KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Tanggung Jawab Negara dan Individu atas Kejahatan Internasional

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Tanggung Jawab Negara dan Individu atas Kejahatan Internasional

Tanggung Jawab Negara dan Individu atas Kejahatan Internasional
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Tanggung Jawab Negara dan Individu atas Kejahatan Internasional

PERTANYAAN

Adakah tanggung jawab negara dan individu atas kejahatan internasional dalam hukum pidana internasional?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Hukum Pidana Internasional (HPI) mengenal teori tanggung jawab negara dan tanggung jawab individu atas kejahatan internasional yang dilakukan. Namun, dalam kejahatan yang melibatkan negara, negara seringkali memiliki alasan untuk menghindari kewajiban untuk menuntut pelaku, sehingga tercipta iklim impunitas.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Pengertian HAM menurut Para Ahli, Hukum Nasional dan Internasional

    Pengertian HAM menurut Para Ahli, Hukum Nasional dan Internasional

     

    Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu beberapa jenis kejahatan internasional.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Jenis-jenis Kejahatan Internasional

    Dalam Hukum Pidana Internasional (“HPI”), terdapat 4 kejahatan yang disebut dengan kejahatan internasional sesungguhnya atau inti atau truly/core international crimes. Kejahatan internasional sesungguhnya kemudian diistilahkan sebagai kejahatan terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan (crimes against international community as a whole). Sementara, kejahatan internasional lainnya dikenal dengan kejahatan terhadap negara (crimes against states).[1]

    Berikut adalah jenis kejahatan internasional sesungguhnya.

    1. Kejahatan Perang

    Kejahatan perang harus memenuhi unsur:[2]

    1. Pelanggaran serius dari aturan hukum internasional yang melindungi hak penting yang diatur dalam perjanjian internasional atau hukum kebiasaan internasional;
    2. Pelanggaran serius harus menimbulkan konsekuensi berat bagi korban;
    3. Pelanggaran harus melahirkan pertanggungjawaban pidana individu bagi pelaku;
    4. Kejahatan harus terjadi saat situasi konflik bersenjata internasional atau non-internasional;
    5. Target atau korban kejahatan adalah mereka yang dilindungi (protected person).

    Baca juga: Perang Satu Orang

     

    1. Kejahatan terhadap Kemanusiaan

    Kejahatan ini mensyaratkan korbannya adalah penduduk sipil tanpa mempedulikan kewarganegaraannya dan apakah mereka dianggap musuh atau bukan. Kejahatan ini harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik.[3]

    1. Genosida

    Genosida adalah kejahatan yang menyangkal keberadaan sekelompok manusia karena alasan ras, etnis, agama, atau bangsa. Unsur internasional dari kejahatan ini adalah niat khusus pelaku untuk menghancurkan 4 hal tersebut, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Genocide Convention 1948. Pertanggungjawaban pidananya tidak hanya dibebankan kepada individu, namun juga negara karena dikategorikan sebagai a very serious wrongful act of state.[4]

    1. Agresi

    Pasal 1 UNGA Res. No. 3314/1974 menjelaskan bahwa, “aggression is the use of armed force by a state against sovereignty, territorial integrity or political independence of another state…”. Berdasarkan resolusi ini, unsur agresi sebagai kejahatan internasional harus memperlihatkan karakter yang meluas atau massive. Individu yang melakukan agresi harus memenuhi unsur subjektif dalam bentuk niat. Artinya, pelaku harus berniat merencanakan, ikut serta, atau melakukan agresi dan sadar akan akibatnya. Selain itu, harus terbukti adanya niat khusus, yaitu keinginan untuk mendapatkan teritori atau keuntungan ekonomi atau sengaja ikut campur urusan dalam negeri negara korban.[5]

    Perlu diketahui bahwa keempat kejahatan internasional tersebut diatur dalam Pasal 5 Rome Statute 1998, yakni International Criminal Court (“ICC”) memiliki yurisdiksi material terhadap kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.

    Baca juga: Mengenai Mahkamah Pidana Internasional dan Jurisdiksinya

    Selain jenis core international crimes, berikut adalah jenis kejahatan internasional lainnya:

    1. Penyiksaan

    Penyiksaan dianggap sebagai kejahatan internasional karena mensyaratkan adanya keterlibatan negara untuk memenuhi unsur kejahatan ini. Terhadap jenis kejahatan ini berlaku yurisdiksi universal.[6] Penjelasan lengkap mengenai definisi penyiksaan dapat Anda temukan dalam Pasal 1 Convention Against Torture 1984.

