindaklanjuti dengan upaya mengajukan permohonan talak, baik sendiri ataupun melalui kuasanya ke Pengadilan Agama di tempat tinggal si istri dengan mendasarkan alasannya pada ketentuan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang berbunyi sebagai berikut:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

    1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

    2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

    3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

    4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

    5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

    6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

    7. Suami melanggar taklik-talak;

    8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

     

    Karena dari perkawinan antara suami dengan istri tidak mempunyai anak dan istri nusyuz, maka ketentuan Pasal 149 KHI (kewajiban suami akibat talak) jo. Pasal 152 KHI dapat menjadi penguat dalil permohonan talak yakni :

    Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyuz.

     

    Karena anak yang dikandung oleh si istri adalah anak di luar perkawinan yang sah, sehingga berlakulah ketentuan Pasal 100 KHI yakni:

    Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

     

    Namun, pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2012, ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dimana salah satu kutipan amar putusannya adalah sebagai berikut :

    Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anakyang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata denganibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

     

    Sehingga jelas bahwa saudara Anda (si suami) tidak mempunyai hubungan nasab dengan si calon bayi, karena bukan ayah biologis dari si bayi, sehingga terkait dengan pertanyaan Anda, maka pihak suami tidak mempunyai kewajiban hukum apapun untuk memberi nafkah kepada si istri maupun si bayi.

     

    Dari pertanyaan Saudara di atas tidak terdeskripsikan dengan jelas upaya hukum apa yang telah ditempuh oleh si istri dalam ‘menuntut’ pemberian nafkah dari suaminya.

     

    Setiap orang berhak menempuh upaya hukum apapun, saat dirinya merasa haknya dilanggar. Namun hak yang sama dimiliki juga oleh orang lain, karenanya pihak istri harus bersiap-siap juga untuk digugat, dan dilaporkan balik ke kepolisian atas upaya hukum yang ditempuhnya tersebut.

     

    Menurut kami, dalam masalah ini yang paling penting adalah mempertegas mengenai status perkawinan antara si suami dan istrinya.

     

    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732).

    2.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    3.    Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. 

     

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Surat Cerai dan Langkah Mengajukan Gugatannya

    22 Jun 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!