    1. Terorisme

    Pada dasarnya belum ada definisi yang universal untuk tindakan terorisme, namun praktik hukum internasional memperlihatkan adanya kesamaan unsur tindakan terorisme seperti tindakannya adalah tindak pidana menurut hukum nasional, memiliki karakter transnasional yang dampaknya tidak melibatkan 1 negara saja, dilakukan dengan tujuan memaksa negara atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, menyebarkan teror, dan bermotivasi alasan ideologi.[7]

    Sedangkan Bassiouni mengklasifikasikan 22 kejahatan internasional yaitu, aggression, war crimes, unlawful use of weapons, crimes against humanity, genocide, racial discrimination and apartheid, slavery and related crimes, torture, Unlawful human experimentation, piracy, aircraft hijacking, threat and use of force against internationally protected persons, taking of civilian hostages, drug offenses, international traffic in obscene publications, destruction and/or theft of national treasures, environmental protection, theft of nuclear materials, unlawful use of the mails, interference with submarine cables, falsification and counterfeiting, dan bribery of foreign public officials.[8]

     

    Tanggung Jawab Negara dalam HPI

    Konsep core international crimes memberikan pengaruh besar terhadap teori tanggung jawab negara.[9] Dalam HPI, terdapat tanggung jawab negara atas pelanggaran jus cogens dan pelanggaran kewajiban erga omnes. Namun sebelumnya, mari kita pahami terlebih dahulu definisi jus cogens dan erga omnes.

    Berdasarkan Pasal 53 VCLT 1969, unsur yang harus dipenuhi dalam norma jus cogens adalah diterima dan diakui oleh keseluruhan masyarakat internasional, superior (tidak bisa dikurang dan diubah oleh norma yang tidak memiliki karakter sama), dan perjanjian internasional yang melanggar norma ini harus batal dan tidak berlaku.[10] Sedangkan kewajiban erga omnes adalah kewajiban antara subjek hukum internasional dengan masyarakat internasional secara keseluruhan.[11]

    Jika dihubungkan dengan kejahatan internasional sesungguhnya, kejahatan tersebut memenuhi standar kelayakan untuk dikriminalisasi secara internasional, maka karakter jus cogens dari kejahatan tersebut terpenuhi.[12] Hal tersebut adalah pelanggaran kewajiban erga omnes.[13]

    Pasal 48 ayat (1) huruf b ARSIWA mengatur:

    Any State other than an injured State is entitled to invoke the responsibility of another State in accordance with paragraph 2 if:

    (b) the obligation breached is owed to the international community as a whole.

    Artinya, negara yang tidak dirugikan memiliki kewenangan menuntut negara lain yang melanggar kewajiban yang merupakan kewajiban masyarakat internasional secara keseluruhan (erga omnes).[14]

    Kemudian, Pasal 41 ARSIWA mengatur konsekuensi hukum dari terjadinya pelanggaran serius norma jus cogens, sebagai berikut:

    1. Negara harus bekerja sama untuk menghentikan pelanggaran serius yang diatur dalam Pasal 40, sesuai hukum;
    2. Negara tidak boleh membenarkan dan mengakui keadaan yang tercipta akibat pelanggaran serius tersebut sebagai keadaan yang sah, termasuk tidak memberikan bantuan dan dukungan;
    3. Aturan konsekuensi tambahan tidak mengecualikan aturan reparasi yang tetap harus dilakukan negara seperti kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Konsekuensi lanjutan dalam hukum internasional juga memungkinkan terjadi.

    Walaupun dalam ARSIWA tidak secara tersurat mengaitkan dengan jus cogens, namun fakta bahwa pasal-pasal tersebut dalam ARSIWA memberikan kepada “any states” atau “negara manapun” untuk menuntut negara pelanggar, hal ini memberikan pemahaman bahwa sifat dari pelanggaran tersebut harus serius dan norma yang dilanggar harus norma universal yang dilindungi seluruh negara. Sehingga, hal ini memenuhi kriteria norma jus cogens.[15]

     

    Tanggung Jawab Individu dalam HPI

    Pertanggungjawaban pidana secara individu dalam HPI memiliki arti setiap orang yang melakukan perbuatan yang diatur sebagai kejahatan menurut hukum internasional harus bertanggung jawab dan oleh karena itu dapat dijatuhi hukuman.[16]

    Dalam kejahatan yang melibatkan negara, negara seringkali memiliki alasan untuk menghindari kewajiban untuk menuntut pelaku. Contohnya alasan larangan intervensi, pemberlakuan amnesti, kekebalan pejabat, dan tidak memadainya hukum nasional untuk mengadili pelaku. Akibatnya, kejahatan luar biasa tersebut jika dibiarkan akan menciptakan iklim impunitas. Hal ini mendorong masyarakat internasional untuk membuat peradilan pidana internasional agar dapat langsung mengadili kejahatan tersebut.[17]

    Beberapa contoh peradilan pidana internasional Ad Hoc adalah International Military Tribunal Nürnberg, International Military Tribunal for the Far East, International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY), dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Selain peradilan pidana internasional yang bersifat Ad Hoc, terdapat ICC yang yang bersifat tetap, dan memiliki kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas seseorang yang melakukan kejahatan serius yang dikutuk oleh masyarakat internasional.[18]

    Baca juga:  Kejahatan Perang: Pengertian, Jenis, dan Peradilannya

     

    Pertanggungjawaban Komando

    Pertanggungjawaban komando mensyaratkan adanya keadaan tertentu sehingga seorang komandan yang memiliki kedudukan atau pangkat lebih tinggi dimungkinkan dikenakan pertanggungjawaban pidana, jika ia gagal mencegah atau menghukum tindakan pidana yang dilakukan bawahannya, sementara ia mengetahui tindakan tersebut. Komandan memiliki tanggung jawab yang berlipat terhadap penegakan hukum, seperti dalam hukum kebiasaan perang.[19]

    Baca juga: Kejahatan Genosida dalam Konteks Hukum Internasional

    Kesimpulannya, dalam hukum pidana internasional, dikenal 2 jenis kejahatan, yakni kejahatan internasional sesungguhnya (truly/core international crimes) dan kejahatan lainnya atau kejahatan terhadap negara (crimes against states). Konsep core international crimes memberikan pengaruh besar terhadap teori tanggung jawab negara dalam ARSIWA, dan tanggung jawab negara diberikan karena ada pelanggaran jus cogens dan pelanggaran kewajiban erga omnes. Namun selain itu, untuk menghapuskan impunitas dalam hukum pidana internasional, terdapat pertanggungjawaban pidana secara individu. Terkait dengan hal tersebut, masyarakat internasional membuat peradilan pidana internasional yang salah satunya adalah ICC.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Referensi:

    1. Antonio Cassese, International Criminal Law, United Kingdom: Oxford University Press, 2008;
    2. Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021;
    3. Sri Setianingsih Suwardi, Beberapa Catatan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam Kaitannya dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Vol. 33, 2003;
    4. Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014;
    5. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1984,  yang diakses pada 2 Agustus 2022, pukul 11.39 WIB;
    6. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide 1948, yang diakses pada 2 Agustus 2022, pukul 12.29 WIB;
    7. Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001, yang diakses pada 2 Agustus 2022, pukul 08.12 WIB;
    8. Rome Statute of the International Criminal Court 1998, yang diakses pada 2 Agustus 2022, pukul 18.15 WIB;
    9. United Nations General Assembly Resolution No. 3314 (XXIX)/1974, yang diakses pada 2 Agustus 2022, pukul 12.35 WIB;
    10. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, yang diakses pada 2 Agustus 2022, pukul 11.21 WIB.

    [1] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 50

    [2] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 34-35

    [3] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 38-39

    [4] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 40-41

    [5] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 45-46

    [6] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 47

    [7] Antonio Cassese, International Criminal Law, United Kingdom: Oxford University Press, 2008, hal. 177

    [8] Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014, hal. 68-69

    [9] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 95

    [10] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 61

    [11] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 79

    [12] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 61

    [13] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 92

    [14] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 79

    [15] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 94

    [16] Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014, hal. 134

    [17] Diajeng Wulan Christianti, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2021, hal. 27

    [18] Sri Setianingsih Suwardi, Beberapa Catatan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam Kaitannya dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Vol. 33, 2003, hal. 447

    [19] Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014, hal. 142

    Tags

    anak hukum
    fakultas hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Dasar Hukum Poligami di Indonesia dan Prosedurnya

    1 Nov 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!